Sunday, March 2, 2008

KBJ harus Berkelanjutan

Oleh Yudiono KS

MEMBACA artikel Sdr Hendro Basuki (SM, 21/06/06) timbullah semangat saya untuk ikut-ikut rerasan seputar Kongres IV Bahasa Jawa tahun 2006 (KBJ 06) dengan alasan semata-mata sebagai warga masyarakat Jawa Tengah. Pendapat ini sepenuhnya pribadi, tidak mencerminkan institusi atau lembaga tempat saya berdinas seperti Fakultas Sastra Undip dan Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT).



Saya pun tidak berada di lingkaran panitia KBJ 06, dan paling banter berharap terundang sebagai penonton upacara pembukaan. Karenanya saya merasa "netral" dalam acara itu.

Pada hemat saya, pemahaman terhadap KBJ 06 hendaknya berlapis-lapis agar berkembang pendapat yang komprehensif dan laras dinikmati banyak pihak. Kongres itu memang sebuah proyek besar yang dengan sendirinya mengandung banyak masalah. Wajar kalau terjadi kerumitan dan kekurangan di sana-sini. Hal itu tidak perlu mengurangi penghargaan atau apresiasi terhadap KBJ 06.

Saya membayangkan kerumitan secara berlapis, yaitu lapis luar yang tampak di mata masyarakat (publik), lapis tengah yang berurusan dengan manajemen, dan lapis dalam yang berurusan dengan semangat atau ideologi pembangunan.

Pandangan Publik

KBJ 06 yang tampak di masyarakat luas adalah pesta makalah di hotel dengan biaya miliaran rupiah dari APBD. Diminati banyak pakar yang mengaku profesional di bidang bahasa, sastra, dan seni Jawa, terbayanglah kesibukan Panitia KBJ 06 memilih makalah tertentu dengan sejumlah alasan yang tidak dapat diganggu gugat (seperti keputusan dewan juri mana pun). Kelak puluhan makalah itu akan dijadikan rujukan atau referensi perumusan kebijakan program kerja yang akan datang.

Memang hasil pertama suatu kongres (seminar, simposium, penelitian) adalah karya tulis atau makalah. Sekarang kita beruntung, karena kebanyakan makalah tercetak rapi. Di awal 1980-an kebanyakan makalah hanya distensil, sehingga cepat rusak keterbacaannya. Tetapi apa pun barang itu bernilai tinggi bagi masyarakat ilmiah, tanpa makalah itu akan sulitlah berkembang pemikiran dan gagasan baru.

Saya merasa jengah membaca statemen Sdr Hendro Basuki yang menganggap kongres itu hanya akan menumpuk makalah. Saya pun heran proyek KBJ 06 dibandingkan dengan proyek jembatan.

KBJ 06 adalah proyek nonfisik yang berurusan dengan gagasan dan konsep-konsep. Bahkan secara mentereng dapat disebut proyek investasi kultural. Mana mungkin kontan dinikmati masyarakat? Saya berkeberatan dengan anggapan itu, sebab hasil sebuah kongres memang tak mungkin dilihat cepat-cepat secara kuantitatif.

Dipertanyakan apa sumbangan KBJ 06 terhadap kehidupan budaya Jawa. Jawabnya memang tidak sederhana dan tidak perlu diteriakkan keras-keras hanya untuk kepentingan publik.

Kongres Bahasa Indonesia

Saya jadi teringat Kongres Bahasa Indonesia (KBI) yang sudah berjalan delapan kali (kalau tak salah catat). Apabila dipertanyakan hasilnya, jawabnya pasti berkepanjangan. Tetapi kalau ditanyakan hasil tunai setelah kongres pastilah hanya sekian ratus makalah. Jangan pula dipertanyakan hasil konkret bagi masyarakat luas.

Hasil kongres mana pun harus berproses melalui jalur-jalur tertentu seperti: birokrasi, pendidikan, akademi, pers, kemasyarakatan, dll. Saya kira hasil KBJ I, II, dan III pun dapat dijelaskan secara rinci oleh pihak berwenang. Saya berharap Panitia KBJ 06 segera menjelaskannya lewat artikel, brosur, atau sarasehan agar riwayat KBJ diketahui masyarakat luas.

Kongres BI mengingatkan saya pada usul perubahan nama KBJ 06 menjadi Kongres Bahasa dan Sastra Jawa (KBSJ). Setahu saya, sekian kali Kongres BI sudah dengan sendirinya mengakomodasi masalah sastra. Pusat Bahasa dengan cabang-cabangnya yang bernama Balai Bahasa pun tidak memajang istilah "sastra", tetapi dengan sendirinya mengakomodasi sastra.

Masalah nama itu bisa dipandang gampang oleh masyarakat, tetapi rumit di pihak penyelenggara. Pengalaman ikut mengurus kegiatan DKJT dalam konteks APBD menyadarkan saya betapa rumitnya sistem administrasi proyek pemerintah.

Salah nama saja bisa timbul kerumitan. Tetapi memang demikian ketentuannya. Apa jadinya kalau dilaksanakan serampangan? Karena itu saya membayangkan sulitnya mengubah nama KBJ menjadi KBSJ dalam konteks adminsitrasi APBD.

Bayangkan saja perubahan itu harus disetujui DPRD, dibuatkan Perda, diproses lagi administrasinya, dan akan mengubah banyak perangkat teknisnya. Janganlah dipersoalkan namanya, tetapi tuntutlah pelaksanannya agar memenuhi harapan banyak pihak. Saya sendiri membayangkan Panitia KBJ 06 sudah melangkah sebagaimana mestinya.

Tentu saja tidak semua masalah harus dikabarkan kepada masyarakat luas. Ada yang memang perlu dipublikasikan dan ada juga yang tidak.

Wajar Ada Kasus

Kasus Prof Dr Marsono SU dikatakan Sdr Hendro Basuki akan menimbulkan kualat seperti jambu mete. Hemat saya, ikut-tidaknya orang-orang tertentu dalam kepanitiaan KBJ 06 pasti sudah melewati proses rembuk dan administrasi. Jadi, sebaiknya dimintakan penjelasan dari Panitia KBJ, bukan sekadar info dari pihak tertentu. Sementara itu pantas kiranya disadari bahwa kehebatan seseorang tidak perlu diunggul-unggulkan di atas potensi kelompok. Jadi, saya membayangkan KBJ 06 tidak mungkin kualat karena ketidaksertaan secara formal pakar-pakar tertentu. Di sisi lain, para pakar yang hebat-hebat pasti akan senantiasa berkiprah di bidangnya, terlepas ada kongres atau tidak.

Kongres apa pun hendaknya dipandang sebagai sebuah momentum yang kontekstual dengan masa silam dan masa depan. Karena itu secara berkala memang menjadi kegiatan rutin dalam kerangka program besar (makro), apalagi terkait dengan biaya besar yang harus bersumber APBD. Tentu saja rutinitas itu tidak boleh mengurangi semangat dasarnya yang merupakan lapis terdalam yaitu ideologi pembangunan budaya Jawa. Jadi rasanya tidaklah tepat apabila keberadaan dan makna KBJ 06 "diperkecil" dengan alasan kasus tertentu. Di mana pun kegiatan pasti ada kasus tetapi tidak setiap kasus harus dibesar-besarkan demi kepentingan publik.

Rasanya lebih baik mengusulkan gagasan tertentu ketimbang menggunjingkan kasus. Usul pembentukan pusat studi pengembangan bahasa Jawa memang pantas dihargai tanpa mengurangi makna KBJ 06. Saya sendiri membayangkan setelah KBJ 06 terbuka kemung-kinan berkembangnya sejumlah kegiatan di bidang bahasa, sastra, dan seni Jawa. Saya pun berharap makin berkembang penelitian, penerjemahan, penulisan buku, penulisan sastra, penghargaan pretasi dll. Mudah-mudahan berkembang juga kegiatan seperti Yayasan Rancage pimpinan Ajip Rosidi.

Setahu saya Yayasan Rancage tidak dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi didirikan oleh Ajip Rosidi dan kerabatnya.

Manajemen Rumit

Lapis tengah atau manajemen KBJ 06 berurusan dengan kesertaan para pakar, fungsionalisasi panitia, administrasi keuangan, dan tindak lanjut. Seperti telah disinggung tadi, kesertaan para pakar pasti sudah melalui prosedur tertentu. Rasanya mustahil Panitia KBJ 06 menggunakan otoritasnya sendiri dalam menentukan kesertaan orang-orang tertentu.

Saya kira Panitia KBJ 06 sudah berkoordinasi, berkonsultasi, dan bernegoisasi dengan pihak-pihak terkait. (Wah, saya ketularan bahasa birokrasi).

Kalau Sdr Hendro Basuki mempertanyakan peranan Program Studi Bahasa dan Sastra Jawa sejumlah perguruan tinggi untuk KBJ 06, saya justru membayangkan kemungkinan itu setelah Kongres. Setahu saya, kemunculan Prodi Jawa merupakan sebagian hasil (rekomendasi) KBJ terdahulu dan kebijakan Pemerintah. Pantaslah mereka berbangga dengan KBJ dan merekalah yang kelak akan banyak berkiprah dengan pengajaran, penelitian, penulisan, penyuluhan dll.

Janganlah sekarang dipertanyakan formalitas peranan mereka, tetapi tawarkan sejumlah program kerja untuk masa depan Prodi Jawa yang pasti tidak akan terlepas dari kebijakan Pemerintah. Bagaimana teknis penawarannya memang di luar pemikiran saya. Masalah lain yang tak kalah penting dalam manajemen KBJ 06 adalah fungsionalisasi Panitia. Wajarlah apabila secara fungsional manajemen kepanitiaan itu berada di jajaran birokrasi Pemprov Jateng. Merekalah yang sudah menguasai medan administrasi, khususnya di bidang keuangan.

Sulit dibayangkan kepanitiaan itu dipimpin orang yang sepenuhnya independen, misalnya dari perguruan tinggi tertentu. Dalam hal ini posisi Panitia itu lebih berat pada aspek manajemen ketimbang kepakaran.

Pentingnya manajemen tidak usah diperdebatkan. Yang lebih relevan adalah kemungkinan kontrol publik terhadapnya. Terus terang saya tidak berpengalaman untuk menawarkan kemungkinan itu. Yang saya tahu, sudah ada sistem administrasi keuangan yang pasti dikontrol oleh lembaga pengawasan internal. Dengan demikian tidak perlu dipertanyakan akuntabilitas keuangan KBJ 06 semata-mata demi kepentingan publik.

Sulit juga dibayangkan kemungkinan pertanggungjawaban secara dsil dengan satuan rupiah demi rupiah untuk konsumsi publik.

Biarlah masalah itu diurus oleh pihak-pihak yang berwenang dengan harapan segalanya berjalan wajar dan lancar. Kita percaya Panitia KBJ 06 tidak berani grusa-grusu bermain duit di zaman blak-blakan seperti sekarang. Kalaupun ada kemungkinan korupsi, mudah-mudahan terbatas yang recehan belaka. Yang jelas, majanamen keuangan KBJ 06 pasti dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Harus Berkelanjutan

Sudah disinggung tadi bahwa KBJ 06 merupakan sebuah momentum yang kontekstual dengan masa silam dan masa depan budaya Jawa. Bentuknya memang "hanya" sebuah upacara ilmiah yang mengakualisasikan sejumlah pemikiran dan gagasan. Tetapi bentuk atau wadah itu jelas diperlukan sebagai mata rantai kegiatan mendatang. Barangkali kita tidak boleh terpukau pada masalah bentuk, sebab bentuk itu akan segera bubar setelah tugasnya selesai. Yang lebih penting adalah memantau kelanjutannya yang harus tetap menjamin berkembangnya semangat atau idiologi pembangunan budaya Jawa.

Saya percaya saja terhadap kesungguhan semua pihak yang akan berkongres. Jika kelak ada yang konsekuen dengan amanat kongres dan pasti ada juga yang ingkar janji alias melupakannya. Itu pun wajar juga, bukan? Yang penting, janganlah konsekuensi atau komitmen itu hanya dibebankan kepada Panitia KBJ 06, tetapi sebarkan kepada banyak pihak setelah kongres. Jelas masih banyak agenda pembangunan budaya Jawa yang harus dikerjakan masyarakat di tahun-tahun mendatang. Dengan kata lain, KBJ 06 harus berkelanjutan. (11)

--- Yudiono KS, dosen Fakultas Sastra Undip, pengurus Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT).

Dikopas dari: Suara Merdeka, Jumat, 30 Juni 2006

0 comments: