Sunday, March 2, 2008

Kongres Bahasa Jawa, Sudahlah!

Oleh Sucipto Hadi Purnomo


MENYIMAK tulisan Sdr Yudiono KS, ''KBJ Harus Berkelanjutan'' (SM, 30/6/2006) sebagai tanggapan atas artikel Sdr Hendro Basuki (SM, 21/6/2006), segera membayang sosok juru bicara yang sarat dengan bahasa apologetik. Sayangnya apologi yang dibangun Sdr Yudiono dengan menganggap masalah dan kerumitan yang melingkupi Kongres Bahasa Jawa (KBJ) wajar adanya, sangatlah awam, anakronis, dan ahistoris.



Karena itu saya merasa perlu untuk memberikan tanggapan sebagai wacana bandingan. Wacana yang tentu saja amat dipengaruhi oleh keberadaan saya sebagai anggota Forum Pengelola Program Studi Bahasa dan Sastra Jawa Se-Indonesia, pengarang Jawa, Ketua panitia Kongres Sastra Jawa II (semenjak medio Juni lalu), dan berdasarkan SK Gubernur Jateng sebagai panitia perumus Kongres Bahasa Jawa IV.

Bahwa perhelatan macam KBJ adalah proyek sekaligus investasi kultural, sebagaimana dinyatakan Sdr Yudiono, khalayak awam pun tahu, kongres tersebut merupakan proyek nonfisik yang berurusan dengan gagasan dan konsep-konsep, semua orang terpelajar pastilah mahfum.

Namun menjadikan kongres sekadar sebagai ajang curah gagasan, yang termanifestasikan lewat penumpukan makalah dan aksi yang tak lebih dan tak kurang seperti penataran atau upacara, itu yang perlu disayangkan.

Itu pula yang senantiasa mengemuka dalam berbagai sarasehan, diskusi, seminar, dan simposium tentang bahasa dan sastra Jawa belakangan ini. Termasuk dalam diskusi publik ''Menakar Akuntabilitas Kongres Bahasa Jawa'', 9 Juni lalu di Semarang.

KBJ I-III tampak terlalu gagah dalam mengelaborasi persoalan bahasa dan sastra Jawa pada level ontologis dan epistemologis, namun lemah syahwat pada tataran praksis-aksiologis.

Kesadaran Pakar

Para pakar (dan pejabat) yang duduk di panitia pengarah KBJ IV bukannya tidak menyadari hal itu. Mereka malahan lebih maju dalam berpikir ketimbang Sdr Yudiono dalam hal ini.

Rumusan tema KBJ IV, ''Pemberdayaan Bahasa Jawa melalui Pendidikan dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika'', pada mulanya diharapkan sebagai salah satu jalan agar kongres kali ini tidak mengulang-ulang hal yang sama. Sayang semenjak peluncuran KBJ IV setahun lalu hingga kini hal tersebut tidak teraktualisasikan lewat berbagai penanda secara efektif.

Sampai detik ini mereka yang secara faktual menjadi think tank KBJ IV belum juga mampu memberikan argumentasi secara nyata dan meyakinkan bahwa kongres mendatang bakal keluar dari ''kesalahan yang sama''.

Alih-alih mengeliminasi distorsi yang ada dan menampik menjadi Sisipus yang dengan sia-sia melakukan hal yang sama secara berulang-ulang, para pemegang kendali KBJ IV justru berkesan membangun mekanisme pertahanan diri yang kelewat berlebihan. Akibatnya setiap suara dan aksi kritis kerap kali ditatap dengan mata curiga, dipandang negatif, jika tidak malah dianggap sebagai tandingan atau barisan sakit hati.

Andai saja Sdr Yudiono hadir dalam diskusi tentang akuntabilitas KBJ tersebut, pastilah akan menangkap aura pemikiran sebagaimana yang sebagian besar dikemukakan oleh Sdr Hendro Basuki. Diskusi publik tersebut digelar dan dihadiri oleh masyarakat umum, guru bahasa Jawa, mahasiswa, dan para akademisi yang tergabung dalam Forum Pengelola Program Studi Bahasa dan Sastra Jawa Se-Indonesia yang notabene orang-orangnya tak dilibatkan dalam perencanaan dan persiapan KBJ.

Memang biaya hampir Rp 6 miliar dari APBD untuk KBJ IV -- belum termasuk topangan dari Pemprov Jawa Timur dan Pemprov DIY serta biaya prakongres -- tak ''seberapa besar'' jika mengingat perhelatan itu menyangkut nasib bahasa dengan penutur lebih-kurang 75 juta. Namun jika capaiannya tidak bisa beratus-ratus kali, baik secara kuantitas maupun kualitas, dari Kongres Sastra Jawa yang hanya berbiaya tak lebih dari Rp 40 juta -- itu pun sebagian besar swadana para pengarang -- lebih baik, ''sudahlah!''.

Aneh memang. Tapi itulah kenyataannya. Mereka yang setiap detik menjadikan bahasa dan sastra Jawa sebagai denyut nadi keilmuan dan pengabdian akademik, mereka yang setiap saat menjadikan bahasa dan sastra Jawa sebagai pemantik kegelisahan intelektual, justru tidak ''diajak bicara''. Semoga itu akibat kealpaan belaka, bukannya karena menggunakan alur berpikir ala Sdr Yudiono yang membayangkan kemungkinan peranan program studi bahasa dan sastra Jawa sejumlah perguruan tinggi justru (hanya! ) setelah KBJ IV. Dengan kata lain tinggal menerima matengan.

Bayangan macam itu hanya mungkin terwujud jika para akademisi bahasa dan sastra Jawa sekadar menjadi intelektual tukang. Tak lebih dan tak kurang sebagai tukang jahit yang bisa mewujudkan garapan sesuai dengan pesanan.

Dominasi yang Tua

Keanehan berikutnya adalah masih dominannya ''wajah-wajah lama'' sebagai think tank kongres, sehingga generasi muda nyaris tiada mendapat tempat berarti. Merekalah yang mendesain dan menyelenggarakan KBJ dari waktu ke waktu. Padahal mereka terbukti tidak efektif menjadi mesin pemikir sekaligus mesin pendorong untuk menjawab tantangan riil bahasa Jawa, terutama laju kematiannya yang menurut Pusat Bahasa sebesar 4,1% per tahun.

Pada saat yang sama mereka yang tergolong muda sekadar ditampilkan sebagai timun wungkuk jaga imbuh, pelengkap penderita.

Karena itu harap maklum saja jika kongres yang semestinya mampu menjawab persoalan aktual bahasa Jawa dan berorientasi ke depan, justru terjebak pada romantisme masa lalu karena lagi-lagi disikapi dengan perspektif (istilah anak muda sekarang) "zamdul" --- zaman dulu banget.

Penampikan usulan label Kongres Bahasa dan Sastra Jawa dengan hanya beranalog pada Kongres Bahasa Indonesia yang otomatis juga mengakomodasi masalah sastra, menunjukkan kekurangpahaman Sdr Yudiono terhadap persoalan yang melingkupi perjalanan KBJ setidaknya selama dua penyelenggaraan terakhir.

Saudara Yudiono lupa atau bahkan tidak tahu bahwa di samping KBJ generasi muda bahasa dan sastra Jawa, terutama para pengarangnya, telah berhasil menggelar Kongres Sastra Jawa I di Solo, 2001, beberapa minggu sebelum KBJ III digelar di Yogyakarta.

Itulah bentuk moral force sekaligus resistensi simbolik para pengarang, yang didukung para akademisi terhadap KBJ.

Kalaupun pada 1-3 September 2006 nanti juga akan digelar KBJ II, itu merupakan akselerasi atas hal-hal yang pernah direkomendasikan dan diperbuat pada kongres sebelumnya. Juga sebagai wujud kesadaran bahwa sebagian (besar) rumusannya hanya menajdi macan kertas. Kesadaran lain bahwa tak mungkin mengembangkan bahasa dan sastra Jawa tanpa kerja sama dengan pihak lain dan citra ''tandingan'' perlu dipertanyakan kembali relevansinya, maka dipilihlah tema ''Membangun Kemitraan untuk Sastra Jawa''.

Lebih dari semua itu implementasi rekomendasi KBJ senantiasa menjadi tanda tanya besar yang senantiasa mengemuka setiap kali menjelang kongres. Apa yang bisa dihasilkan oleh KBJ, kecuali KBJ I menghasilkan KBJ II, KBJ II menghasilkan KBJ III, demikian seterusnya senantiasa menjadi ungkapan sinis yang tak kunjung mendapatkan jawaban nyata dari para pemangku kewenangan kongres.

Itu pula sebenarnya menjadi kegundahan utama para pengelola program studi bahasa dan sastra Jawa.

Saudara Yudiono menyatakan kemunculan program studi Jawa di perguruan tinggi merupakan sebagian hasil (rekomendasi) KBJ terdahulu. Ini informasi yang 100% salah, sehingga perlu saya luruskan. Di antara program studi bahasa Jawa yang mengantongi SK secara resmi, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa IKIP Semarang (kini Unnes) adalah yang termuda. Kebetulan saya salah satu alumnusnya, angkatan pertama untuk program sarjana, 1990. Padahal, KBJ I saja digelar tahun 1991 di Semarang.

Pikirkan Kembali

Sesempit apa pun waktu hingga penyelenggaraan KBJ IV 10-14 September mendatang, sesungguhnya masih ada kesempatan untuk berbenah, sekaligus menepis gugusan keraguan banyak pihak terhadap akuntabilitas KBJ IV. Itu bisa dilakukan antara lain dengan melakukan redefinisi, restrukturisasi, dan reorientasi dengan mengedepankan pada prinsip profesionalitas, keterbukaan, dan kebersamaan.

Maka jika KBJ mendatang seperti yang dibayangkan dan diargumentasikan oleh Sdr Yudiono, saya justru berpendapat lain: hentikan saja! Memang biaya hampir Rp 6 miliar dari APBD untuk KBJ IV -- belum termasuk topangan dari Pemprov Jawa Timur dan Pemprov DIY serta biaya prakongres -- tak ''seberapa besar'' jika mengingat perhelatan itu menyangkut nasib bahasa dengan penutur lebih-kurang 75 juta. Namun jika capaiannya tidak bisa beratus-ratus kali, baik secara kuantitas maupun kualitas, dari Kongres Sastra Jawa yang hanya berbiaya tak lebih dari Rp 40 juta -- itu pun sebagian besar swadana para pengarang -- lebih baik, ''sudahlah!''.

Jika KBJ IV juga tidak bisa menunjukkan akuntabilitasnya, baik pada aras akademik maupun publik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang didasari oleh prinsip profesionalitas, keterbukaan, dan kebersamaan, sebaiknya tak usah dilanjutkan.

Jika KBJ tak mampu meretas jalan menuju pada prestasi konkret pengembangan bahasa dan sastra Jawa, untuk apa diteruskan. Jika kongres ini hanya menjadi kongres generasi tua bahasa Jawa, memutar kembali lagu lama, temu kangen, sekadar upacara, miskin implementasi, dan sekadar curah gagasan dalam aroma kemabukan ideologis ''zamdul'', sebaiknya tutup buku saja. (11)

--- Sucipto Hadi Purnomo, pengarang Jawa dan dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes.

Dikopas dari: Suara Merdeka, Kamis, 06 Juli 2006

0 comments: