Sunday, March 2, 2008

Kemarahan Kreatif Sastrawan (Muda) Jawa?


Oleh Ayu Sutarto

Kemarahan, sinisme, kejengkelan, atau kesebalan para sastrawan (muda) Jawa terhadap penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) selalu mencuat ketika kongres yang menelan biaya cukup besar tersebut akan dihelat. Kejengkelan dan sinisme yang terekspresikan pada umumnya berakar dari beberapa hal yang menurut pandangan mereka tak pantas terjadi; antara lain, KBJ terlalu banyak menelan dana, sementara hasilnya hampir tidak ada; pelaksanaannya terlalu mewah; keputusan yang diambil terlalu ndakik-ndakik (muluk-muluk); hasil KBJ hanya beberapa butir rumusan dan rekomendasi yang tidak pernah dilaksanakan secara serius. Dan lain-lainnya. Dan lain-lainnya.



Sebagai pandhemen bahasa, susastra, dan kebudayaan Jawa, saya sangat berterima kasih atas sikap kritis yang dilontarkan para sastrawan (muda) Jawa terhadap pelaksanaan KBJ. Dalam konteks budaya, kemarahan mereka adalah kemarahan kreatif, konstruktif, dan produktif. Kemarahan kreatif tersebut tercermin dari upaya gigih mereka untuk menyelenggarakan Kongres Sastra Jawa (KSJ), beberapa saat sebelum KBJ digelar. Pada umumnya sastrawan Jawa yang terlibat dalam kemarahan kreatif ini adalah sosok-sosok muda yang memiliki kapasitas, komitmen, dan loyalitasnya yang tinggi terhadap sastra dan kebudayaan Jawa. Kritik pedas yang mereka lontarkan melalui berbagai media merupakan masukan yang sangat berarti, baik bagi panitia pengarah maupun panitia pelaksana. Dengan kritik keras semacam itu, panitia mendapat sumbangan pemikiran gratis yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan manfaat kongres ke depan.

Kemarahan para sastrawan (muda) Jawa yang muncul ke permukaan selama ini dapat dikategorikan sebagai kemarahan produktif. Oleh karena itu, pihak mana pun, termasuk panitia penyelenggara, seharusnya tidak merasa terancam oleh gerakan mereka. Reaksi keras para sastrawan Jawa tersebut sama sekali bukan reaksi destruktif. Apa yang terjadi di Inggris pada 1950-an kiranya dapat dijadikan perbandingan, pelajaran, atau kaca benggala. Pada waktu itu para sastrawan muda Inggris yang marah-marah terhadap situasi yang menurut mereka tak berpihak kepada perubahan justru menumbuhkan kreativitas dalam diri sastrawan muda itu sendiri. Publik Inggris menyebut anak-anak muda yang marah tersebut sebagai kelompok The Angry Young Men (Orang-orang Muda yang sedang Marah). Mereka terdiri dari para novelis dan penulis drama. Mereka melakukan perlawanan terhadap berbagai fenomena kemapanan (The Establishment).

Mereka marah terhadap tradisi, standar, dan pranata yang menurut mereka sangat membelenggu kreativitas. Karya-karya mereka sarat dengan satir dan olok-olok terhadap penindasan, kemunafikan, dan nilai-nilai yang tidak membawa inspirasi untuk pertumbuhan ke depan. Nilai-nilai seperti itu tumbuh dengan subur di sekolah, universitas, birokrasi, dunia industri, dan dunia komersial. Kemarahan mereka tertuang dalam karya-karya apik, antara lain Lucky Jim (1954) oleh Kingsley Amis, Room at the Top (1957) oleh John Braine , Loneliness of the Long Distance Runner (1960) oleh Alan Sillitoe, dan Look Back in Anger oleh John Osborne. Gerakan mereka adalah gerakan kreatif, bukan destruktif.

Harus diakui, KBJ I di Semarang, KBJ II di Malang, dan KBJ III di Jogja memang belum banyak memberi manfaat yang berarti bagi pertumbuhan bahasa dan kebudayaan Jawa. Kalau mau jujur, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para pandhemen melalui paguyuban dan sanggar lebih terasa dan bermakna daripada gerakan yang dikendalikan oleh roda birokrasi. Namun demikian, kita tidak boleh berkesimpulan bahwa KBJ tidak perlu dan sama sekali tidak berarti bagi kelangsungan hidup bahasa dan kebudayaan Jawa ke depan. Kedudukan produk-produk kebudayaan Jawa di mata dunia kini makin membanggakan. Pada 2003, wayang purwa telah diakui Unesco sebagai pusaka budaya dunia, dan berikutnya menyusul keris pada 2005. Citra dan kelangsungan hidup kedua produk budaya ini tak bisa lepas dari bahasa Jawa.

Di samping itu, bahasa Jawa sendiri adalah pusaka budaya dunia. Di antara sekitar 6.000-an bahasa di dunia, Grimes (1996) mendaftar nama-nama 107 bahasa dengan urutan teratas yang paling banyak penuturnya. Bahasa Jawa termasuk dalam 13 besar bahasa dunia, yakni berada di urutan ke-11 dengan penutur 75,5 juta. Bahasa Sunda tercatat di urutan ke-34 (27 juta), bahasa Melayu ke-54 (17,6 juta), bahasa Indonesia ke-56 (17,05 juta), dan bahasa Madura ke-69 (13,7 juta).

Para sastrawan muda Jawa seringkali melontarkan sinisme terhadap biaya kongres yang terlalu besar. KBJ III di Jogja yang dilangsungkan di Hotel Ambarukmo, misalnya, konon menghabiskan 4 miliar rupiah, dan KBJ IV yang akan diadakan di Semarang 10-14 September nanti, konon akan menelan 6 miliar rupiah, dengan peserta sekitar 1.000 orang. Tak bisa diingkari, KBJ memang sebuah perhelatan besar yang menelan biaya besar. Namun begitu, saya beranggapan KBJ bukanlah perhelatan budaya yang sia-sia.

Saya menganggap KBJ tetap penting bagi perkembangan bahasa dan kebudayaan Jawa ke depan. KBJ adalah sebuah kebanggaan, bukan hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi para pecinta bahasa dan kebudayaan Jawa yang berada di berbagai belahan dunia. Bagi orang Jawa, KBJ dapat menjadi pemicu untuk menggerakkan semangat agar orang Jawa tetap memelihara Jawa sebagai sebuah konstruk, bukan kelompok etnik atau bahasa. Jadi, jika benar KBJ IV di Semarang nanti menelan biaya 6 miliar rupiah, maka ongkos tersebut sangat murah bagi eksistensi sebuah pusaka budaya dunia. Jika penutur bahasa Jawa 75,5 juta dan sekarang tentu tak kurang dari 80 juta, maka biaya yang harus dipikul oleh setiap penutur bahasa Jawa untuk KBJ IV di Semarang tak lebih dari Rp 80; sebuah nominal yang tak bermakna. Biaya KBJ tersebut jauh lebih murah daripada biaya yang dikeluarkan seorang calon bupati dalam suatu pilkada, yang konon sekitar 15-20 miliar rupiah.

Menurut pendapat saya, yang perlu dikecam bukan biaya kongresnya, tetapi ketepatan penggunaan biayanya. Jika uang tersebut dikorup, ditilep, atau dipergunakan dengan tidak semestinya, kita pantas mengecamnya. Kalau dimanfaatkan semestinya, kita tak akan rugi.

Saya sangat mendukung langkah para sastrawan Jawa yang senantiasa kritis terhadap pelaksanaan KBJ. KSJ yang senantiasa diselenggarakan beberapa saat sebelum dimulainya KBJ, jelas bukan lawan tanding, tetapi sebuah kemarahan kreatif mitra seperjuangan yang harus didukung, baik oleh birokrat maupun penyandang dana yang lain. Sejak awal, yang diperjuangkan KBJ adalah bertumbuhnya komitmen kultural dan kebijakan yang tepat dan membawa hasil bagi bahasa dan kebudayaan Jawa ke depan, di tengah gelombang perubahan yang tak jelas juntrungnya. Untuk itu, polemik tentang KBJ adalah berkah yang harus disyukuri. Sebaliknya, KSJ bukan event tandingan. KSJ adalah kemarahan kreatif para satrawan (muda) Jawa. Bagaimana menurut Anda? (*)


*) Ayu Sutarto, anggota Dewan Pengarah Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, 10-14 September 2006.


Dikopas dari: Jawa Pos, Minggu, 02 Juli 2006

0 comments: