Seorang kawan saya, pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, bercerita tentang seorang pejabat yang mengeluh di hadapannya. Yang dikeluhkan Si Pejabat itu adalah siaran berita berbahasa Jawa subdialek Surabaya (untuk lebih singkatnya, selanjutnya disebut bahasa Surabaya) yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta di Surabaya. Pejabat itu, menurut teman saya, mengatakan bahwa bahasa Surabaya yang dipakai di dalam siaran berita itu ndhak karu-karuan! Nah, susah juga, bagaimana menerjemahkan istilah ndhak karu-karuan itu! Bisa tidak beraturan, tidak sistematis, tidak santun, dan sebagainya. Kalau persoalannya adalah aturan, maka kita seharusnya segera bisa mencari rujukannya ke tatabahasa, dalam hal ini mestinya adalah tatabahasa bahasa Surabaya. Sudah adakah tatabahasa bahasa Surabaya? Belum! Nah, itulah persoalannya.
Bahasa Jawa Mataraman, untuk menyebut ragam bahasa Jawa yang dipakai di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, Jogjakarta, dan sebagian Jawa Timur seperti Madiun, Ponorogo, Bojonegoro, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, masih memiliki tradisi tulis seperti yang dapat kita lihat pada media cetak: (Jaya Baya dan Panjebar Semangat (keduanya majalah berbahasa Jawa terbit di Surabaya), Mekar Sari (sisipan/Kamis harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta), Pringgitan (halaman berbahasa Jawa di harian Suara Merdeka Semarang), Djaka Lodang (majalah/Jogjakarta), Parikesit (majalah/Jakarta). Lebih dari itu, sudah banyak disusun
bausastra (kamus) bahasa Jawa (Mataraman), termasuk paramasastra (tatabahasa) bahasa Jawa Mataraman. Bahkan, pada Kongres Bahasa Jawa I yang digelar di Semarang (1991) diluncurkan Kamus Besar Bahasa Jawa dan Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Artinya, orang memiliki
pedoman yang jelas. Mereka yang tidak sempat membaca kamus atau tatabahasanya, setidaknya bisa merujuk yang dipakai oleh media cetak yang ada untuk tatatulisnya. Sedangkan untuk pemakaian lisannya, banyak stasiun radio, bahkan yang siaran di Jakarta, yang menggunakan bahasa Jawa yang sangat bagus.
Bahasa Surabaya belum memiliki kamus, apalagi tatabahasa. Media cetak berbahasa Surabaya juga tidak ada. Pun, tak satu pun radio di Surabaya yang memiliki program siaran khusus berbahasa Surabaya. Maka, bahasa Surabaya adalah bahasa yang tumbuh relatif liar di
masyarakatnya yang semakin multikultur, suatu hal yang tak mungkin dihindari oleh kota metropolis semacam Surabaya.
Maka, ketika sebuah stasiun televisi tiba-tiba membuat program siaran berita berbahasa Surabaya, terkaget-kagetlah masyarakat. Ada yang menyambut dengan sukacita, ada yang geli, tetapi tak jarang pula yang menahan geram seperti pejabat teman (-nya) teman saya tadi
itu. Nah, daripada ngenes bin geram tak berkesudahan, seandainya saya seorang pejabat yang memegang kekuasaan untuk menentukan abang-birune Surabaya, bikin saja kamus bahasa Surabaya. Soal dana, tentu ada, tergantung kemauan. Soal SDM, apalagi, di Surabaya bertebaran Universitas bergengsi yang memiliki Fakultas/Jurusan Bahasa. Bahkan,
Unesa memiliki Jurusan Bahasa Jawa. Juga ada lembaga (walau kantornya berdiri megah di Sidoarjo) namanya Balai Bahasa Surabaya.
Kita tidak mempersoalkan peneliti yang biasanya giat menggali-gali bahan yang sudah sangat dalam terpendam di dalam tanah. Tetapi sunguh sayang jika keasyikan itu melupakan mereka pada apa yang masih ada di depan mata. Mbok ya diinfentarisasi kosakata bahasa Surabaya itu untuk bahan penyusunan kamus bahasa Surabaya. Syukur-syukur pada saat yang sama dibentuk tim untuk menyusun tatabahasa bahasa Surabaya. Itu akan jadi proyek yang lebih bermakna, misalnya, daripada sekadar seminar atau bahkan kongres yang sering tak berujung pangkal itu.
Itulah sebabnya, maka beberapa waktu lalu di dalam diskusi yang digelar di Galeri Surabaya oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS), saya mengusulkan agar DKS ikut memelopori program penyusunan kamus bahasa Surabaya daripada sibuk memusingkan SK Walikota yang tak kunjung
turun itu.
Penyusunan kamus bahasa Surabaya adalah proyek yang nyata, bukan semata-mata untuk keperluan pengembangan bahasa –ingat, yang dimaksudkan adalah bahasa Jawa subdialek— Surabaya, melainkan juga bermakna sebagai pelaksanaan tugas sejarah. Taruhlah dalam sekian
puluh atau sekian ratus tahun mendatang bahasa Surabaya menjadi bahasa yang telah mati, hanya tinggal sejarahnya, cucu-cicit orang Surabaya kelak akan mengenali leluhurnya dari dokumen-dokumen yang mereka (baca: kita) tinggalkan, termasuk di antaranya adalah bahasa
yang pernah kita pakai. Salah satu dokumen yang akan sangat mereka perlukan adalah kamus itu, dalam hal ini adalah kamus bahasa Surabaya. Jika tugas itu tidak kita lakukan sekarang juga, tunggulah saatnya kita dikutuk oleh cucu-cicit kita sendiri.
Ilmu sejarah mengatakan bahwa antara bangsa yang disebut primitif dengan yang modern dipisahkan oleh tradisi tulis. Masyarakat yang meninggalkan tulisan dinilai sebagai masyarakat yang lebih modern, lebih beradab dibandingkan masyarakat yang hanya meninggalkan benda-
benda bukan tulisan. Oleh karena itu, jangan sampai kelak disebut-sebut bahwa masyarakat Surabaya itu hanyalah masyarakat primitif, berperadaban rendah, karena tidak memiliki tradisi tulis, tidak meninggalkan warisan dalam bentuk tulisan yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. Maka, marilah kita menjadi masyarakat yang lebih 'beradab' dengan membuat kamus bahasa Surabaya!
Banyuwangi pun sudah memiliki kamus `bahasa' Osing! Kapan Surabaya menyusul? [bn]
Pernah dimuat Jawa Pos
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment