Tuesday, March 4, 2008

Membangun Publik Pembaca Sastra Jawa di Sekolah; Sebuah Alternatif

Oleh : Tjahjono Widarmanto

Persoalan sosialisasi sebetulnya merupakan sebuah persoalan yang klise dalam kesusastraan. Tak hanya sastra Jawa saja namun juga sastra-sastra daerah lain bahkan juga dalam kesusastraan Indonesia. Hal ini terjadi karena memang kesusastraan di manapun juga berada ditakdirkan untuk hidup marginal. Namun dalam sastra jawa (dalam konteks sasttra Jawa moderen), kemarginalan ini menjadi lengkap karena beberapa situasi dan kondisi baik intrinsik maupun ekstrinsik yang meliputi keberadaan sastra Jawa moderen.



Dalam realitanya, ada dua hal positif, yang sebetulnya bisa dijadikan landasan untuk pengembangan sastra Jawa . Pertama; bahasa jawa sebagai instrumen terpenting sastra Jawa masih digunakan secara luas di kalangan masyarakat luas. Bahkan sampai kini pengguna bahasa Jawa bisa dikatakan lebih luas dibanding penggunaan bahasa-bahasa yang lain (termasuk bahasa Indonesia), utamanya sebagai sebuah alat komunikasi keseharian. Di seluruh pelosok Jawa, masyarakatnya masih setia untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian. Juga di daerah-daerah luar Jawa, penyebaran bahasa Jawa juga luas utamanya digunakan di wilayah-wilayah transmigran dan pemukiman Jawa. Lebih-lebih ada sebuah anggapan bahwa bahasa Jawa tak hanya sekedar sebuah alat komunikasi namun bisa digunakan sebuah sarana pengembangan budi pekerti.

Kedua ; Para penulis sastra Jawa telah memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk memproduksi sastra Jawa. Penulis-penulis sastra Jawa terus saja lahir; baik dari genre geguritan (puisi) maupun dari genre prosa. Bahkan para penulis cerita-cerita remajapun (yang bersifat populer) pertumbuhan juga sangat menjanjikan. Hal ini bisa kita amati dalam media bahasa Jawa (misalnya Jayabaya dan Pannjebar Semangat), di rubrik geguritan, cerkak, dan roman sacuwil. Namun, kedua pondasi tersebut tidaklah cukup, karena ada realita-realita lain (realita negatif) yang menyebabkan sosialisasi dan perkembangan sastra Jawa masih amat tersendat-sendat.Pertama; masyarakat pengguna bahasa Jawa lebih banyak hidup dalam tradisi oral (lisan) dan bukan masyarakat tradisi baca-tulis. Kedua; basis pembaca media berbahasa Jawa masih disdorong keinginan rekreatif (mencari hiburan) belum didorong keinginan apresiatif.

Ketiga; media bahasa Jawa masih amat sedikit dan tidak memiliki peluang pasar sehingga publikasi kasrya-karya sastra Jawa menjadi amat terbatas, lebih-lebih rubrik sastra mereka juga amat terbatas (bandingkan dengan sastra Indonesia yang publikasinya amat luas karena semua media berbahasa Indonesia menyediakan ruanng bagi publikasi sastra Indonesia).

Keempat; karakterisasi bahasa Jawa yang terlanjur dianggap "adiluhung" ,- yang dikatakan George Quin sebagai ideologi hegomoni priyayi konservatif –yang menjebak bahasa Jawa menjadi statis sehingga kurang memberi peluang untuk melontarkan daya ucap baru yang bersifat kekinian. Kelima; sastra Jawa moderen hidup dan bergulir tanpa punya kritikus, tak punya essais, sehingga mereka tak mempunyai juru bicara. Kritik dan essai sastra Jawa memang ada, namun kehadirannya tidak lahir dari seseorang yang memang mengkhususkan diri sebagai juru bicara sastra Jawa. Sudah saatnya sastra Jawa punya seorang kritikus untuk meneriakkan keberadaan sastra Jawa; baik melalui media bahasa Jawa itu sendiri maupun media bahasa Indonesia. Keenam; sastra Jawa tak punya pendukung (baca:pembaca dan penikmat) yang riil dikalangan generasi muda. Hal ini terlihat dalam event-event pembacaan sastra Jawa yang hadir mayoritas adalah para sastrawannya sendiri, konco-konconya,dan satu-dua peneliti dan akedemisi. Bandingkan misalnya dengan pembacaan puisinya Sosiawan Leak, Rendra atau event-event sastra Indonesia yang lain.

[]

Realita-realita negatif yang saya sebutkan di atas merupakan faktor utama penyebabnya tersendatnya sosialisasi sastra Jawa moderen. Sudah saatnya kita mencari alternatif-alternatif untuk menciptakan pembaca-pembaca sastra Jawa atau setidaknya menciptakan peluang terbentuknnya ruang dan kondisi yang mampu menciptakan pembaca. Selama ini lahirnya sanggar-sanggar semacam Triwidha atau lingkar sastra lain lebih menekankan anggotanya untuk bisa menulis namun seringkali melupakan bagaimana menciptakan publik pembaca bagi sastra Jawa.

Penyebaran sastra dan upaya membangun publik pembaca sastra Jawa bisa melalui dua jalur yaitu jalur formal dan jalur nonformal. Jalur formal melalui institusi-institusi formal semacam sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sedangkan jalur nonformal bisa melalui sanggar-sanggar, performance-performance seni, dsb.

Melalui jalur formal ; langkah yang paling mudah dan realitis adalah menggandeng pihak birokrasi pendidikan yaitu Dinas Pendidikan Nasional. Namun, seringkali birokrasi yang berbelit menjadikan langkah ini menjadi bertele-tele. Selama ini pelajaran Bahasa Jawa hanya diberikan di tingkat SLTP itupun bersifat muatan lokal. Komposisi kurikulum sebetulnya sudah berimbang antara tata bahasa, kosa kata, menulis dan membaca huruf dan kesesuasteraan. Namun yang menjadi kendala adalah keterbatasan waktu. Waktu yang diberikan pada pelajaran bahasa Jawa hanya 2 jam dalam seminggu, sedangkan beban kurikulum amat padat. Dalam prakteknya, jam yang terbatas tersebut habis tersita oleh "materi-materi berat" seperti menulis dan membaca huruf jawa dan materi tingkatan berbahasa (dalam penggunaan bahasa halus (krama inggil).

Kesustraan jawa yang diajarkannya sebetulnya sudah cukup mewakili perkembangan sastra Jawa moderen dengan disertakan geguritan ataupun prosa (cerkak). Namun karena jam yang terbatas tersebut seringkali materi ini "dikorbankan".

Perlu juga dicatat bahwa tidak semua pengajar bahasa Jawa memilikikemampuan dan ketertarikan dalam sastra Jawa. Gatot Susilo pernah mengatakan bahwa guru sastra yang baik adalah tidak semata mengajarkan ilmu kesusatran belaka namun harus memiliki pengalaman bersastra, yaitu pernah mengalami membuat karya sastra denganbaik, pernah mengapresiasi dan selalu mengikuti perkembangan sastra, dan bisa membawakan karya sastra dengan baik. Dalam realitanya, guru sastra yang ideal semacam yang disodorkan Gatot Susila ini, dilapangan sangat sulit dicari, sehingga yang terjadi pelajaran sastra dikesampingkan begitu saja.

Di atas telah diutarakan bahwa pelajaran Bahasa Jawa hanya diberikan di tingkat SLTP saja, sedangkan di bangku SMU pelajaran Bahasa Jawa sama sekali tidak ada. Padahal kalau dikaitkan dengan apresiasi, keterbatasan siswa SLTP dalam penguasaan teori kesustraan masih amat sederhana. Sehingga pengenalan sastra Jawa moderen menjadi amat terbatas. Cerpen-cerpen Djayus Pete yang berbau surealis, misalnya, akan sulit dikenalkan pada siswa SLTP.

Ketika pelajaran Bahasa Jawa terputus di SLTP saja, otomatis terputuslah sosialisasi sastra Jawa di sekolah. Di SMU anak-anak sekolah tidak lagi mencermati perkembangan kesustraan Jawa.Terputuslah kemungkinan mereka mengenal dan menikmati kembali sastra Jawa. Cobalah bertanya pada mereka,apakah mereka mengenal Keliek Eswe, Daniel Tito, Suwardi Endaswara,atau Bonari Nabonenar?

Hal yang paling riil dilakukan adalah memasukan kembali pelajaran Bahasa Jawa di SMU. Tentu saja ini bukan persoalan yang gampang. Bagaimana kurikulumnya, siapa pengajarnya, beban siswa yang semakin berat, dan sebagainya.dan sebagainya merupakan konsekuensi dari usulan ini. Upaya yang lain yang bisa dilakukan melalui jalur formal (dan lagi idealnya menggandeng Dinas Pendidikan) adalah merangsang tumbuhnya minat bersastra Jawa dengan jalan mengadakan lomba penulisan sastra Jawa ---geguritan misalnya--- secara berkala; mengadakan lomba baca geguritan dalam skala "bergengsi", atau meniru saudara kita di dunia sastra Indonesia-membuat program pengarang masuk sekolah (tentu saja dalam konteks pengarang sastra Jawa).

Untuk kurikulum Bahasa Jawa di SLTP, perlu pul;a dikenalkan bentuk-bentuk sastra populer berbahasa Jawa semacam roman secuwil, sehingga anak-anak menjadi tertarik. Cobalah kita amati fenomena novel "Lupus" dalam sastra Indonesia yang membuat anak-anak muda tertarik dalam dunia sastra. Bisa pula dengan mencoba menambahkan ekstrakurikuler berupa sanggar sastra Jawa yang tak hanya berhenti pada penciptaan sastra namun juga dengan performance sastra jawa.

[]

Tentu saja apa yang saya utarakan di atas adalah pancingan-pancingan belaka, yang masih bisa diperdebatkan panjang lebar, lebih-lebih dalam tataran prakternya. Untuk itulah mari kita berdiskusi bersama. []


Ngawi,2001

[] Penulis adalah penyair, essais, dan pemerhati sastra Jawa yang tinggal di Ngawi

Disampaikan pada Kongres Sastra Jawa I, Surakarta 7 - 9 Juli 2001

0 comments: