Mengenang Esmiet (1938 - 2003)
Oleh: Daniel Tito
SELAIN Arswendo Atmowiloto yang sukses menjadi "anak angkat" Kota
Jakarta, Esmiet adalah orang kaya kedua di kalangan pengarang sastra
Jawa. Paling tidak, itulah gambaran pada akhir tahun 1970-an. Tatkala semua pengarang yang diundang bersarasehan di PKJT Sasanamulya, Solo, di tahun 1979, itu rata-rata naik bus umum, Esmiet datang dengan mobil Colt keluaran terbaru dengan diantar seorang sopirnya. Langkahnya gagah, pakai jas, dengan senyum mengembang dan tawa terkekeh.Sementara Arswendo datang dari Jakarta dengan menumpang pesawat terbang, cukup berkaus oblong dan ber-jeans, serta cengengesan.
Sama seperti Arswendo, Esmiet adalah seorang bintang. Bukan saja
karena kesanggupannya memosisikan diri sebagai magnet yang mampu
menyedot perhatian semua yang emandangnya, tetapi memang seluruh
kiprahnya di dunia sastra Jawa layak memperoleh perhatian. Ia paling
produktif di antara pengarang senior lainnya, seperti Suparto Brata,
Tamsir AS, Soedharma KD, dan Widi Widayat. Tahun 1977, sebagaimana
yang tercatat di sampul belakang buku novelnya Tunggak-tunggak Jati,
jumlah crita cekak (cerita pendek) yang dihasilkan mencapai angka
1.174, sementara crita sambung (cerita bersambung) berjumlah puluhan. Hingga tahun 2003 ini crita cekak-nya tak kurang dari 2.100, crita sambung-nya 158 buah.
Lahir tanggal 20 Mei 1938 di Desa Kasiyan, Kecamatan Dlanggu,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, pemilik nama asli Sasmito ini lebih
dikenal sebagai orang Banyuwangi, sebuah kota yang rupanya memberikan kesuburan bagi kariernya, baik sebagai pengarang maupun sebagai guru sekolah dasar. Sejak tahun 1956, ia menulis, sejak itu pula karyanya membanjiri semua media berbahasa Jawa tanpa terkecuali. Mulai dari Kumandang (Jakarta), Mekar Sari dan Djaka Lodang (Yogyakarta), Dharma Kandha dan Dharma Nyata (Solo), hingga Panjebar Semangat dan Jaya Baya (Surabaya).
Kepada setiap media biasanya ia tak hanya mengirim satu atau dua
cerpen, tetapi bisa sekaligus lima cerpen, bahkan lebih. Pun
cerbungnya selalu diantrekan ke masing-masing media nyaris tanpa
jeda. Maka, tak mengherankan jika pada suatu ketika, tiga atau empat
media memuat cerbung Esmiet dalam waktu yang berbarengan, dengan
judul yang berbeda-beda.
Esmiet adalah "orang besar" dalam sastra Jawa. Tak ada pembaca sastra Jawa yang tak mengenalnya. Seiring dengan kebesaran namanya,
omongannya pun sering besar pula. Inilah yang sering ditangkap
sebagai sebuah kesombongan oleh pihak yang kurang senang, atau -
setidaknya-kurang memahami karakternya.
Pernah Esmiet tampak meradang dan langsung menyambar dengan omongan
keras kepada Djajus Pete, pengarang dari generasi yang lebih muda.
"Masak kamu enggak mengakui saya sebagai seniormu, he! Aku, kan, lebih kondang dari kamu!" Hanya karena Djajus tampak kurang menghargai atau menyepelekan.
Itu terjadi, kalau tidak keliru, pada sarasehan sastra Jawa tahun
1980, juga di Solo. Dan Djajus, entah karena kemudian menyadari
"kesalahannya" atau sekadar enggan berbantah, akhirnya pengarang dari Bojonegoro itu memilih diam sambil pringas-pringis.
Sebagai bintang sarasehan, waktu itu, Esmiet yang sempat menceritakan asal-usul kekayaannya-antara lain berkat hubungan bisnisnya dengan seorang Cina, lalu mengumbar janji bahwa ia akan mendirikan penerbitan sastra Jawa sepulang dari sarasehan. Semua peserta sarasehan pun terkesima, terkagum-kagum. Maklum, pada waktu itu sastra Jawa sudah nyaris terdampar menjadi sastra majalah. Munculnya karya sastra Jawa dalam bentuk buku tentu merupakan impian setiap pengarang.
Selama setahun para pengarang terpacu semangatnya untuk melahirnya
karya-karya yang lebih berbobot. Selama setahun mereka bermimpi
karyanya segera mendapatkan giliran diterbitkan oleh Esmiet. Akan
tetapi, mimpi tinggal mimpi. Dan Esmiet tak kunjung bisa melunasi
janjinya sampai pada sarasehan tahun berikutnya dan tahun berikutnya
lagi. Itulah, maka dua tahun kemudian Arswendo tampil dengan
makalahnya yang supergalak, yang antara lain meledek Esmiet habis-habisan sebagai "janjine wong mendem", janjinya orang mabuk.
Alhasil, Esmiet memang tak pernah bisa menggenapi janjinya sampai
kapan pun. Namun, hebatnya, meskipun demikian, tak ada yang lantas
mendendami Esmiet. Tak ada yang menagih janjinya. Tak ada yang benar-benar: menagih! Apalagi setelah sekian tahun kemudian, pada sebuah pertemuan pengarang sastra Jawa yang lain, yang tidak lagi di Solo, Esmiet mengaku dirinya sudah jatuh miskin sekarang. Alih-alih mendirikan penerbitan buku-buku novel berbahasa Jawa, untuk ongkos angkutan umum ketika menghadiri acara saja sudah kerepotan. Mobil Colt-nya yang dulu mengilap tentu saja sudah raib bersama jasnya. Jadinya, Esmiet hadir pada setiap perhelatan sastra Jawa tanpa mobil, tanpa sopir, tanpa jas. Ia naik bus umum, seperti yang lain. Ia berbaju sederhana (kadang memakai batik), seperti yang lain. Malah tubuhnya tampak lebih kurus dan kurang terurus.
Lebih hebat lagi, ketika Esmiet berceloteh bahwa kemiskinannya karena demi membela sastra Jawa, para pengarang yang dulu diberikan janji pun maklum adanya. Tanpa protes. Tanpa gugatan. Barangkali karena hikmahnya tetap ada, yakni bahwa mereka terlanjur bersemangat untuk terus berkarya hingga sekarang.
APA mau dikata, toh, Esmiet telah menjadi aset besar sastra Jawa. Ia
boleh dinilai tak konsekuen. Ia boleh dianggap pemimpi yang seru. Akan tetapi, kesungguhannya dalam menggeluti sastra Jawa tak perlu
diragukan. Ia terus berkarya dan tetap rajin mendatangi setiap ada
hajatan sastra Jawa, asal dirinya diundang. Tak peduli apakah ia
sedang punya uang atau dirinya sedang tak sehat benar.
Beberapa tahun terakhir ini, Esmiet diserang sejumlah penyakit yang
membuat dirinya harus ditemani kursi roda ke mana pun ia pergi.
Itulah, maka ketika saya dan teman-teman menyelenggarakan Kongres Sastra Jawa (KSJ) I di Solo tahun 2001, ia sengaja tak diundang. Kasihan, kalau diundang. Itu pertimbangan teman-teman panitia. Tak tahunya, konon Esmiet malah marah besar, merasa dirinya tak dihargai oleh yang muda-muda.
Pada Kongres Bahasa Jawa III di Yogya, seminggu setelah KSJ I di Solo, Esmiet tampak hadir di atas kursi roda dipandu oleh seorang
pembantunya. Ia pun diberi kesempatan untuk berbicara di forum-
walaupun itu sebenarnya tak masuk dalam agenda, berdampingan dengan pembicara lain. Berdampingan dengan sindhen kondang dari Sragen, Anik Sunyahni.
Kesempatan itu pun tak disia-siakan olehnya. Dengan gaya sedikit kocak dan bahasa Jawa logat Banyuwangen, Esmiet pun ngelantur macam-macam. Mulai dari sastrawan Jawa yang katanya telah terkena kutuk dari Mpu Sedah, yang membuat mereka, baik yang tua maupun yang muda, mati secara bergiliran dengan rentang waktu yang pendek dan penyebab yang mengenaskan (tiga di antaranya tewas tertabrak mobil, yakni Soedharma KD, Poer Adhie Prawoto, dan-terakhir- Yes Ismie Surayaatmaja). Hingga urutan carakan Aksara Jawa yang telah berpuluh tahun dipahami seperti sedia kala oleh masyarakat Jawa pun tak luput dari koreksinya.
Di kalangan pengarang sastra Jawa, Esmiet memang dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Sering melontarkan buah pemikiran yang aeng-aeng, muskil. Dan itu tak hanya berlangsung sekarang setelah dirinya merasa tua dan berkali-kali ditinggal mati oleh yang lebih muda. Sejak dulu pun, ia sudah kontroversial. Misalnya saja, pada sarasehan sastra Jawa di Solo tahun 1979 ia sudah melontarkan ramalannya bahwa sastra Jawa akan habis, punah, 25 tahun kemudian. Tentu saja "bualan" Esmiet langsung mendapat penentangan keras dari sana-sini. Suasana sarasehan menjadi gerah. Terutama bagi yang merasa tak rela. Apalagi ternyata Esmiet tak sanggup memberikan argumentasi yang meyakinkan.
Dua puluh lima tahun kemudian, yang berarti tahun 2004. Tahun depan
ini. Benarkah sastra Jawa sudah punah?
Nyatanya, sekarang, masih ada tiga majalah berbahasa Jawa, yakni
Panjebar Semangat, Jaya Baya (keduanya terbit di Surabaya), dan Djaka Lodang (terbit di Yogya) yang secara ajek menyuguhkan karya sastra Jawa. Nyatanya, Esmiet sendiri masih terus menulis, masih terus mengirimkan karya-karyanya ke ketiga media tersebut.
Bisa jadi Esmiet malah sudah lupa pada ramalan yang dibikinnya 24
tahun yang lalu.
BAGI saya pribadi, Esmiet dengan segala sepak terjang, janji, dan
kontroversinya, tak saya rasakan sebagai hal yang merisaukan benar.
Sebaliknya, justru menjadi hiburan segar tersendiri. Atau tepatnya,
saya bukan termasuk golongan yang suka kagetan.
Tahun 1979 saya sudah berkenalan secara langsung dengan Esmiet. Ya,
saat sarasehan itu, bahkan saya sempat ikut naik mobil Colt-nya yang
kempling, diajak ke hotel tempatnya menginap (ia tak mau tidur di
barak PKJT Sasanamulya seperti saya dan yang lain-lain). Perkenalan yang tidak langsung malah terjadi jauh sebelumnya. Tatkala masih duduk di bangku SMP, tahun 1972, saya sudah kagum berat dengan cerita bersambungnya di Panjebar Semangat yang berjudul Lintang Wengi Dadi Ati (memakai nama samaran Esmuning Mitarum). Dua tahun kemudian saya dibuat kagum untuk yang kedua kalinya setelah membaca cerbungnya yang lain dengan judul Angin Puputan Kedhung Srengenge, di majalah yang sama (kali ini memakai nama Esmiet).
Waktu menghadiri Kongres Bahasa Jawa III di Yogya saya sempatkan
mampir ke kamarnya, mengajaknya mengobrol dan bernostalgia. Tanggapan Esmiet sungguh luar biasa. Wajahnya pucat, namun tampak sekali semangatnya berbicara. "Tahu enggak kamu, untuk menulis Lintang Wengi Dadi Ati itu saya sampai melakukan riset ke Suriname, mencari penyanyi yang menjadi tokoh sentralnya itu. Ketemu. Jadi, cerita itu sebenarnya setengah nyata," ujarnya meledak-ledak dengan mata berbinar. "Bisa kamu bayangkan, berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk melancong ke luar negeri dan cuma berapa honor yang saya terima dari majalah," sambungnya.
Di mata saya, Esmiet memang pantas mendapatkan penghargaan yang tinggi untuk totalitas pengabdiannya. Bahkan, dua hadiah Rancage yang diterimanya pada tahun 1998 untuk novelnya Nalika Langite Obah dan tahun 2001 untuk jasanya mengembangkan sastra Jawa, sebenarnya
belumlah cukup.
Dan yang paling pantas disayangkan, pengarang dengan pengabdian begitu lama, produktivitas begitu tinggi, ternyata hanya memiliki belasan karya yang diterbitkan menjadi buku. Lebih celaka lagi, ternyata ia pun mengaku tak punya dokumentasi. Yang masih disimpan di rumahnya, Banyuwangi, hanya beberapa yang termuat di majalah-majalah.
"Tolonglah, kamu yang lebih muda mau mengumpulkan karya-karya saya,"
pintanya dengan penuh harap.
Saya tak menyatakan sanggup, tetapi saya mengaku senang jika bisa
memenuhi permintaannya. Dan benar saja, ternyata saya memang tak punya cukup waktu untuk tugas semulia itu. Sampai akhirnya saya mendapat SMS, 4 Agustus 2003, dari beberapa teman pengarang: Trinil (Surabaya), Kicuk Parta (Pemimpin Redaksi Jaya Baya), JFX Hoery (Cepu). "Sudah dapat kabar? Esmiet meninggal, tadi jam 12.00."
Saya sempat tercenung beberapa saat. Saya tahu, dengan akumulasi
penyakitnya yang berat itu pada akhirnya Esmiet bakal menyerah oleh
Sang Waktu. Toh, selama ini saya masih terus berharap-kalau bisa-bukan sekarang.
Selamat Jalan, Tuan Senior!
Daniel Tito Cerpenis, Penggiat Sastra Jawa, tinggal di Sragen.
Dikopas dari Kompas
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment