Tuesday, March 4, 2008

Sastra Jawa Mencari Pamor

AKHIRI LUKIS, TEATER DAN PUISI DI GALERI SURABAYA

Dominasi sastra Indonesia terhadap sastra daerah dalam agenda publik sudah lama terjadi. Salah satu usaha sastra Jawa dalam melawan dominasi sastra Indonesia adalah dengan menunjukkan pamornya. Sayangnya, pamor sastra Jawa sendiri sudah lama surut ditelan arus kehidupan zaman. Kalau sekarang muncul diskusi mengenai sastra Jawa, maka yang terjadi belum lagi usaha menunjukkan pamor. Diskusi mengenai sastra Jawa yang mungkin terjadi saat ini lebih dalam kerangka mencari pamor.



Di akhir agenda Galeri Surabaya yang cukup padat dijadwalkan pula sebuah acara diskusi mengenai sastra Jawa. Dalam acara yang akan di gelar Minggu, 30/6, mulai pukul 19.30 itu bakal dikomando oleh Esmiet, penulis cerita sambung, dan Tengsoe Tj., penyair sastra Indonesia serta dimoderatori oleh Keliek S.W. Diskusi ini tampaknya bakal mengundang banyak penggurit maupun penggembira sastra Jawa di Surabaya, mengingat lemahnya pengembangan sastra Jawa di Surabaya. Lebih-lebih saat ini Surabaya sudah kehilangan penggurit, dokumentator sekaligus kritikus sastra Jawa yang cukup berbobot, yakni Prof. Soeripan Sadioetomo.

Di samping itu, lemahnya pelestarian dan pengembangan tak hanya tampak dari kurangnya wadah dan peminat sastra Jawa itu sendiri. Dalam penyelenggaraan acara diskusi ini sendiri pun masih tampak kurang matang pertimbangannya. Pemilihan pembicara dan moderator oleh penyelenggara, Galeri Surabaya, masih belum betul-betul menunjukkan suatu kesungguhan. Ketika mendengar kabar bahwa pembicaranya adalah Esmiet dan Tengsoe Tj., yang juga warga WNI keturunan, maka seorang penggurit Surabaya Mashuri, 28, berkomentar agak miring.

“Kalau pembicaranya itu, saya kayaknya kurang sreg, Mas.” Ujar Mashuri. “Sayang, Pak Soeripan sudah meninggal.”

Ada rumor yang berkembang bahwa Surabaya rupanya masih banyak mendompleng Jakarta. Sehingga wajar kalau Galeri Surabaya mempunyai agenda acara yang begitu padat selama bulan Juni, sebab Gedung Kesenian Jakarta pun mempunyai jadwal yang padat serta para pengisi acara yang berbobot.

Galeri Surabaya di bawah pengelolaan Dewan Kesenian Surabaya Jl. Pemuda 15, Surabaya, mengadakan 2 pamean lukisan, 3 pemntasan teater, 1 peluncuran anotologi puisi, dan ditutup dengan diskusi sastra Jawa tersebut. Beberapa pengisi acara dalam gedung yang mulai banyak mengalami perubahan fungsi ini lebih menunjukkan format kedaerahan. Hal ini menunjukkan 2 motivasi sekaligus, motivasi mengangkat seniman daerah dan mengejar target program untuk menghabiskan anggaran yang disediakan oleh Pemda. Kejujuran jawaban atas dua kemungkinan motivasi tersebut tidak mungkin dikonfirmasi dari pengurus Dewan Kesenian Surabaya, namun bisa diperhatikan dari penggunaan gedungnya.

Pada hari kedua penyelenggaraan Pameran Lukis Tiga Perempuan Pelukis Surabaya, Rabu, 19/6, malam terlihat peristiwa yang sangat ironis. Di tengah lesunya suasana pameran atas karya Ary Indrastuti, Indra H. Yanti, dan Ida Nurbuati, justru berlangsung sebuah pesta pernikahan di sisi gedung yang lain. Malam itu seorang anggota Teater Api, Luhur Kayungga, melangsungkan pernikahannya dengan suguhan panggung musik keras menghadap ke Jl. Pemuda. Luhur, sebagai anggota keluarga besar seniman di Surabaya memang mempunyai hak menyewa gedung untuk acara apa pun dengan harga lebih murah dari penyewa luar. Namun, perbedaan mencolok yang terjadi antara sepinya pengunjung pamerana lukisan dengan meriahnya musik dalam hajad pernikahan ini sungguh memprihatinkan.

Begitukah yang terjadi pada diskusi sastra Jawa dan Sastra Jawa itu sendiri nantinya? Belum bisa dipastikan, yang pasti karya-karya di halaman sebuah majalah berbahasa Jawa sudah tak bisa lagi dinilai sebagai gurit, melainkan puisi Jawa. Juga sebuah majalah berbahasa Jawa telah dibeli oleh raksasa kelompok media di Jawa Timur. Sastra Jawa makin kehilangan pamornya. beritasore

dikopas saka kabarangin

0 comments: