Orang Sunda memberi orang Jawa Rp 10 juta setiap tahun—nilai yang selama ini orang Jawa sendiri tidak mau memberikannya.
(1)
Ada satu hal yang menarik perhatian masyarakat sastra Jawa belasan tahun belakangan ini, setidaknya setelah Ajip Rosyidi dengan Yayasan Rancagenya memperluas jangkauan Hadiah Rancagenya –yang semula hanya diberikan untuk sastra Sunda kemudian juga diberikan untuk sastra Jawa dan sastra Bali pada awal tahun 1990-an.
Pada satu sisi masyarakat sastra Jawa, terutama para pengarang, menyambut Hadiah Rancage dengan senang, tetapi di sisi lain juga trenyuh, terharu, bahkan tak sedikit pula yang merasa seolah penghormatan itu mendatangkan pula rasa sedih yang mengiris, karena serta-merta melehke, bahwa yang paling menaruh perhatian terhadap sastra Jawa ternyata justru bukan orang Jawa sendiri. Lebih menyedihkan lagi, kurangnya perhatian terhadap sastra dan budaya Jawa pada umumnya itu bukan karena tidak adanya kemampuan dalam hal materi (karena orang Jawa banyak yang kaya-raya) tetapi tampaknya karena tidak atau belum kunjung adanya kemauan. Institusi-institusi yang secara eksplisit maupun implicit mengemban amanat pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa pun tampaknya juga tidak ngeh terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan.
Yang tak kalah mengherankannya adalah bawa keraton, baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sepertinya juga tidak ambil peduli terhadap, misalnya, perkembangan sastra Jawa modern. Dalam bidang sastra, mereka tampaknya memilih mengamini pendapat bahwa Sastra Jawa sudah tamat bersamaan dengan meninggalnya sosok yang sering disebut-sebut sebagai pujanga terakhir dalam sastra Jawa, Ronggo Warsito. Padahal, jika keraton tak sekadar ingin jadi monumen, bidang-bidang sosial-budaya adalah bidang garapan yang sangat strategis setelah wilayah politik wis ora kecekel, sudah tidak bisa di-gondheli atau dipegang lagi.
(2)
Pada akhir tahun 1980-an Suripan Sadi Hutomo yang disebut-sebut sebagai HB Jassin-nya sastra Jawa melontarkan sebuah pernyataan yang sempat menghangatkan memancing diskusi yang cukup hangat, yakni bahwa pulung atau pamor sastra Jawa telah kembali ke Timur (ke Jawa Timur) –dari masa kejayaannya pada Zaman Kadiri (Empu Sedah, Empu Panuluh) ke Zaman Majapahit (Empu Sotasoma) lalu berpindah ke Jawa Tengah (Mataram) menyusulkeruntuhan Majapahit. Pada Zaman Mataram (Islam) itulah lahir karya-karya besar Centhini, Sastra Gendhing, berbagai macam suluk, serat, termasuk yang sempat dilarang beredar di ’’pasar bebas’’ yakni Serat Darmo Gandhul dan Serat Gatholoco. Juga sebuah karya besar Ronggo Warsito, Serat Kalatidha, yang mencuatkan istilah yang tampaknya tak aus dimakan waktu: ’zaman edan’!
Kemudian, berkembanglah genre sastra Jawa modern, dengan diawali oleh kemunculan bentuk-bentuk yang merupakan pengaruh Barat, antara lain sajak bebas dan cerita pendek yang masih menunjukkan eksistensinya sampai sekarang, termasuk bentuk novel, ditopang antara lain oleh eksistensi majalah-majalah berbahasa Jawa. Tanpa bermaksud melontarkan ungkapan yang bernuansa etnosentris atau berbau primordialisme, kita harus mengakui bahwa 2 buah majalah berbahasa Jawa yang masih eksis dan paling ’’berwibawa’’ terutama di mata kalangan sastrawan/kreator sastra Jawa ada di Jawa Timur: Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Selainitu, kreator sastra Jawa modern Jawa Timur juga baik secara kuantitas maupun secara kualitas sering dipandang ’’lebih unggul’’ daripada yang berasal/berdomisili di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Indikasi ’’keunggulan’’ Jawa Timur lainnya adalah jumlah Hadiah Rancage yang jatuh ke wilayah Jawa Timur hingga saat ini masih lebih banyak dibandingkan dengan yang jatuh ke Jawa Tengah ditambah DIJ.
Diakui atau tidak, ketika kita berbicara potensi seni, Jawa Timur dikalahkan Yogyakarta, Solo, Bandung, Jakarta, dalam seni tari, musik, teater, atau seni rupa. Dalam seni tradisional, pedalangan misalnya, di kandang sendiri pun pedalangan gagrag Jawa Timur dilalap habis oleh gagrag Surakarta – Jogjakarta. Tapi kita punya kebangaan dalam sastra, Jawa Timur punya –sekadar menyebut contoh: Budi Darma, Akhudiat, D Zawawi Imron, Suparto Brata, jika ditambahkan dengan yang sudah meninggal: Mohammad Ali, M Fudoli Zaini, dan dari kalangan yang jauh lebih muda telah pula mencatatkan nama-nama: M. Shoim Anwar, We Haryanto, Mashuri, Indra Tjahyadi, Mardi Luhung, dan sederet panjang nama lainnya. Juga dalam Sastra Jawa Modern, kita punya ikon-ikon: Suparto Brata, Djayus Pete, JFX Hoery, Suharmono Kasiyun, Yunani Sri Wahyuni, dan bila ditambah nama besar yang selalu hidup walau yang bersangkutan telah meningal dunia: Iesmaniasita, Totilowati Tjitrawarsito, Tamsir AS, Esmiet, berikut sederet nama panjang dari kalangan yang jauh lebih muda: Trinil Sri Setyowati, Budi Palopo, Widodo Basuki, Titah Rahayu, Sugeng Wiyadi, Hery Lamongan, dan seterusnya. Maka, terutama dalam bidang Sastra Jawa Modern, Jawa Timur tak perlu lagi lingsem di hadapan nama-nama ’kota besar’ lain di dunia ini!
(3)
Sekali lagi, catatan-catatan itu hanya dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa Jawa Timur memiliki potensi yang sedemikian besarnya dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa modern. Kesadaran mengenai kepemilikan potensi itu, kelak, tak boleh dibiarkan hanya menjadi kebanggaan diam-diam, melainkan mesti dimanefestasikan dalam tindakan nyata. Kalangan kreator sendiri, para pengarang dan penggurit (penyair Jawa) telah menampakkan upayanya, misalnya dengan membentuk sanggar-sanggar sastra, menggelar pertemuan-pertemuan antarsesama kreator dan dengan
para siswa/guru bahasa Jawa, dengan format: sarasehan, seminar, lomba, dan lain-lain. Bahkan juga dengan menyelengarakan forum tertingi di antara para kreator sastra Jawa dengan label Kongres Satra Jawa (kali pertama diadakan di Taman Budaya SUrakarta, 7 – 9 Juli 2001, dan yang kedua direncanakan pada bulan Juni 2006 ini).
Nafsu besar para kreator sastra Jawa itu sering bertepuk sebelah tangan, lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki cukup kekuatan: kuasa dan uang, sering tidak menanggapi dengan baik keinginan para pengarang yang benar-benar muncul dari bawah, proposal kegiatan yang sebenarnya sangat positif bergelimpangan, dan sangar-sangar sastra Jawa pun kini, sebenarnya bagaikan kerakap di atas batu, mati enggan hidu tak mampu. Bahkan, organisasi tertingi yang bernama OPSJ (Organisasi Pengarang Sastra Jwa) pun kini papan nama saja sudah tak punya. Tinggal stempelnya yang diamankan seorang Keliek Sugeng Wiyadi, yangmenerimanya dari pengurus yang tak pernah diakhiri masa jabatannya secara resmi: Esmiet (almarhum), Suparto Brata, dkk.
(4)
Dalam hal pemberian penghargaan terhadap sastrawanJawa, sebenarnya Pemerintah Prpinsi Jawa Timur telah mengeluarkan dana yang tergolong besar melalui Penghargaan Seniman Jatim, yang hampir pasti setiap tahun menetapkan seorang sastrawan Jawa, kadang malah 2 orang (masing-masing dengan nilai hadiah Rp 10 juta –di luar biaya teknis). Artinya, sekitar 20 juta rupiah dikeluarkan Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk Hadiah Sastra Jawa, walau tajuk yang dipopulerkan adalah Penghargaan Seniman Jatim, atau kadang juga ada yang menyebutnya dengan Penghargaan Gubernur (Jatim). Itu jumlah yang sangat besar, misalnya jika dibandingkan dengan HAdiah Rancage
(untuk Sastra Jawa) yang hanya 5 jutaan rupiah untuk 2 orang setiap tahun (total Rp 10 juta), yang gaungnya sedemikian kuat, menginternasional. Dengan kesadaran atas potensi di bidang pengembangan, pembinaan, dan pelestarian Sastra Jawa Modern, ’makhluk budaya’ yang Keraton pun tampaknya tidak mau mengakuinya itu, layaklah Pemerintah Jawa Timur mengambil langkah yang strategis di dalamnya, dengan mengagendakan pemberian hadiah tahunan kepada sastrawan Jawa modern. Jika tidak mau menambah jumlah dana yang selama ini sudah dikeluarkan secara rutin, pakailah saja, misalnya, yang Rp 20 juta dari Penghargaan seniman Jatim itu untuk 1 orang sastrawan Jawa (Jawa Timur) dan 1 orang untuk diperebutkan secara internasional. Ya, secara internasional, karena harus terbuka kemungkinan penghargaan itu jatuh ke tangan sastrawan Jawa asal Suriname, atau pengarang sastra Jawa yang tinggal di Pilipina, Belanda, atau juga di New York, misalnya.
Ini peluang sangat bagus yang mesti segera dibaca oleh Pemerintah Jawa Timur, sangat strategis juga dipandang dari kacamata, misalnya, Dinas Pariwisata, karena –antara lain—melalui penyelenggaraan upacara penerimaan penghargaan/hadiah itu setiap tahun, Jawa Timur akan menarik perhatian dunia. Nah. [Bonari Nabonenar]
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat Kompas [halaman jatim]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment