Tuesday, March 4, 2008

Mempertimbangkan Penghargaan Rancage

TJAHJONO WIDARMANTO


AKHIR Agustus ini komunitas sastra Jawa di Surabaya khususnya, dan Jawa Timur (Jatim) umumnya akan punya gawe besar, yaitu menjadi tuan rumah dalam acara penerimaan hadiah penghargaan Rancage. Hadiah ini merupakan penghargaan bagi pengarang sastra Jawa dan sastra Sunda yang bukunya telah diterbitkan.



Hadiah ini diberikan atas inisiatif dan “kebaikan hati” sastrawan Ajip Rosidi dan diselenggarakan tiap tahun sekali. Sastrawan Jawa di Jatim yang telah mencicipi Rancage ini antara lain Iesmaniasita, Tamsir, Esmiet, Suharmono Kasiyun, Suparta Brata, Widodo Basuki, dan untuk tahun ini adalah cerpenis Djayus Pete.

Hal-hal di luar penciptaan satra seperti momen, polemik, isu, serta pemberian hadiah sastra dapat menjadi bahan bakar yang menyalakan gairah bersastra. Demikian juga dengan Rancage. Di tengah keterpencilan sastra Jawa, diharapkan penganugerahan Rancage dapat menjadikan sastra Jawa diperbincangkan dan ditengok kembali. Minimal bisa dijadikan pijakan bagi terciptanya sebuah polemik yang sehat dan cerdas.

Pemberian anugerah sastra, baik sastra daerah, sastra Indonesia maupun hadiah sastra berkelas internasional, selalu saja mengundang perdebatan bahkan bisa kecurigaan. Biasanya selalu mempertanyakan mutu dari karya sastra atau pantas tidaknya si A atau si B menerima anugerah tersebut. Dalam dunia sastra Indonesia penganugerahan dan perdebatan itu dipandang sebagai hal yang biasa karena beragamnya peristiwa dan penyelenggara-penyelenggara yang secara rutin mengagendakan penghargaan semacam itu.

Lain di dunia sastra Jawa, selama ini Rancage dipandang sebagai istimewa bagi para sastrawan Jawa, karena memang hanya Rancage inilah satu-satunya media penghargaan bagi para sastrawan Jawa. Namun, sebagai sebuah momen penghargaan sastra Jawa, sayangnya Rancage belum bisa menjadi lokomotif kemajuan dan perkembangan sastra Jawa.

Begitu Rancage diumumkan, hadiah selesai diberikan, maka tuntaslah sudah. Tidak pernah Rancage diikuti dengan telaah-telaah kritis dari para kritikus atau pengamat atau apresiator sastra Jawa. Tidak pernah Rancage disertai dengan diskusi-diskusi dan bedah buku atau bedah karya dari para pemenangnya. Sehingga sulit dipantau sejauh mana karya-karya ynag mendapat penghargaan memberi sumbangan estetis bagi kesusastraan Jawa.

Ironisnya, seringkali respons atas penerimaan Rancage ini-di kalangan para penggurit dan satrawan Jawa utamanya muda-muda-muncul hanya sebatas rasan-rasan dan “kasak-kusuk” belaka. Mereka tidak pernah berusaha membangun sebuah ruang dialog untuk membahas dan menimbang karya-karya penerima Rancage. Bahkan untuk mengkritisi dan mempertimbangkan kehadiran Rancage itu sendiri mereka belum pernah memperbincangkan dengan amat serius.

Penganugerahan Rancage-lepas dari budi baik Ajip Rosidi-itu sendiri perlu didiskusikan kembali. Selama ini, kriteria dari anugerah Rancage belum sepenuhnya meletakkan pada kriteria kualitas karya tersebut. Selama ini otoritas tunggal pada pemilihan Rancage terletak mutlak pada kurator-kurator yang ditunjuk Ajip Rosidi selaku pemberi hadiah.

Nominasi dari calon penerima Rancage hanya bertumpu pada karya-karya yang diterbitkan pada tahun itu. Belum pernah dimunculkan persoalan bagaimana kalau karya yang diterbitkan itu tidak memberi warna baru atau penawaran kekuatan estetika sastra Jawa. Lebih-lebih tidak pernah para kurator Rancage menyertakan alasan-alasan atau kritik-kritik akademik sebagai tanggung jawab penunjukannya.

Kalau kita perbandingkan dengan penganugerahan seni lainnya, dalam dunia seni rupa, Biennale, misalnya, kriteria yang diberikan sebagai rambu-rambu sangat jelas yaitu kebaruan. Lebih tegas lagi pada Philip Morris Award yang memberikan kriteria untuk menentukan penerima anugerah, yaitu pada penguasaan bahan, ide kreatif, dan pemunculan eksploitasi bahan baru.

Hadiah-hadiah sastra bergengsi lainnya, seperti Magsaysay, Nobel Sastra, Wertheim Encourage Award, juga memberikan kriteria yang tegas. Tak jadi persoalan apakah kriteria berdasar muatan karya, ataupun bertumpu pada pencapaian estetika, yang penting kriteria itu jelas.

Perbandingan itu menunjukan bahwa hadiah Rancage perlu merumuskan kembali rambu-rambu dan kriteria bagi para pemenangnya. Misalnya memberi kriteria harus memiliki penawaran dan terobosan estetika baru bagi sastra Jawa. Apalagi sastra Jawa membutuhkan terobosan-terobosan dan kesegaran-kesegaran baru untuk mengangkat kembali pamor sastra Jawa. Adanya kriteria-kriteria yang jelas juga akan merangsang tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru, bahkan mungkin membuka peluang terciptanya teori sastra Jawa baik berkait dengan penciptaan atau kritik.

Perlu juga kesadaran dan kemauan para pengarang sastra Jawa untuk lebih “galak” mengkritisi karya teman-temannya sehingga tumbuh ruang diskusi untuk membicarakan secara total estetika-estetika yang muncul dalam sastra Jawa.

Juga akan lebih menarik lagi kalau ada lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, dan sanggar-sanggar sastra Jawa yang bisa menggandeng patron lain untuk juga mengagendakan penganugerahan sastra Jawa sebagai sebuah alternatif tandingan. Tentunya akan muncul sebuah arena kompetisi yang sehat dan tajam.[]

TJAHJONO WIDARMANTO, Guru SMUN II Ngawi, dosen STKIP, penyair, esais, dan pencinta sastra Jawa

Kompas, Jumat, 16 Agustus 2002

Dikopas dari: ajip-rosididotcom

0 comments: