oleh Sarworo Soeprapto
SALAH satu ajakan atau imbauan yang mencuat dalam Kongres Sastra Jawa (KSJ), 1 - 3 September 2006, di Semarang --dan diiyakan bersama-- adalah ajakan agar para pengarang sastra Jawa juga berkarya dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia. Tujuannya agar hasil kreativitas para pengarang sastra Jawa juga dikenal oleh publik yang semakin luas, tidak terbatas pada pembaca karya sastra Jawa yang jumlahnya amat terbatas. Jadi motifnya bukan semata-mata ekonomi (baca: agar para pengarang sastra Jawa juga eksis secara ekonomi), melainkan agar hasil olah kreativitasnya memiliki pengaruh yang lebih luas. Kalaupun diarahkan bermotif ekonomi, tetap sah-sah saja, walaupun selama ini sebagian besar pengarang sastra Jawa tidak kere-kere amat, mengingat umumnya memiliki profesi yang dapat dijadikan sandaran hidup, sebagai guru, dosen, wartawan, pensiunan pegawai negeri, ataupun wiraswastawan.
Sangat boleh jadi, di antara sekian banyak pengarang sastra Jawa, ada satu dua yang mampu menghasilkan karya-karya brilian, yang kedahsyatan isinya tak kalah dengan karya pengarang sastra Indonesia. Hanya karena karya-karya tersebut ditulis dalam bahasa Jawa, tidak banyak kritikus sastra yang mengetahui. Apalagi bila mengingat, kritikus sastra Jawa --yang jumlahnya amat sangat sedikit-- kurang mengkomunikasikannya ke publik sastra lain, baik sastra Indonesia maupun sastra dunia.
Kehadiran para pengarang dwibahasa (Jawa dan Indonesia) seperti Arswendo Atmowiloto dan Suparto Brata, pengarang sastra Indonesia yang mulai terjun menulis karya sastra Jawa seperti Ahmad Tohari, serta pengarang sastra Indonesia yang menyukai budaya Jawa seperti Darmanto Jatman dan Triyanto Triwikromo, ditambah pakar dan kritikus sastra Indonesia Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo, dalam KSJ 2006, secara langsung mengajak para pengarang sastra Jawa untuk juga berkiprah dalam sastra Indonesia. Sayang, penyair dan pakar sastra Indonesia Prof Dr Sapardi Djoko Damono berhalangan hadir. Padahal biasanya penyair dari Jakarta tersebut selalu hadir dalam setiap pertemuan pengarang sastra Jawa.
Tidak Ada Dikotomi
Sesungguhnya tidak ada dikotomi antara sastra daerah, khususnya Jawa, dengan sastra Indonesia. Yang membedakan keduanya hanya medium bahasa yang digunakan dan publik yang menikmatinya. Esensi dan substansinya sama, yakni kreativitas dalam berkarya. Baik pengarang sastra Indonesia maupun pengarang sastra Jawa haruslah manusia yang memiliki kemampuan membaca dan mencerna derap kehidupan manusia di lingkungannya serta menuangkannya dalam karya sastra. Perkara bahasa apa yang akan digunakan sebagai mediumnya, sangat tergantung dari kemampuan, ketrampilan dan pilihan pribadinya. Seorang pengarang seperti Arswendo Atmowiloto yang memulai dunia kepengarangannya dari sastra Jawa, kini lebih sreg dan lebih hebat bila menuangkan hasil olah kreativitasnya dalam bahasa Indonesia. Sementara seorang pengarang seperti Suparto Brata yang sudah menghasilkan banyak karya sastra Indonesia, merasa lebih mantap dan nges (mantap di hati) bila menuangkan olah kreativitasnya dalam bahasa Jawa.
Berbeda dengan karya seni lain (musik, tari, lukis, patung/pahat) yang langsung dapat dinikmati oleh manusia dengan latar belakang budaya dan bahasa berbeda, karya sastra harus dialihbahasakan atau ditulis dalam bahasa tertentu agar dapat dinikmati oleh publik yang memiliki bahasa berbeda. Oleh karena itu, agar karya sastra Jawa juga dapat dinikmati oleh publik yang memiliki bahasa berbeda. Oleh karena itu, agar karya sastra Jawa juga dapat dinikmati oleh publik yang tidak dapat memahami bahasa Jawa, mau tidak mau karya sastra Jawa juga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain. Atau, dapat juga, pengarang sastra Jawa juga menghasilkan karya sastra dalam bahasa lain.
Dialog Budaya
Dalam kenyataan, budaya satu dengan budaya lain selalu saling bersentuhan. Dialog budaya merupakan suatu keniscayaan dalam suatu masyarakat terbuka. Tak terkecuali di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Di bidang kesusasteraan, sastra Jawa sudah sejak keberadaannya bersentuhan dengan budaya lain. Karya-karya sastra Jawa kuna, misalnya, merupakan persentuhan, atau bahkan perkawinan, budaya Jawa dengan budaya Hindu. Demikian juga karya sastra Jawa di zaman para wali dan zaman Kartasura maupun Surakarta, mengalami persentuhan dengan budaya Islam.
Sejak pujangga Ronggowarsito (1802-1873) --yang pertama kali menulis gancaran/prosa dalam sastra Jawa-- dan terlebih lagi sejak Ki Padmasusastra (1840 - 1926) yang mulai menulis roman, sastra Jawa bersentuhan dengan budaya Barat. Munculnya genre karya sastra novel/roman, cerita pendek, puisi bebas dan drama modern merupakan bukti nyata bahwa budaya Barat ikut mempengaruhi sastra Jawa. Ronggowarsito dan Ki Padmosusastro mulai menyentuhkan karya-karyanya dengan budaya Barat, antara lain berkat pergaulannya dengan ahli-ahli bahasa dan sastra berkebangsaan Belanda yang ada di Surakarta.
Dari segi materi cerita pun, sebelum Indonesia merdeka, di dunia sastra Jawa sudah muncul karya-karya terjemahan. Buku-buku Dongeng Sewu Setunggal Dalu, Cariyos Aladin, Cariyos Simbad, Robinson Cruse, Abunawas, Baron Sekender, Sam Pek Eng Tay, Mak Cun, dan beberapa lainnya, merupakan karya terjemahan dari sastra belahan dunia lain. Sayang sekali, pasca kemerdekaan, amat sangat jarang muncul karya terjemahan dalam sastra Jawa. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa sastra Jawa sesungguhnya bukan sastra kepompong, yang asyik di dunia sendiri.
Guna mendinamiskan dialog budaya antara budaya Jawa dengan budaya-budaya lain, baik budaya Indonesia maupun budaya di belahan dunia lainnya, sudah saatnya karya-karya sastra Jawa diterjemahkan dalam bahasa lain, baik bahasa Indonesia maupun -- terlebih-lebih bahasa asing. Tentu saja karya-karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing dipilih yang kategori masterpiece, seperti karya pujangga Ronggowarsito, untuk yang semi-klasik, atau karya-karya Suparto Brata dan Esmiet untuk kategori modern.
Saat ini di tengah-tengah kaum terpelajar Jawa, sudah semakin banyak generasi yang memiliki kemampuan berbahasa asing (Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, Korea, Cina) relatif baik. Melalui internet sudah dapat diketahui nama dan alamat majalah-majalah dan koran berbahasa asing. Lewat internet juga dapat dilacak nama dan alamat penerbit buku di belahan dunia lain. Naskah-naskah terjemahan dapat dikirim melalui email ke penerbit media massa cetak dan penerbit buku di seluruh dunia.
Ahmad Tohari sudah menerjemahkan karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk, ke dalam bahasa Jawa Banyumasan. Penerjemah lain juga dapat mengalihbahasakan Donyane Wong Culika karya Suparto Brata -- yang menerima Hadiah Sastra Rancage 2005 -- ke dalam bahasa Belanda, dan niscaya karya terjemahan tersebut akan laku dijual di Belanda dan Suriname. Saatnya karya sastra Jawa menasional dan mendunia, bersamaan dengan menjawanya karya sastra dunia dan Indonesia! N
saking: Minggu Pagi Online [KR] Friday, 10 November 2006
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment