Monday, March 3, 2008

Moechtar: Sastra Menyebar Semangat

[Kompas, 18 September 2003]

BERBICARA sebagai wakil penerima Hadiah Sastra Rancage2003, Moechtar mengelus sekaligus menohok. Menerima penghargaan untuk kategori sastra Jawa sebagai orang yang berjasa melestarikan sastra Jawa, Moechtar mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Kebudayaan Rancage. Ucapan terima kasih itu ia haturkan atas apresiasi mereka terhadap sastra Jawa. Namun, sedetik kemudian, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya ibarat rentetan tembakan: kenapa harus orang- orang Sunda yang mempertahankan sastra Jawa? Kalimat itu disambut tepuk tangan mereka yang menghadiri acara Penyerahan Hadiah Sastra Rancage di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (16/9). Moechtar yang juga pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat itu melanjutkan "serangannya".



"Banyak orang Jawa yang kaya, tetapi mungkin mereka hanya kaya harta. Jadi, ketika sudah bicara apresiasi sastra, mereka tidak lakukan apa-apa," kata Moechtar. Rancage sebagai hadiah atas karya sastra pada awalnya memang diberikan hanya kepada pengarang Sunda. Hadiah sastra yang diprakarsai sastrawan Ajip Rosidi tahun 1989 ini kemudian berkembang dengan memberikan penghargaan juga kepada karya sastra Jawa sejak tahun 1994 dan sastra Bali sejak tahun 1998.

TAHUN ini Moechtar mendapat penghargaan Rancage atas peranannya melestarikan sastra Jawa. Tajuk-tajuknya di mingguan Panjebar Semangat intensif dengan ide-ideuntuk mengangkat martabat bangsa lewat pendidikan berlandas budaya Jawa. Beberapa judul tajuk Moechtar yang mematri misinya, di antaranya "Geneya PWI Melu-melu Nyingkur Basa Manca" (Kenapa PWI Ikut-ikutan Menyingkirkan Bahasa Asing-1995) dan "Relevansi Basa Jawa karo Pendhidhikan Budi Pekerti" (Relevansi Bahasa Jawa dengan Pendidikan Budi Pekerti- 2001). Semangat dr Soetomo, pendiri Panjebar Semangat yang juga pendiri Boedi Oetomo, masih dipegang teguh oleh Moechtar, sang pemimpin redaksi. Memilih bahasa Jawa ragam ngoko, majalah ini memilih bahasa Jawa wong cilik. Lebih tua dari umur republik ini, lahir 2 September 1933 Panjebar Semangat sempat berjaya di angka oplah 88.000 sekitar tahun 1960-1961. Kini, di oplah yang tinggal 25.000-30.000, majalah yang berpusat di Surabaya ini tetap memperjuangkan
kelestarian bahasa Jawa.

"Saya harap generasi muda tidak meninggalkan bahasa ibu mereka. Saya sebagai orang tua memang tidak bisa sekadar ngomong," kata Moechtar. Sebagai pemimpin redaksi, ia lalu menggagas beberapa rubrik untuk menarik minat generasi muda. Sebut saja Rubrik Gelanggang Remaja sebanyak empat halaman atau Senul alias Senang Nulis yang dikhususkan sebagai ajang orang muda menulis. "Saya bilang ke pengasuhnya, kalau tulisan anak-anak SMP, SMA, atau kuliahan itu tidak jelek-jelek banget, muat!" kata Moechtar. Anak seorang guru SD di Pacitan, Jawa Timur, ini memang kadung mencintai bahasa Jawa. Rupanya, ia banyak melalap buku-buku sastra berbahasa Jawa milik sang ayah. Tidak heran, ketika masuk sekolah dasar, bahasa Jawa-nya sanggup menandingi bahasa Jawa murid-murid kelas 4 dan 5. Moechtar yang lahir 22 Februari 1925 ini, walau secara resmi ditulis tahun 1927, memulai kariernya sebagai wartawan.

Seusai Agresi Militer Belanda II, awal tahun 1950, ia bekerja di koran Espres, sebuah koran berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Sempat duduk di Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dan Publisistik di Universitas Indonesia, Moechtar meraih gelar sarjananya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya. "Saya kuliah sambil ngajar juga di situ, dulu namanya Akademi Wartawan," kata Moechtar. Ia lalu mendirikan Harian Repelita dan sempat menjadi redaktur pelaksana di Harian Bhirawa, sebelum masuk ke Panjebar Semangat tahun 1982.

Selain kiprahnya di media, Moechtar banyak mentransliterasi sastra Jawa ke bentuk huruf Latin. Beberapa hasil kerjanya adalah Serat Nitimani setebal lebih dari 200 halaman yang menceritakan proses kehidupan seorang manusia dan hubungan manunggal
kawulo-gusti. Ia juga mentransliterasi kisah hidup Prabu Jayabaya di Serat Jayabaya.

SEBELUM berangkat ke Jakarta untuk menerima Rancage pun, pria berputra lima ini juga sempat menulis buku mengenai Multatuli. Berbeda dengan karya HB Jassinyang menerjemahkan Max Havelaar, Moechtar berupaya menuliskan hal-hal yang tidak terangkum dalam buku itu.

Maka, keluarlah berbagai pustaka koleksinya, mulai dari buku Verzamelde Werken van Multatuli, harian berbahasa Belanda Haagsche Post dan De Gids, hingga Indonesia Menggugat dari Bung Karno dan buku tentang Indonesia karangan Lous Fischer. Berbagai pustaka inidikeluarkan demi memperkaya profil Multatuli, terutama bagian-bagian yang belum diketahui orang banyak. Bekerja hingga sering lewat tengah malam, anaknya yang keempat, Retno Asri Lestari, kadang-kadang memang terpaksa memarahi ayahnya yang telah berusia 78 tahun ini. Tinggal bersama anak keempatnya di Surabaya,Moechtar mengaku memang kadang-kadang lupa waktu. Sejak istrinya Ismi Soenarni meninggal tahun 1999, Moechtar ditemani keluarga anaknya yang keempat itu yang telah memberikan dua cucu. Tiga anaknya yang lain, Bambang Guritno, Widji Asri Utami, dan Teguh Asri Yuwono, tinggal di luar Surabaya. Anaknya terkecil, Muh Arifin Sani, meninggal sebelas tahun lalu akibat kecelakaan dalam pertandingan taekwondo. "Sering saya rindu juga, enam cucu saya ada yang tinggal di Batam, Tangerang, dan Bandung," katanya sambil menerawang.

Namun, ia berusaha menepis kerinduan itu dengan bekerja. Masih aktif sebagai pemimpin redaksi majalah yang bahkan dipesan hingga ke Belanda, Kaledonia Baru,dan AS ini, Moechtar masih sering ke kantor, sekurangnya dua kali seminggu. Niatnya untuk mempertahankan majalah berbahasa Jawa itu tampak masih teguh di hati. "Pokoknya, sekarang masih nutup biaya kertas, honorarium, bahkan THR karyawan," katanya bangga.

Di sela-sela kesibukan dan kelelahannya itu, Moechtar bahkan masih menyempatkan diri mengais-ngais buku di deretan kios buku bekas di Jalan Semarang, dekat Stasiun Pasarturi, Surabaya. Hampir setiap akhir pekan ia ke sana. Dan tidak disangka dan tidak diduga, terkadang ia memang berhasil mendapatkan "harta karun" berupa karya sastra indah yang dipandang sampah oleh orang lain.

"Saya sekarang pegang Durtohardjo, beli di Jalan Semarang. Isinya bagus sekali, tapi ada beberapa halaman yang hilang," kata Moechtar. Ia lalu bertutur mengenai cerita dengan latar belakang waktu abad XIX itu. Ceritanya, seorang janda yang begitu jagonya menipu orang-orang dan selalu berhasil lolos. Terakhir, setelah menipu sultan, ia bahkan bisa menjadi salah satu penasihat terpercaya sang sultan. "Seru, kan. Sayang tidak jelas siapa pengarangnya. Tapi dari ceritanya, itu terjadi di Pulau Jawa," kata Moechtar.

PENASARAN akan surat itu, Moechtar bertanya-tanya kepada orang-orang yang menggemari sastra Jawa. Bahkan, ia sempat mengumumkan di mingguan Panjebar Semangat, kalau-kalau ada pembaca yang tahu. Rupanya, pria yang bisa bercakap-cakap dengan bahasa Jawa, Indonesia, Belanda, dan Inggris ini penasaran dengan empat halaman yang hilang. Memangnya kalau ditemukan akan diapakan, Pak? "Ya,
saya transliterasi lagi dong, gimana sih," kata pria yang pernah menerjemahkan cerpen-cerpen Anton Chekov, Edgar Allan Poe, GB Shaw, dan Sommerset Maugham ke bahasa Jawa ini gemas.(Edna Caroline Pattisina)

Dikopas dari Kompas

0 comments: