Oleh Trias Yusuf
Satu poin penting untuk dikerucutkan dalam upaya membahas kejawaan dalam tingkat kongres sekarang ini adalah munculnya kehendak untuk melaksanakan kongres kebudayaan Jawa di tahun mendatang. Kongres Sastra Jawa yang ke-2 salah satu rekomendasinya adalah mengupayakan kongres sastra Jawa diperluas menjadi kongres kebudayaan Jawa.
Tampaknya dari kongres kejawaan tersebut aktivis kejawaan sama- sama menganggap perlu adanya kongres kebudayaan Jawa. Hal ini bukan berarti kemudian mengotakkan adanya wilayah kedaerahan (ethnicity) dalam skala nasional, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana peran pribadi identitas daerah itu menjadi ciri pribadi daerah pada dunia nasional, bahkan secara global dapat diperlihatkan.
Dalam kongres kebudayaan Indonesia tahun 2003 lalu, imbauan menempatkan kebudayaan sebagai alat pendekatan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat di Indonesia tampaknya belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Dibentuknya Departemen Kebudayaan pun sebenarnya diarahkan kepada pemanfaatan kebudayaan sebagai salah satu pendekatan kepada masyarakat. Karena, selama ini pendekatan masyarakat cenderung memanfaatkan pendekatan politik, bahkan pendekatan ekonomis sehingga masyarakat mengukur kehidupan ini dengan angka-angka, tanpa mengukur dengan rasa-rasa yang ada di dalam masyarakat di Indonesia.
Dampaknya jelas, korupsi menjadi biasa, bahkan menjadi budaya. Kejujuran menjadi hal yang langka dan terus merajalela, bahkan tatanan nilai dalam moralitas telah dianggap oleh masyarakat sebagai angin lalu alias tidak ada, tetapi kentara. Dampak ini terasa sekarang ini, ketika masyarakat Indonesia mengejar teknologi tinggi, mengejar tatanan informasi dari dunia barat, maka kebudayaan miliknya sendiri dianggap rendah dan tidak perlu dipelajari.
Sehingga, tahu-tahu kita tidak mengerti bahasa komunikasi sendiri, tidak tahu tatanan hidup sendiri, bahkan tanda-tanda alamnya sendiri pun sudah dilupakan. Ini yang menyebabkan kita dengan enteng kena pageblug, salah mongso, dan yang lebih mengerikan setelah itu, matinya komunikasi kedaerahan dan matinya tatanan adat daerah.
Kalau memerhatikan konteks bahasa Jawa, jelas memang perlu diprihatinkan, meski secara kuantitas pada kongres sastra Jawa seluruh pembicaraan, pemakalah, dan penanya menggunakan bahasa Jawa ngoko. Toh ini sebagai konsekuensi kejujuran untuk mengungkapkan bahwa efek lokalitas Jawa bukan sekadar tersurat di dalam buku, tetapi juga pada pembicaraan, bahkan ketika bersepakat menghidupkan kembali organisasi pengarang sastra Jawa sebagai manifestasi kehidupan tradisi tulis dalam bahasa Jawa.
Dari pemanfaatan bahasa Jawa itu banyak peserta seperti Sudharto, anggota Dewan Perwakilan Daerah, beranggapan bahwa pemanfaatan bahasa Jawa dalam dialog ini justru menempatkan bahasa sebagai alat menjadi lebih jelas dan bermanfaat, bukan menempatkan bahasa Jawa sebagai obyek kajian saja.
Kalau menempatkan bahasa ethnicity sebagai obyek kajian, maka yang terjadi adalah wujud dialog gagasan kebudayaan. Kata ini muncul dari Edward W Said dalam tulisannya, The World, The Text, and The Critic (1983). Said bahkan cenderung dialog apa pun yang berkaitan dengan budaya masyarakat tanpa memanfaatkan bahasa tersebut sebagai alat komunikasinya, maka yang terjadi adalah kajian semata, tanpa ada unsur pembinaannya.
Kata pembinaan ini yang kemudian sangat erat kajiannya dengan pelestarian atau memperpanjang usia keberadaan suatu bahasa di dalam kebudayaan masyarakatnya. Pelestarian yang terjadi secara alami akan terwujud dalam ajaran yang terjadi di dalam kelompok masyarakat, yang terjadi di dalam keluarga tanpa harus ada campur tangan pihak penguasa untuk membentuk, mengarahkan, bahkan menempatkannya di dalam kurikulum sekolah.
Ketika masuk ke dalam kurikulum sekolah, maka pelajaran ini menjadi bagian dari ilmu yang harus dipelajari. Padahal, dalam konsekuensi kewilayahan, bahasa dalam kebudayaan daerah adalah alat komunikasi. Artinya, secara fungsional, pelajaran apa pun dapat berbagai tingkat menempatkan bahasa Jawa menjadi alat pengantar masuk ke pelajaran atau obyeknya.
Tataran pragmatis
Kongres budaya yang diharapkan oleh masyarakat Jawa bukan lagi membidik persoalan persepsi, sampai kepada perspektif tatanan ilmu budaya, seperti yang disuntingkan oleh Alfian dari berbagai makalah pakar kebudayaan, tetapi lebih cenderung menyelesaikan tataran- tataran praktis. Tataran praktis dalam kongres budaya nantinya adalah menempatkan budaya Jawa-dalam hal ini bukan sekadar bahasa dan sastra saja, tetapi juga bermasyarakat dan berpolitik-pada tataran yang lebih pragmatis.
Artinya, kongres budaya Jawa diperlukan untuk menyelesaikan hal- hal yang praktis yang terjadi di masyarakat. Seperti ketika masyarakat terkena lindu di Yogyakarta dan beberapa wilayah di Jawa Tengah, maka bukan diselesaikan dengan diajak sabar, nerima, bahkan ura-ura saja. Akan tetapi, yang lebih penting adalah ketersediaan dana untuk membeli kebutuhan pokok, ketersediaan tenaga untuk gotong royong, dan ini bukan sekadar pendekatan pragmatis ekonomis saja, tetapi justru ini pendekatan budaya.
Karena banyak cara untuk memberikan dana. Tidak sembarang pemberian dapat diterima. Kalau cara pemberiannya tidak menggunakan rasa, maka yang terjadi adalah keterpaksaan, bukan saling sukarela. Cara memberikan pada orang Jawa ini merupakan salah satu cara yang perlu ditimbulkan kembali, cara dengan pendekatan kejawaan ini yang menjadi agenda utama untuk kongres budaya Jawa. Dengan demikian, kongres bukan sekadar pesta makalah para sarjana, tetapi yang utama adalah mampu menghitung kelompok-kelompok pelestari kehidupan Jawa dan menyebarkan kelompok-kelompok pelestari tersebut ke seluruh wilayah Jawa secara merata.
Dengan demikian, kongres budaya dapat menghidupkan kembali gairah masyarakat untuk kembali ke berbagai elemen kehidupan masyarakatnya, sehingga jiwa Jawa, jiwa titen Jawa dapat menghindari apa yang dinamakan dengan salah mongso, pageblug, dan yang utama secara nyata masyarakat, terutama kaum muda, kembali menyadari bahwa mereka mempunyai titisan darah yang dinamakan Jawa, maka perlu rasanya menelusuri jati dirinya dengan belajar bahasa, sastra, dan budi pekertinya akan menjadi Jawa, meski pemikirannya adalah pemikiran global dunia. Semoga.
Trias Yusuf Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang
Dikopipaste dari Kompas Yogyakarta Sabtu, 16 September 2006
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment