Wednesday, March 5, 2008

Menggaet Penonton dengan Bahasa Suroboyoan

Akhir Januari lalu, Ketua Komisi Penyiaran Independen Daerah (KPID) Jawa Timur, Sirikit Syah, memanggil penanggung jawab Pojok Kampung, program berita berbahasa Jawa-Suroboyoan yang ditayangkan stasiun JTV. Siaran berita Pojok Kampung, kata Sirikit, dinilai kebablasan karena sering menggunakan kosakata yang kasar seperti mbadog (makan), matek (mati), dan ndoboli (melahirkan) dalam siarannya.


Bagi Sirikit, acara Pojok Kampung yang jangkauan siarannya mencapai hampir seluruh wilayah Jawa Timur tersebut bisa merugikan pemirsa yang tidak terbiasa dengan bahasa Suroboyoan. Bahkan, kata dia, warga di Surabaya sendiri ada yang kurang sreg dengan bahasa yang dipakai JTV itu. Mereka memang tidak mengadu secara tertulis ke KPID, tapi disampaikan lewat telepon atau pesan pendek (SMS). "Masak orang mati disebut matek, seperti binatang saja," kata Sirikit.

Sebelum dipanggil KPID, acara ini memang pernah menjadi perdebatan di kalangan sastrawan dan pemerhati bahasa di Surabaya. Dalam sebuah diskusi di Jawa Pos tahun lalu, misalnya, ada dua pandangan yang berbeda dalam menyikapi acara tersebut. Pendapat pertama menyatakan, Pojok Kampung adalah bentuk kreativitas JTV untuk memberikan tempat pada kekuatan lokal. Karena itu, meskipun terkesan kasar, bahasa Suroboyoan di Pojok Kampung perlu diteruskan.

Tapi pandangan tersebut dinilai terlalu menyederhanakan bahasa Suroboyoan. Menurut penilaian Rudolf Mathius Yunani, selain kaya kosakata, sebenarnya bahasa Suroboyoan juga punya tata krama atau unggah-ungguh. Misalnya, ada tiga kosakata untuk menunjukkan pengertian mati, yaitu mati, matek, dan bongko. Juga untuk kata makan, ada tiga kosakata yang dikenal di Surabaya, yaitu mangan, njablok, dan njeglag.

Menurut Yunani, kosakata tersebut mempunyai arti yang sama, tapi mempunyai konteks yang berbeda. Misalnya, untuk kata matek atau bongko biasa dipakai untuk kalimat yang bersifat umpatan atau yang berkaitan dengan hewan.

Yunani berpendapat, bahasa Pojok Kampung tidak menggunakan tata krama dan lebih memilih kosakata ngoko yang kasar. Dia mencontohkan, redaksi Pojok Kampung lebih memilih kosakata lonte sebagai pengganti kata pelacur atau WTS. "Orang Madiun kaget mendengar kata tersebut," kata wartawan senior ini.

Sama seperti bahasa Jawa yang lain, sebenarnya ada dua bahasa Suroboyoan yang sampai sekarang masih hidup di Surabaya, yaitu bahasa ngoko (rendah, bahasa pasar) dan bahasa kromo (tinggi). Bahasa ngoko Suroboyoan lebih banyak dipakai dalam pergaulan sehari-hari untuk orang yang sebaya atau yang sudah dikenalnya. Sedangkan bahasa kromo dipakai pada lingkungan terbatas seperti di pasar atau untuk percakapan orang yang belum dikenal.

Tapi bagi redaksi Pojok Kampung, bahasa Suroboyoan yang "asli" adalah bahasa ngoko yang kini banyak dikritik sebagai bahasa yang vulgar tersebut. Menurut Nanang Purwono, kosakata tersebut dipakai berdasarkan survei di berbagai tempat di Surabaya dan sebagian bersumber dari kesenian ludruk.

Karena itu, dalam siaran Pojok Kampung bisa ditemukan kosakata yang hampir punah, seperti montor muluk (pesawat) dan brompit (sepeda motor). "Kami ingin melestarikan bahasa Suroboyoan yang kini terdesak bahasa Indonesia dan Betawi," kata produser Pojok Kampung ini.

Acara Pojok Kampung pertama kali disiarkan pada 7 Juli 2003. Program ini diadakan karena bahasa Suroboyoan dinilai khas, egaliter, dan unik. "Untuk telinga orang luar, bahasa Surabaya terkesan kasar, tapi lucu," kata Arief Afandi, Pemimpin Redaksi JTV saat itu. Tapi selain soal unik dan lucu, sebenarnya program Pojok Kampung diluncurkan agar JTV bisa bersaing dengan televisi lain.

Dengan berlakunya Undang-Undang Penyiaran yang baru, tahun depan JTV akan menghadapi pesaing baru. Saat ini saja, ada 39 perusahaan yang mengajukan izin pendirian televisi lokal di Jawa Timur. Tidak menutup kemungkinan televisi baru tersebut juga akan mengikuti jejak JTV. Jika JTV punya Pojok Kampung, mungkin saja nanti ada televisi lain yang menayangkan Pojok Jawa Timur, yaitu program berita berbahasa Jawa ngoko yang lebih banyak dipahami sebagian besar warga Jawa Timur. zed abidien (surabaya)

Koran Tempo, Senin, 7 February 2005

0 comments: