Yogyakarta, Kompas - Sastra Jawa modern dengan sastra Indonesia modern pada dasarnya serupa. Perbedaannya adalah penggunaan bahasa sebagai wahananya. Oleh karena itu, sulit menentukan "gagasan" siapa yang ada terlebih dahulu dan siapa yang meniru. Namun, yang pasti dalam proses kreatifnya kedua sastra itu menunjukkan adanya persilangan yang saling mempengaruhi.
Demikian pemikiran yang muncul dalam diskusi yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIV di gedung pertunjukan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS-UNY), Sabtu (29/6) lalu. Tampil sebagai pembicara Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY), Dr Setya Yuwana Sudikan (Universitas Negeri Surabaya), dan Jadul Maula dari LKIS Yogyakarta.
Menurut Suminto, persilangan antarkedua sastra modern itu selalu terjadi dalam proses kreatif. Ketika wayang-sebagai salah satu bentuk budaya Jawa-diletakkan dalam perspektif kultural yang "dibaca" dan dinikmati dari generasi tertentu ke generasi berikutnya, akan semakin menjadi nyata bahwa kebudayaan selalu mengandaikan adanya sifat preservatif dan progresif.
"(Penyair) Linus Suryadi AG telah menunjukkan hal itu melalui sajak wayang kepada generasinya," tegasnya.
Membicarakan kehadiran budaya Jawa dalam konteks sastra Indonesia modern, tambah Suminto, hampir selalu meniscayakan adanya persoalan yang tersisa. Hal itu terutama mengenai apakah gejala itu merupakan bentuk-bentuk strategi kultural yang masih bersifat individual, ataukah gejala itu merupakan bentuk kerinduan sekaligus kekhawatiran orang terhadap kenyataan semakin terpinggirnya nilai berbagai hal yang diberi label lokal etnik tradisional.
Dalam pandangan Setya Yuawana, saling pengaruh antara sastra Indonesia dengan sastra Jawa modern terutama pada aspek idiom, citraan, metafora, pilihan kata, struktur kalimat, pembaitan, tema, suasana, dan tipografi (dalam genre puisi), penokohan (penamaan dan karakter), gaya penceritaan, dan penggunaan bahasa sehari-hari. "Sastra Jawa dan Indonesia modern ternyata berkembang dan akhirnya saling tegur sapa, bersalaman, bersetubuh, dan mempengaruhi. Keduanya saling membutuhkan dan hidup berdampingan, tanpa harus saling mencemburui," tegasnya.
Sejak awal kelahirannya, kata Setya Yuwana, sastra Jawa modern terpengaruh oleh sastra Indonesia, misalnya, dalam bentuk puisi soneta, balada, cerita cekak (cerpen), novel dan drama. Demikian pula sastra Indonesia yang banyak mengambil sastra Jawa, misalnya, pemakaian kata-kata dan penyusunan kalimat, pengambilan bahan karangan dan penerapan pikiran, bentuk tembang dan sebagainya.
"WS Rendra, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, YB Mangunwijaya, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib adalah pengarang dan penyair yang karya-karyanya berbahasa Indonesia, namun sangat kental dengan dunia kejawaan," ujarnya.
Pembaca
Namun, menurut Setya Yuawan, yang menjadi persoalan adalah bahwa secara sosiologis ada semacam arogansi pengarang (termasuk pengamat dan kritikus) sastra Indonesia untuk menikmati hasil karya sastra Jawa. Sementara di pihak lain, pengarang dan penyair sastra Jawa justru merasa bangga apabila mereka dengan cepat mengakses informasi mengenai karya-karya terbaru sastra Indonesia.
"Sebagus apa pun sastra Jawa modern diciptakan, pamornya kurang diperhatikan masyarakat," kata Setya.
Oleh karena itu, tak heran bila pembaca sastra Jawa relatif terbatas, yaitu para redaktur penerbitan berbahasa Jawa dan sesama pengarang dan penyair sastra Jawa. Berikutnya adalah dosen dan mahasiswa program studi sastra Jawa, dan aparat pemerintah di tingkat desa yang berlangganan majalah berbahasa Jawa. (top)
Kompas, Selasa, 2 Juli 2002
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment