Tampil sebagai pembicara kunci di hari pertama Kongres Sastra Jawa (KSJ) II (1 September 2006) Darmanto Jatman dan Arswendo Atmowiloto terlibat saling gojlog yang sangat menyegarkan suasana. Kedua sosok tersebut, yang, walaupun seorang lebih dikenal sebagai psikolog (Darmanto) dan seorang lagi lebih dikenal sebagai produser sinetron dan bahkan pencipta istilah ’sinetron’ itu sendiri sebagai kependekan dari sinema elektronik (Arswendo) sama-sama menunjukkan bahwa masing masing begitu menguasai persoalan kebudayaan Jawa pada umumnya.
Daramnto mengingatkan bahwa sebagai bangsa kita memiliki perjanjian (Sumpah Pemuda) yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menurut salah seorang pengasuh rubrik Psikologi koran ini ini, orang Jawa juga harus menyadari bagaimana konsep kedwibahasaan mereka. Misalnya, apakah benar sudah pada tempatnya kita memakai bahasa ibu (dalam hal ini bahasa Jawa) sebagai ’’bahasa hati’’ dan ’’bahasa Indonesia’’ sebagai bahasa pikiran. Juga, masih menurut Darmanto, orang Jawa yang cenderung menganggap bahasa Jawa yang baik adalah bahasa Jawa ragam krama mlipis seperti yang digunakan panatacara pada upacara pernikahan dan menganggap bahasa Jawa kaum muda yang sudah banyak bercampur idiom-idiom asing sebagai bahasa yang rusak adalah orang-orang Jawa ’foundamentalis’. Yang demikian itu tidak realistis, karena bahasa itu terus tumbuh dan berkembang seiring laju zaman. Dahulu orang Jawa memakai bahasa Sansekerta, lalu bahasa Kawi (Jawa Kuna), kemudian bahasa Jawa Zaman Tengahan sebelum kemudian menjadi bahasa Jawa (modern) seperti yang dipakai masyarakat Jawa sekarang ini.
Paling Hebat di Dunia
Arswendo menegaskan kembali apa yang sesungguhnya pernah pula disampaikan pada KSJ I (Solo, 6 – 7 Oktober 2001) bahwa bahasa sastra dan budaya Jawa tidak akan pernah mati. ’’Kalau pun harus mati, ya mungkin nanti ketika jagad raya ini telah digulung dan tidak ada lagi manusia hidup di muka bumi,’’ demikian Arswendo dengan bahasa Jawa ragam krama yang tergolong mlipis. Menurut pengarang Senapati Pamungkas ini, ada dua hal yang patut dijadikan contoh akan kelanggengan budaya, bahasa, dan sastra Jawa, yakni sebutan hari ’’Jumat-Kliwon’’ dan istilah ’’jumbuhing kawula gusti’’. Menurut Arswendo, orang Jawa memiliki sistem kalendernya sendiri, termasuk pembagian hari sendiri, sambil tetap menerima pembagian hari sesuai kalender tahun Masehi. Sehingga pembagian hari khas Jawa: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi bisa dikawinkan dengan indahnya dengan pembagian hari berdasarkan kalender Masehi: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, sehingga jadilah: Senin-Pahing, Selasa-Pon, Rabu-Wage, Kamis-Kliwon, Jumat-Legi, Sabtu-Pahing, Minggu-Pon, dan seterusnya. Lalu, misalnya, orang Jawa bisa bilang, boleh ada Jumat yang lain, tetapi yang paling baik adalah Jumat-Kliwon.
Contoh kedua yang dipakai Arswendo untuk mengukuhkan tesisnya itu adalah kekayaan orang Jawa akan idiom-idiom yang bersifat paradoksal. Misalnya, jumbuhing kawula gusti, dwitunggal, mulur-mungkret, dan tapa ngrame. Dalam konsep budaya dan bahkan agama manapun selain Jawa, namanya tapa (bertapa) ya menyepi, misalnya di gurun atau di dalam gua. Tetapi, orang Jawa dengan enteng melahirkan istilah tapa ngrame, bertapa di keramaian. Maksudnya, orang bisa melakukan hal-hal yang bersifat transenden, melakukan amal-amal baik yang nilai esensinya sama dengan yang bisa didapat oleh orang-orang yang bertapa. Dari kearifan seperti itu pulalah, menurut Arswendo, lahir istilah bhinneka tunggal ika. Menurut Arswendo pula, paradoks-paradoks itu tidak pernah menimbulkan perselisihan di kalangan orang Jawa. Dan oleh karenanya, hal lain yang menjadi ciri orang Jawa itu adalah tidak adanya ’’harus’’. Orang Jawa tidak harus memakai blangkon, tidak harus memakai surjan atau beskap. ’’Lha yang namanya beskap itu kan adalah juga ciptaan budaya Barat, yang tinggal kita krowok bagian belakangnya agar mudah menyematkan keris,’’ papar Arswendo.
OPSJ
Salah satu hasil KSJ 2 ini, yang tampaknya cukup strategis, adalah direvitalisasinya OPSJ (Organisasi Pengarang Sastra Jawa).
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, OPSJ boleh dibilang hanya sebagai organisasi papan nama. Bahkan sejak tahun 1984 (saat itu OPSJ bekerjasama dengan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menyelenggarakan Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah) tidak pernah melakukan kegiatan yang berarti. OPSJ didirikan di Sanggar Bambu Jogjakarta 27 Agustus 1966, dengan ketua terpilih pertama Soedarmo KD dan Sekjen N Sakdani Darmopamoedjo. Didaulat sebagai pelindung organisasi ini adalah Sultan Hamengkubuwono IX . Pergantian pengurus, baru dilakukan pada tahun 1982 dengan ketua baru Susilomurti dan Sekjen Suparto Brata. Pada tahun 1986, karena kesibukannya di majalah Sarinah, Susilomurti mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua OPSJ. Apakah yang akan dilakukan dengan wadah lama wajah baru bernama OPSJ itu nanti? Itulah pertanyaan besarnya, mengingat beberapa sanggar sastra Jawa yang ada di berbagai daerah belakangan ini cenderung hanya sebagai organisasi papan nama, kenyataan yang membayangkan masa depan yang begitu suram.
Untunglah ada Arswendo Atmowiloto yang siap membantu mengisi wadah lama wajah baru itu nanti dengan kegiatan penerbitan buku-buku berbahasa Jawa. Jika OPSJ dengan gambaran ke depan seperti yang dijanjikan Arswendo itu jadi kenyataan, tak pelak lagi KSJ II yang dihelat dengan dana sekitar Rp 20 juta ini adalah kongres yang sukses dengan biaya termurah di dunia. Hingga hari kedua (Sabtu) Kongres sudah menjaring 19 nama yang dudu di dalam formatur untuk menyusun pengurus baru OPSJ wajaha baru ini, di antaranya: Trinil, Sunarko Budiman, JFX Hoery, keliek Eswe (Jatim), Daniel Tito, Roeswardiyatmo, Sucipto Hadi Purnomo, Ahmad Tohari, Enthus Susmono (Jateng), Danu Priyo Prabowo, Sri Widati, Rachmat Djaka Pradopo, Ardini Pangastuti (jaogjakarta), dan laina-lain.
[Catatan dari Kongres Sastra Jawa II (Semarang 1 – 3 September 2006-- [Bonari Nabonenar, penggiat KSJ yang dicekal Panitia KBJ IV] Catatan: dimuat Jawa Pos
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment