Sunday, March 2, 2008

Wewe

Oleh: Siti Muslifah

WEWE ialah hantu perempuan. Wujudnya seperti genderuwo, berwajah tua dengan rambut acak-acakan, tubuhnya berbulu lebat, dan memiliki payudara sangat besar. Makhluk ini suka mengganggu anak-anak. Suka menculik anak-anak. Martono, ayahku, ketika berusia 12 tahun, pernah mengalaminya. Kakek dan nenek, serta tetangga kiri-kanan, semua sudah mengerti mengenai hilangnya ayah pada masa kanak-kanak karena disembunyikan Wewe. Sekarang usia ayah 55 tahun. Adapun peristiwa selengkapnya sebagai berikut:



Ayah adalah anak ke-9 dari 11 bersaudara. Saat itu sedang terjadi krisis pangan. Kakek yang cuma tukang kayu bekerja keras untuk 11 anak-anaknya yang lagi rakus-rakusnya makan. Dapat dibayangkan, berapa banyak bahan pangan yang harus dimasak setiap hari. Itulah sebabnya nenek selalu menyiapkan 11 piring serta membagikan nasi secara merata agar anak-anaknya tidak bertengkar.

Sejak masih kecil, ayah punya tubuh kekar dan kuat. Tugas sehari-hari yang dipercayakan kepadanya ialah menggembala kambing. Pada suatu sore, ayah merasa lelah sebab menggembala kambing sejak siang. Lantaran perut terasa lapar, begitu melihat nasi sudah tertata di atas meja berikut sambal tomat kesukaannya, ayah langsung mengambil piring berisi nasi yang jadi bagiannya. Diambilnya juga sambal tomat itu sebanyak-banyaknya, seolah-olah tak mikirkan saudara-saudaranya yang lain.

Nenek, begitu melihat ayah mengambil sambal melebihi ukuran langsung mengomeli ayah. Nenek marah besar, hanya gara-gara sambal. Tetapi ayah hanya diam saja. Belum sampai selesai makan ayah langsung pergi dengan wajah cemberut. Sisa nasi di atas piring ditinggalkannya begitu saja.

Senja itu hujan turun rintik-rintik. Keluar dari rumah, diam-diam ayah bersembunyi di dalam batu berongga di belakang rumah dekat sungai. Tiba-tiba dari arah sungai muncul seseorang yang wajahnya mirip dengan salah seorang saudaranya yang berada di Solo, menyeberang sungai. Memang, jalan ke arah Solo melewati pinggiran desa dan harus menyeberangi sungai itu. Saudara tua ayah itu bernama Pak Min, mendekati ayah yang berada di dalam persembunyiannya.

“Apa yang kamu kerjakan di situ, Ton? Dimarahi simbok, ya? Ayo ikut aku saja!” kata Pak Min.

Ayah cuma menurut. Ia merasa senang. Kedua orang itu lalu bersama-sama menyeberangi sungai. Dalam anggapan ayah, kakaknya itu akan mengajaknya ke rumah Paman di desa Losari, sekitar 7 km dari rumah. Tak berapa lama kemudian sampailah mereka di tempat yang dituju.

Tetapi ada yang terasa aneh. Sekonyong-konyong Pak Min lenyap entah ke mana. Di tempat itu, tahu-tahu muncul perempuan cantik dengan pakaian ala ratu, mengenakan hiasan kepala dari emas berkilauan. Sedangkan rumah Paman yang semula berupa rumah bambu seketika berubah jadi sebuah istana yang sangat megah, berkilau-kilau, seolah-olah terbuat dari berlian merah. Di atas meja di dekat perempuan bangsawan itu tampak makanan yang diletakkan pada bejana terbuat dari emas.

“Mendekatlah ke sini, ini ada makanan. Silakan dimakan. Saya akan pergi sebentar,” kata perempuan cantik itu. “Tetapi, kau jangan pergi ke mana-mana. Lagi pula, kau jangan merusak apa-apa yang ada di sini.”
Perempuan itu lenyap dalam sekejap. Tinggallah ayah seorang diri, memendam perasaan jengkel sebab Pak Min tak segera muncul. Sebab ayah merasa takut.

Dalam hati, bapak merasa heran. Rumah kok begini besar. Begitu indah. Didominasi warna merah berkilau. Rumah apakah ini? Lagi pula, pesan perempuan ningrat tadi betapa aneh. Memangnya siapa yang akan merusak rumah semegah ini?

Tiba-tiba bapak merasa sangat marah. Keberaniannya pun muncul. Pesan perempuan ningrat tadi diabaikannya. Meja tempat menaruh makanan itu ditendangnya. Kursi singgasana perempuan itu juga diangkat dan dibantingnya. Dan, tiba-tiba, rumah megah itu seperti terkena gempa. Roboh seketika. Menimpa tubuh ayah.

Ayah menjerit histeris. Dalam pada itu, saat bingung dan kalut, ayah melihat perempuan tadi muncul lagi. Tangan ayah dipegangnya, dipelintir dan ditarik. Ayah menjerit kesakitan.

Dalam hitungan sangat cepat, ayah merasa tubuhnya diangkat perempuan itu. Dikempit di bawah ketiak dan dibawa lari cepat. Ayah sempat melihat, wajah perempuan itu berubah jelek. Rambutnya tergerai kusut acak-acakan. Tubuhnya berbulu lebat. Perempuan itu berlari cepat. Seperti terbang saja rasanya. Selanjutnya ayah diselipkan di bawah tumpukan kayu bakar.

Sementara itu, kakek dan beberapa warga kampung bingung mencari ayah yang sejak sore tidak pulang. Dugaan mereka, ayah disembunyikan makhluk halus bernama Wewe. Mereka berjalan ke sana-kemari membawa obor daun kelapa kering sambil kothekan, memukuli peralatan dapur seperti panci, cangkul, wajan, dan sebagainya. Sesungguhnya ketika itu ayah tahu bahwa orang-orang mencarinya.

“Buk, buk, theng….! Buk, buk, theng….! Marto, pulanglah! Nasi jatahmu basi…,” begitulah suara yang erdengar.

Ayah ingin berteriak memanggil mereka, memberitahukan di mana dia berada, tetapi tak mampu bicara. Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Orang-orang yang berseliweran mencarinya bahkan sempat menginjak tubuh ayah. Obor yang mereka bawa pun nyaris menyulut wajah ayah. Akan tetapi karena masih tertutup tirai gaib, orang-orang itu tak bisa melihat di mana ayah berada.

Akhirnya Budhe Arjotomo melihat ayah kali pertama. Budhe Arjo seketika menjerit, mengetahui ayah menggeletak di bawah tumpukan kayu.

“Hai, lihatlah! Ini dia orangnya! Martono ada di sini!” teriak Budhe Arjotomo.

Orang-orang berdatangan. Mereka beramai-ramai menggotong tubuh ayah. Debu yang mengotori tubuhnya dibersihkan. Namun ketika orang-orang bertanya, ayah tak bisa langsung menjawab. Ketika diberi makan, ayah menghabiskan nasi banyak sekali. Seperti bukan manusia biasa. Orang-orang hanya bisa geleng-geleng kepala.

Selang beberapa hari sejak diketemukan, ayah masih belum bisa bicara. Kakek sangat khawatir, jangan-jangan ayah mengalami gangguan jiwa. Itulah sebabnya, kakek lalu membawa ayah ke orang pintar di Solo. Di tempat itu ayah diajari bermacam-macam ilmu sehingga menjadi orang yang memiliki kelebihan. Kakek sendiri menganggap orang itu sebagai gurunya.

Kejadian pada masa kecil itu tak pernah hilang dari ingatan ayah. Benarlah kata orang-orang tua bahwa menjelang magrib bukanlah saat yang baik untuk bertengkar atau marah-marah. Tidak baik juga bagi anak-anak kecil untuk ngelayap. Pada saat itu, makhluk-makhluk halus mulai keluar dari persembunyiannya mencari mangsa.

Judul asli: Digondhol Wewe
Panjebar Semangat No 35/ 26 Agustus 2000

0 comments: