Tuesday, March 4, 2008

Penulis Perempuan dalam Sastra Jawa [1]

Oleh: Siti Aminah

[1]

Perbincangan tentang penulis perempuan dalam sastra Jawa hampir selalu mewarnai setiap pertemuan atau acara yang berkaitan dengan satra Jawa, seminar, sarasehan, bahkan juga perhelatan besar dan tergolong mahal bernama Kongres Bahasa Jawa. Sayangnya perbincangan itu sejauh ini tampak hanya sekedar sebagai pelengkap saja, bukannya diangkat sebagao tema utama.



AY Suharyono yang secara akrap sering disapa dengan sebutyan Pak Aye, beberapa kali melontarkan pernyataan bahwa penulis sastra Jawa perempuan banyak yang kemudian tidak lagi menulis setelah mereka menikah. Benarkah? Aye menyebut nama Rita Nuryati, seorang penulis sastra Jawa potensial yang tulisannya pernah mewarnai majalah berbahasa Jawa seperti Djaka Lodang, Panjebar Semangat, Jaya Baya, kemudian hilang tiada kabar begitu menikah. Atau juga Rini T. Sudewo yang bahkan pernah menjuarai sayembara penulisan cerpen Indonesia yang diadakan oleh sebuah majalah remaja. Keduanya seolah sama-sama tenggelam begitu saja setelah menikah.

Pernah sambil bergurau seseorang bilang, “Kalau begitu biar nikahi saja penulis perempuan sastra Jawa itu oleh penulis laki!” Oh, sesederhana itukah persoalannya? Benarkah ketika penulis perempuan dinikahi penulis laki-laki kemudian selesai persoalan? Apakah dengan demikian otomatis penulis perempuan itu akan tetap menulis, dan bahkan makin produktif?

Tampaknya, persoalannya bukan terletak pada menikah dengan sesama penulis Jawa, dengan petani, dengan pedagang, tetapi lebih pada budaya. Dalam hal ini budaya patriarkhi yang mendominasi masyarakat kita.

Sesungguhnya apakah yang terjadi pada masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa, sehingga pernikahan sering menjadi gerbang berakhirnya kreatifitas seseorang? Dalam masyarakat, kehidupan perempuan seakan berputar di sekitar rumah tangga. Tujuan perempuan seolah hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Setelah menikah, hampir seluruh kehidupan perempuan dilewatkan di dalam rumah tangga. (Budiman, 1985).

Memang, zaman sekarang banyak perempuan yang berkiprah di publik, di luar ruang dapur, di luar rumah, tetapi bukan berarti dengan demikian perempuan lalu terbebas dari tugas-tugas domestiknya (urusan rumah tangga). Yang sering terjadi adalah, keterlibatan perempuan di sektor publik justru menjadi beban ganda bagi mereka. Suami atau keluarga tetap melihat bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan adalah tanggung jawab perempuan. Padahal kita melihat banyak perempuan yang juga bertugas sebagai pencari nafkah.

Terlebih lagi, banyak orang berpendapat bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan: cuci piring, cuci pakaian, seterika, menyapu, mengasuh anak, memasak telah dikodratkan atau ditakdirkan sebagai tugas atau kewajiban perempuan. Benarkah begitu? Apa sih, sebenarnya takdir atau kodrat itu? Ternyata hanya sebatas apa yang disebut sebagai perbedaan seksual saja, seperti perempuan mempunyai vagina, payudara, rahim dan kemampuannya untuk hamil, melahirkan maupun menyusui. Selebihnya, seperti pengasuhan anak, atau urusan rumah tangga yang lain, itu adalah konstruksi sosial yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dan bisa berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Selain karena faktor tersebut, bisa jadi kemandegan kreatifitas perempuan disebabkan oleh adanya kekhawatiran bahwa mereka akan lebih unggul dari suaminya (laki-laki). Seperti kita ketahui, secara umum masyarakat mengharapkan laki-lakilah yang lebih unggul dari perempuan, baik secara fisik, ekonomi, maupun kemampuan-kemampuan yang lain. Hal ini menyebabkan sebagian orang berkeyakinan bahwa perempuan yang unggul dan berprestasi menjadikan munculnya rasa rendah diri pada diri laki-laki.

Rasa rendah diri itu kemungkinan akan memunculkan berbagai persoalan yang disharmoni, seperti tindak kekerasan, perselingkuhan, pribadi yang tidak menyenangkan, atau bagi yang masih hidup sendiri, muncul kekhawatiran tidak akan menemukan laki-laki yang bersedia menikah dengannya.

Prosentase perempuan yang menderita ketakutan ini jauh lebih banyak daripada laki-laki, sehingga akhirnya masalah itu sedikit banyak dianggap lazim pada psikis perempuan (Dowling, 1981).

[2]

Diakui atau tidak pandangan pribadi ataupun masyarakat yang memojokkan perempuan di susut domestik, memang menjadi salah satu faktor yangmenyebabkan penulis perempuan dalam sastra Jawa spontan mandeg berkarya begitu menikah. Akibatnya banyak penulis, pengarang, atau penggurit perempuan cuma numpang lewat saja dalam sastra Jawa. Tapi mesti diingat pula bahwa fenomena numpang lewat itu bukan monopoli perempuan. Kalau sudah menyangkut sastra Jawa, penulis laki-lakinya pun cenderung numpang lewat dalam sastra Jawa. Hingga ada sinyalemen bahwa bagi kebanyakan pengarang, sastra Jawa itu hanya dijadikan sebagai ajanglatihan saja. Setelah trampil, mereka akan segera meloncat ke sastra Indonesia. Arswendo Atmowiloto, misalnya, melompat ke wilayah sastra Indonesia setelah sekian waktu menjadi pendekar dalam sastra Jawa. Bambang Sadono SY malah melakukan lompatan yang cukup akrobatik, dari wartawan dan sastrawan Jawa ke dunia politik (kini ia menjadi anggiota DPR).

Yang menghentikan seorang perempuan dari keasyikannya menggeluti dunia kreativitas dalam sastra Jawa, selain faktor domestikasi perempuan (setelah menikah) adalah karena sastra Jawa memang tidak menjanjikan secara finansial, hanya bersifat klangenan, ruang-nya (pembaca) makin sempit, oplah medianya makin susut. Dulu ibu-ibu di desa, guru, ibu pkk, dan orang awam ramai mendiskusikan cerita bersambung (di Jaya Baya) Dokter Wulandari karangane Yunani. Kini, isi majalah Jawa tak jadi bahan pembicaraan lagi, terdesak oleh Meteor Garden, Tersanjung, Pernikahan Dini, Siapa takut Jatuh Cinta, dan semacamnuya. Oleh faktor yang kedua itu pulalah, sebagian pengarang/penggurit laki-laki pun sebenarnya juga seolah hanya numpang lewat dalam sastra Jawa. Selain dua nama yang telah disebutkan tadi, masih panjang daftar nama pengarang yang mandeg dini dari sastra Jawa: Setya Yuwono Sudikan, Bagus Ardhi Pribadi, Cristatang Indrasta, Andrik Purwasita, Es Danar Pangeran, Irul Budianta, Sugeng dipitoyo, Bonari Nabonenar, Agus Sukoco, Nyitno Munajat, Sugeng Dwianto, Budi Palopo. Di barisan perempuan, yang boleh disebut mandeg dini adalah nama-nama: Susiati Martowiryo, Rini Eren, Rita Nuryanti, Rini T Sudewo, Titah Rahayu, Anggarpati. [bersambung…]

1 comments:

Wah, matur nuwun nami kula wonten ingkang kemutan. Sinebut ing seratan "Penulis Perempuan dalam sastra Jawa".
Mila kula dangu mboten nyerat karya mawi basa jawi. nanging dereng mati. Taksir mati suri, wong kula pindhah damel blog piyambak. Mangga ingkang dhangan ing galih kula aturi klik http://bahasajawarini@blogspot.com
Salam kangge sedherek sutresna sastra Jawi. Matur nuwun

Salam Rini Eren