Oleh: A.S. Yasman
BAKAT seni Dasim memang kuat. Terbukti, keterampilannya merangkai janur menjadi hiasan artistik dapat mengangkat namanya hingga di seluruh wilayah kabupaten. Aktivitas sebagai tukang dekor itu ditekuninya sejak masih remaja hingga dia beranak-pinak.
Nama Dasim sangat populer; dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat. Terlebih lagi mereka yang pernah punya hajat mengawinkan anaknya dan untuk urusan dekorasinya dikerjakan Dasim. Dari keterampilan merangkai janur menjadi hiasan yang indah, ditambah lagi keterampilan isterinya merias pengantin, Dasim sering mendapat job.
Sumber penghidupan Dasim sebagai tukang dekor tidak mengecewakan. Tidak kalah dibandingkan dengan tetangganya yang rata-rata menjadi pegawai pemerintah atau menjadi pedagang. Bahkan setahun yang lalu Dasim sudah naik haji, sehingga teman-temannya memanggilnya Pak Haji, bukan lagi Pak Dasim.
Bagi Dasim, saat panen rezeki ialah menjelang bulan Besar dan bulan Mulud atau sebelum bulan Puasa. Pada bulan-bulan itu biasanya Dasim sampai menolak pesanan, sebab tidak mampu melaksanakan pekerjaan rangkap. Begitu pun isterinya, job merias pengantin pun tak pernah henti, hingga tak sempat beristirahat.
Dasim punya rencana, jika tabungannya di bank sudah terkumpul banyak, usaha dekor akan dia kembangkan dengan membuka katering. Dengan begitu, jika ada orang punya hajat menikahkan anaknya, misalnya, Dasim bisa memborong menyiapkan konsumsi—di samping mengerjakan dekorasi dan rias pengantin. Dasim dan isterinya sangat bersyukur atas kemurahan Tuhan. Ketika banyak orang kebingungan akibat terkena badai krisis ekonomi, penghasilan Dasim tetap mengalir lancar.
Sepekan yang lalu, kebetulan bertepatan malam Minggu, Dasim mendapat job dobel. Satu job dari Pak Marto, tetangga dekat yang punya hajat menikahkan anak perempuannya, sedangkan job satunya lagi dari desa Ngrembel, dekat terminal Gunungpati. Semua pesanan itu dia sanggupi, sekalipun harus kerja lembur. Bagi Dasim, yang penting pada saat resepsi pernikahan, semua pekerjaannya beres.
Dibantu dua temannya, sejak pagi-pagi benar Dasim sibuk menyiapkan janur, dibentuk menjadi berbagai macam model artistik.
“Istirahat dulu, Mas. Silakan dimakan jajannya. Pekerjaan hampir selesai, kan?” anak perempuan Pak Marto yang akan menjadi pengantin berkata ramah.
“Terima kasih. Tinggal sedikit lagi kok, biar saya selesaikan dulu,” jawab Dasim sambil membenahi dekor yang dia siapkan.
Usai minum teh, Dasim lantas berpamitan kepada tuan rumah. Sepeda motornya segera dia hidupkan. Dasim memboncengkan Dimin menuju desa Ngrembel. Satu temannya lagi, Ngatno, terpaksa dia tinggal di rumah Pak Marto, dengan tugas mengemasi peralatan dan membetulkan dekor yang posisinya kurang tepat atau rusak.
“Lho, Mas yang dua tadi ke mana?” tanya calon pengantin perempuan kepada Ngatno sambil membawa bakul berisi nasi.
“Sudah pulang, Mbak. Tadi sudah berpamitan sama Bapak kok,” jawab Ngatno sembari memperhatikan perempuan cantik anak Pak Marto itu.
“Lho, belum makan, kok…,” calon pengantin itu tampak kecewa.
“Nggak apa-apa. Memang Pak Haji nggak biasa makan di luar. Dia merasa kurang sreg jika tidak dilayani isterinya sendiri. Begitu dia pernah bilang pada saya,” Ngatno berbohong.
Sementara itu, Dasim dan Jimin telah sampai di tempat tujuan. Begitu Dasim memarkir sepeda motornya di halaman, tuan rumah tergopoh-gopoh menyambutnya.
“Wah, Mas, saya sempat khawatir, jangan-jangan sampeyan lupa. Hampir saja saya menyuruh orang untuk menjemput sampeyan,” kata si tuan rumah.
“Maaf, Pak. Kebetulan banyak tamu. Tetapi tak perlu khawatir, saya siap kerja lembur kok. Yang penting pekerjaan beres, kan?” Dasim menghapus keringatnya.
Tuan rumah cuma tersenyum. Dia percaya bahwa Dasim tak pernah berbohong. Pekerjaannya pun dapat diandalkan.
Sekalipun kondisi badan sudah kelelahan, Dasim dan Jimin terus bekerja. Usai makan malam dan salat isya, Dasim melanjutkan lagi membuat dekor, sedangkan Jimin menyiapkan hiasan. Tak terasa jarum jam dinding telah menunjukkan angka sebelas. Pukul sebelas malam!
“Tepat pukul sebelas,” ucap Jimin sambil terus menyiapkan janur.
“Tinggalkan saja pekerjaanmu, biar saya selesaikan. Sebentar juga selesai. Kau boleh pulang lebih dulu. Motorku kau bawa, atau cukup naik ojek?” tanya Dasim.
“Kalau motornya saya bawa, Pak Haji pulang naik apa?”
“Gampang! Aku bisa naik ojek. Tolong, kau mampir ke rumah. Katakan pada isteriku bahwa aku masih lembur,” Dasim menyerahkan kunci kontak.
“Lho, tidak bermalam di sini saja? Sudah malam, lho, Mas!” tuan rumah itu mencoba mencegah ketika Jimin minta diri.
“Terima kasih, Pak. Malam ini kebetulan saya dapat giliran ronda kamling. Maaf, saya terpaksa mohon pamit.”
“Jangan percaya, Pak! Jimin ini kan pengantin baru. Dia khawatir kalau isterinya kedinginan,” gurau Dasim.
Jimin cuma tersenyum.
Pukul dua dinihari, pekerjaan mendekor pun selesai. Ruangan itu berubah begitu asri, pantas menjadi ruang resepsi perkawinan. Tuan rumah merasa puas. Ketika Dasim pamit pulang, tuan rumah menawarkan diri untuk mengantarkan. Ketika Dasim menolak tawaran itu, tuan rumah menggantinya dengan memberi bonus uang sebagai ungkapan terima kasih.
Dasim berjalan melewati jalanan berbatu yang belum diaspal. Jalan batu itu menurut perasaannya sangatlah panjang. Angin malam menyebarkan hawa dingin menembus tulang, membikin bulu kuduk Dasim berdiri. Dasim membetulkan letak kerah jaketnya. Dalam hati ia bertanya, “Di mana letak pangkalan ojek?”
Sekonyong-konyong Dasim mendengar suara perempuan memanggil-manggil dari belakang. Rupanya perempuan itu membutuhkan teman berjalan.
“Mas, tunggu! Saya juga mau pulang. Rupanya sampeyan salah jalan. Sampeyan tersesat!” teriak perempuan itu.
Dasim berhenti sejenak. Tapi tak ada seorang pun yang muncul. Dasim kembali berjalan. Baru sekitar sepuluh langkah ke depan, didengarnya ada orang memanggil-manggil dari arah kiri.
“O, demit jelek. Jangan mengganggu perjalananku. Kalau memang kamu mau bersahabat denganku, pergilah dari sini,” ucap Dasim sekadar membangun keberanian. Dasim berjalan cepat tanpa menoleh. Tiba-tiba di depannya muncul sepotong tangan melambai-lambai.
“Mampir dulu, Mas. Rumah saya di depan itu, lho!” potongan tangan itu bersuara.
Dasim gemetaran. Celananya basah.
Mendung hitam di langit pun jatuh jadi hujan. Dasim seolah-olah mendapatkan kekuatan baru, lantas berlari mencari tempat berteduh. Ditemukannya sebuah rumah kecil, dan Dasim memasukinya.
Belum lama beristirahat, Dasim dikejutkan suara mengerang-erang seperti orang kesakitan. Dasim celingukan mencari sumber suara. Betapa terkejutnya ketika dia sadar bahwa dia berteduh di sebuah makam.
Tanpa mengindahkan hujan deras, Dasim segera berlari meninggalkan tempat itu. Berkali-kali kakinya terantuk batu nisan. Yang dia tuju adalah pangkalan ojek. Namun, sekali lagi Dasim gemetaran ketika langkahnya sampai di dekat SMP 22, rumpun bambu di pojok sekolah itu tiba-tiba merunduk sedemikian rupa sehingga menghalangi langkahnya.
“Setan apalagi yang mau merintangi perjalananku ini?” ucap Dasim. Ia segera membaca ayat-ayat suci. Dipetiknya dua lembar daun bambu di hadapannya. Dasim ingat cerita ibunya saat dia masih kecil dulu. Kata ibunya, “Jika kau sedang melakukan perjalanan malam dan mendapat gangguan makhluk halus, misalnya tiba-tiba pohon di depanmu seperti roboh sehingga menghadang jalan, maka petiklah daun pohon itu lantas genggamlah erat-erat. Kalau perlu kau masukkan ke dalam saku.”
Ternyata benar kata ibunya. Begitu dua lembar daun itu lengket dalam genggamannya, rumpun bambu yang merunduk itu kembali tegak.
Kembali Dasim meneruskan perjalanan. Daun bambu itu masih terus lengket di dalam genggamannya. Dia bermaksud memerkan daun itu kepada isterinya. Hampir 2 kilometer Dasim berjalan, pangkalan ojek barulah dia temukan. Kepada salah seorang tukang ojek Dasim minta tolong agar diantarkan pulang. Sekalipun si tukang ojek agak ragu, mungkin mengira Dasim mabuk karena jaketnya basah dan jalannya sempoyongan. Tokh akhirnya tukang ojek itu mengantarkan Dasim pulang.
Menjelang pagi Dasim baru tiba di rumah. Dasim terus salat subuh. Karena terlalu lelah, Dasim tertidur di kursi. Ketika itulah, antara tidur dan jaga, Dasim merasa didekati seorang perempuan bersanggul dengan dandanan yang sangat menor. Perempuan itu mengenakan kebaya warna ungu dan berkain lurik tanpa stagen.
“Mas, popok anakku terbawa di jaketmu. Saya ambil, ya? Popok itu terkena ompol, akan saya cuci. Terima kasih, ya, Mas!” perempuan itu merogoh saku jaket Dasim yang ada di gantungan. Usai berkata demikian, perempuan itu lenyap dari pandangan. Yang tertinggal hanya bau bedak beras-kencur.
Dasim menggosok-gosok matanya. Lantas bangkit merogoh saku jaketnya. Daun bambu yang dia simpan di saku jaketnya ternyata sudah hilang.
“Aneh. Mahluk halus kok ya punya anak. Jadi, yang kukantongi tadi itu popok wewe? Padahal aku bermaksud memamerkannya kepada isteriku. Seandainya tidak diambil pemiliknya, isteriku pasti akan naik pitam, menyangka aku punya wanita idaman lain,” kata Dasim sambil merebahkan |tubuhnya kembali di kursi.
Judul asli: Katutan Popok Wewe
Panjebar Semangat No 43/21 Oktober 2000
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment