Sunday, March 2, 2008

Tuyul

Oleh: Gadzis Anistya

BEBERAPA bulan belakangan ini masyarakat desa Gunungjati resah. Banyak warga kehilangan uang secara misterius. Kejadiannya pasti pada hari Kamis-Wage. Yang mengherankan, uang yang hilang itu hanya selembar-selembar. Kadang ribuan, lima ribuan, lima puluh ribuan, dan tak jarang pula ratusan ribu rupiah. Pokokya selembar-selembar. Anehnya lagi, jika uang kertas itu diikat atau distaples jadi satu tak pernah hilang. Itulah yang bikin warga desa Gunungjati geger.



Seorang pedagang keliling yang cukup sukses, Pak Diran namanya, suatu hari kehilangan selembar uang ratusan ribu yang dia taruh di dalam kotak uang. Pak Diran baru tahu pagi-pagi sekali ketika menghitung ulang perolehannya pada hari sebelumnya. Ternyata hilang selembar, lembaran ratusan ribu.

“Bu, apakah semalam kamu ambil uang di dalam kotak?” tanya Pak Diran kepada isterinya.

“Uang? Siapa yang ngambil. Nyentuh kotak itu saja enggak, kok,” jawab Bu Diran.

“Lho, lalu siapa yang ngambil?”

“Berapa sih, Pak, yang hilang itu?”

“Cuma selembar, tapi lembaran ratusan ribu. Anehnya, yang kuikat
dengan karet malah nggak hilang.”

“Oh, jangan-jangan diambil oleh….”

“Tuyul?”

“Kalau malingnya manusia, pasti diambil semua!”

“Tapi, siapa di sekitar sini yang memelihara Tuyul?”

Bu Diran menarik bahu suaminya, lalu membisikkan sebuah nama.

“Pak Bahar? Ah, jangan berprasangka buruk begitu, Bu. Nggak baik kalau sampai terdengar para tetangga.”

Kecurigaan Bu Diran timbul karena menurut logikanya, pedagang kecil seperti Pak Bahar tak mungkin bisa membeli mobil mahal dan membangun rumah yang tergolong sangat mewah untuk ukuran desa Gunugjati. Malahan, dari tukang batu yang pernah ikut membangun rumah Pak Bahar, Bu Diran mendapat informasi bahwa di rumah itu ada sebuah kamar yang tak boleh dimasuki sembarang orang. Itulah yang kemudian dia ceritakan pada Pak Diran. Maksudnya untuk meyakinkan suaminya bahwa dia tak sembarangan menuduh orang.

Pak Diran tercenung. Bingung. Untuk mendapatkan keuntungan seratus ribu rupiah dia harus berkeringat. Kini, jika benar orang lain mengambilnya lewat tangan Tuyul peliharaannya, oh, betapa teganya orang itu. Orang lain bekerja banting tulang, sementara si pemilik Tuyul cuma ongkang-ongkang dan mengeruk uang dengan tangan setan. Itu yang dipikirkan Pak Dirman di pagi kelabu itu.

Bu Diran ikut sedih melihat ksedihan suaminya. Bu Diran ikut diam. Tak berani berkata-kata lagi. Takut memancing amarah suaminya. Maka dia biarkan saja seharian itu suaminya bermalas-malas di rumah. Dia siapkan kopi kental kesukaan suaminya, disiapkannya pula makan pada waktunya. Tapi Bu Diran masih juga ragu untuk mengajak suaminya berdiskusi. Padahal sebenarnya, dia ingin mengajak berbincang-bincang, sekalian untuk mengurangi kesedihan Pak Diran.

[]

Malam harinya, Pak Diran keluar rumah. Sekadar jalan-jalan. Dia ingin menghirup udara malam sambil mendinginkan kepalanya yang seharian serasa mendidih oleh raibnya uang ratusan ribu itu. Pak Diran menyempatkan mampir di pos keamanan, bertemu dengan beberapa tetangga yang kebetulan sedang giliran ronda. Di situ ada Pak Solar, ada Pak Maruto, dan Pak Solekan.

Jadilah Pak Diran terlibat pembicaraan yang mengalir tanpa arah. Ternyata hal itu bisa membuat kepala Pak Diran terasa lebih ringan. Lebih enteng karena terhibur. Dan, pada saat yang tepat Pak Diran dapat mencurahkan persoalan yang dia hadapi ke dalam pusaran pembicaraan yang makin hangat pada malam yang semakin dingin itu.

“Padahal uang itu sudah aku taruh di dalam kotak terkunci. Tapi hilang juga,” kata Pak Diran.

“Oh, ya?” Pak Solar seperti tak percaya.

Pak Diran ragu-ragu untuk mengemukakan dugaannya bahwa uang itu hilang gara-gara Tuyul, bahwa warga desa Gunungjati yang patut dicurigai memelihara Tuyul adalah Pak Bahar.

“Lho, kok malah melamun!” komentar Pak Solekan mengejutkan Pak Diran.

“Mm, begini, Pak. Agaknya di desa kita ini ada yang memelihara Tuyul,” Pak Diran mulai berani.

“Lalu, siapa?” tanya Pak Maruto yang sejak tadi cuma jadi pendengar.

“Jangan-jangan Pak Bahar!” celetuk pak Solekan.

“Ah!” Pak Maruto memotong.

“Ya. Siapa lagi?” tanya Pak Diran. Lalu, alasan Pak Diran, “Pak Bahar itu cuma berjualan barang-barang remeh-temeh begitu, cuma jadi pedagang kecil, dari mana dia bisa beli mobil dan membangun rumah semegah itu? Kalau enggak memelihara Tuyul?”

Tiba-tiba Pak RT datang.

“Wah, kebetulan sekali, Pak RT. Akhir-akhir ini warga kita banyak yang resah karena kehilangan uang. Kalau hal ini dibiarkan terus, keamanan wilayah RT kita ini bisa makin buruk.”

“O, aku juga sudah mendengar soal itu.”

“Ya, Pak. Kata orang, biang-penyebabnya adalah Tuyul.”

“Benar begitu?”

“Betul, Pak RT. Malahan, tadi pagi saya juga kehilangan,” lalu Pak Diran menceritakan kejadian yang dialaminya pagi tadi.

Pak RT mendengarkannya sambil mengangguk-angguk.

“Pasti ada yang memelihara Tuyul di desa kita ini,” komentar Pak Solar lagi. Kali ini nadanya makin pasti.

“Bisa jadi memang demikian. Tapi jangan tergesa-gesa tunjuk hidung, sebelum semuanya terbukti. Jika gegabah, justru hanya akan menambah masalah,” demikian kata Pak RT.

Sepi. Mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Merasa sudah tidak ada yang ingin dikatakannya lagi, Pak RT lalu pamit pulang. Jam dinding di pos keamanan sudah menunjukkan pukul 24.00.

Pak Diran pun ikut-ikutan pamit. Pulang. Karena memang sudah mengantuk, sesampai di rumah dia lansung tidur.

[]

Hari Rabu-Pon. Pagi-pagi Pak Diran berangkat berjualan keliling seperti biasanya. Dia berharap dagangannya laris, dapat banyak uang, dan tidak kehilangan lagi.

Sore harinya, seperti biasa, kembali pulang. Dia taruh barang dagangannya di tempat biasanya, dan uangnya disimpan dalam kotak terkunci. Sangat rapi. Dan rapat. Setidaknya,lebih rapi dan lebih rapat daripada biasanya. Malam pun datang, merambat pelahan, tapi pasti. Namanya juga waktu, sudah biasanya begitu. Kalaupun kadang terasa bergerak begitu cepat, itu cuma soal perasaan saja, kan?

Sebenarnya Pak Diran ingin jalan-jalan ke pos keamanan lagi. Tapi kelelahan itu membuatnya tak jadi melangkah. Dia coba menonton televisi. Tapi juga segera bosan, karena tidak acara yang sesuai dengan seleranya. Langkah terakhir Pak Diran malam itu ialah masuk kamar, menyusul sang isteri.

“Pak, sampeyan simpan di mana uang sampeyan?”

“Sudahlah. Aman. Kalau ada yang hilang lagi, ya keterlaluan.”

“Sampeyan jangan lupa lho, esok itu hari Kamis-Wage. Biasanya banyak uang hilang pada hari Kamis-Wage.”

“Ah!”

Diperingatkan isterinya seperti itu, Pak Diran malah merasa risi. Dia segera menarik selimut, dan membelakangi isterinya.

Pagi harinya, saat berjualan keliling seperti biasa, Pak Diran bertemu dengan Pak Oli, seorang juragan Bank Plecit. Sebutan gagah untuk seorang rentenir! Penampilan Pak Oli sebenarnya cukup bersahaja. Orang yang baru mengenalnya tentu tak menduga bahwa sesungguhnya Pak Oli orang terkaya di desa Gunungjati.

“Dengar-dengar, Pak Diran sering kehilangan uang, ya?” tanya Pak Oli.

“Oh, benar, Pak,” jawab Pak Diran. “Dan anehnya, yang hilang selalu uang lembaran lepas. Yang terikat tak pernah hilang.”

“Kok bisa hilang, bagaimana sampeyan menyimpannya?”

“Kalau soal menyimpan, rasanya tak kurang rapi. Mungkin memang Tuyul yang mengambilnya.”

“Mungkin memang begitu. Tuyul.”

“Menurut dugaan Pak Oli, siapa kira-kira warga desa ini yang memelihara Tuyul?”

“Mmm, menurut dugaan saya, mudah-mudahan saja benar, siapa lagi kalau bukan Pak Bahar? Siapa pun tahu, usaha Pak Bahar itu apa? Tapi dia bisa membangun rumah begitu megah. Mobil juga bukan asal mobil. Dia beli yang baru keluar dari pabrik. Mereknya pun bukan sembarangan. Aneh, kan? Dari mana dia mendapatkan uang untuk semua itu?

Pak Diran mengangguk-angguk. Merasa cocog.

Mereka pun berpisah. Pak Oli, katanya, mau pergi ke rumah saudaranya. Sedangkan Pak Diran meneruskan tugasnya, berjualan keliling, masuk kampung keluar kampung, hingga sore hari. Oh, tidak. Kali ini Pak Diran baru tiba kembali di rumah ketika hari sudah malam. Soalnya, langsung mengambil barang dagangan dari toko langganannya.

Sesampai di rumah, begitu menaruh barang dagangannya di tempat biasanya, Pak Diran langsung menengok uang yang disimpannya di dalam kotak terkunci itu. Apa yang terjadi? Sumpah-serapah Pak Diran tumpah seketika. Selembar uang dua puluh ribuan hilang.

“Ada apa, Pak?”

“Uang kita hilang lagi, Bu!”

“Nah, itulah. Apa kubilang. Aku sudah minta supaya berhati-hati. Ini pasti ulah Tuyul Pak Bahar. Siapa lagi?”

[]

Hari itu Pak Diran tidak berjualan keliling. Dia pergi ke orang pintar, minta tolong untuk menangkap Tuyul keparat itu. Yang dituju Pak Diran ialah Pak Harjati.

“Pak, apakah benar-benar ada, mahluk halus bernama Tuyul itu?” tanya Pak Dirman kepada Pak Harjati.

“Ya, memang ada. Dia bisa dipelihara manusia, dan bisa disuruh mencuri uang. Karena Tuyul itu tergolong makhluk halus, betapa pun uang itu ditaruh di tempat yang sangat tersembunyi, di dalam kotak terkunci sekalipun, Tuyul akan dengan gampang mengambilnya.”

“Bagaimana ciri-ciri Tuyul itu, Pak?”

“Tuyul biasanya berujud bocah kecil, berkepala gundul, pendek, tapi jalannya sangat cepat. Ia bahkan dapat melompat cukup jauh, seperti akan terbang.”

“Lalu, bagaimana, Pak, cara menangkap Tuyul itu?”

“Nah, begini saja. Nanti saya beri alat, berupa abu yang sudah saya beri doa-doa. Nanti taburkan abu itu di sekeliling rumah. Bagian depan pintu biarkan dulu, jangan ditaburi abu. Karena itu sisakan sedikit abunya, untuk menutup bagian depan pintu itu jika nanti sudah ada tanda-tanda Tuyul itu masuk rumah. Dan jangan lupa, taruh kepiting di dalam rumah, di atas meja, di dekat kotak uang itu. Gunanya, untuk menggoda Tuyul itu. Sebabnya, Tuyul suka sekali bermain-main dengan kepiting.”

Hari Kamis-Wage pun tiba. Pak Diran sudah menyiapkan seluruh peralatan untuk menangkap Tuyul, seperti yang disarankan Pak Harjati. Kecuali di depan pintu, sekeliling rumah sudah ditaburi abu. Uang lembaran puluhan ribu ditaruh di atas meja, di dekatnya ada ember berisi air, yang di dalamnya ditaruh seekor kepiting.

Pagi-pagi sekali Pak Diran melihat berkelebatnya anak kecil. Nah, itu pasti si Tuyul. Soalnya, tidak ada anak kecil di rumah itu. Dua orang anak Pak Diran, semuanya sudah berkuliah di kota. Pak Diran yakin, itulah si Tuyul. Maka, cepat-cepat ditutupnya garis abu di depan pintu dengan abu dari Pak Harjati yang masih disisakan.

Benar juga. Tuyul itu tak jadi mengambil uang, melainkan asyik bermain-main dengan kepiting. Pak Diran segera melompat untuk menangkap Tuyul itu. Dasar makhluk halus, dia licin melebihi belut, dan gesit melebihi belalang. Melompat ke sana, melompat ke sini. Anehnya, dia selalu terpental balik setiap berusaha melompati garis abu yang dipasang Pak Diran. Beberapa kali lolos ke serambi, tetapi selalu terpental balik dan dapat digiring masuk kembali ke dalam rumah. Pada kesempatan yang baik, Pak Diran benar-benar dapat memegang dan menghajarnya habis-habisan. Tuyul itu mukanya babak belur, tetapi sedikit pun tidak mengaduh.

“Siapa yang suruh kamu jadi maling?”

Si Tuyul diam saja.

Berkali-kali ditanya, tetap saja diam. Karena jengkel, Pak Diran membantingnya keras-keras. Bukannya kelenger, Tuyul itu malah bangkit seperti tidak merasa sakit sedikit pun, dan berusaha meloloskan diri. Nah, kali ini berhasil. Dia melompati jendela, dan berhasil keluar, lenyap entah ke mana. Kembali ke rumahnya, rumah Pak Bahar?

Setelah meneliti jejak Tuyul itu, Pak Diran baru sadar bahwa garis abunya kurang rapat. Ada bagian yang lowong. Nah, lewat situlah tampaknya Tuyul itu meloloskan dirinya. Tapi Pak Diran sudah sedikit lega. Setidaknya, sebagian dendamnya terlampiaskan. Biang keresahan warga pun sudah dihajarnya habis-habisan.

[]

Keesokan harinya, Pak Diran melihat Pak Oli digotong ke dalam mobil ambulan yang diparkir di depan rumah. Orang-orang cuma bilang, Pak Oli si juragan Bank Plecit itu sakit mendadak. Tetapi, tak sampai menunggu sore, kabar itu sudah tersiar ke seluruh penjuru desa: wajah Pak Oli babak-belur, seperti maling habis dihajar massa.

Hari-ari selanjutnya, tak ada lagi kabar mengenai Tuyul gentayangan di desa Gunungjati. Tak ada pula orang kehilangan uang secara misterius. Anehnya, Bank Plecit milik Pak Oli surut dengan cepat, sampai kemudian bangkrut sama sekali. Secara golika sungguh tak masuk akal. Mana ada renternir bangkrut? Tapi, itulah yang terjadi.

Sementara itu, sakit Pak Oli bukannya sembuh malahan makin parah. Setelah sebulan dirawat di Rumah Sakit di kota kabupaten, Pak Oli meninggal.

Jadi, Tuyul itu peliharaan Pak Oli?

Bisa jadi. Tapi kini sudah minggat.*

Judul Asli: Thuyul
Panjebar Semangat No.10, 5 Maret 1994

0 comments: