Ulil Abshar-Abdalla
LAGI-lagi, kita membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan kebudayaan Jawa. Dalam situasi di mana Jawa sekarang dipersoalkan oleh semua orang, pembicaraan semacam ini boleh jadi dianggap mengafirmasi apa yang sering dianggap sebagai "dominasi" kebudayaan Jawa di Indonesia. Akan tetapi, kebudayaan Jawa memang menyuguhkan 'magic' yang tak habis-habisnya. Studi mengenai Jawa tak pernah membosankan, karena terdapat segi-segi yang terus memikat untuk dilihat. Salah satu tema yang menarik adalah hubungan antara kejawaan dan keislaman yang melahirkam sejumlah teori di tangan para ahli. Persoalan pokok yang tampil di sini adalah berkenaan dengan kedudukan Islam sebagai agama orang Jawa: apakah Islam di situ masih tegak sebagai agama yang "pristin", tidak terpengaruh oleh unsur-unsur lokal, atau justru mengalami "distorsi" ketika mulai bertemu dengan jenius setempat?
ISLAM DAN KEJAWAAN
Serat Centhini, sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19, saya kira, bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana agama Islam dipersepsi oleh orang-orang Jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat ini.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli adalah teori mengenai "sinkretisme", atau percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan "sinkretisme" sebetulnya mengandung semacam ejekan: bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Islam yang "sinkretis", sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang "murni" di tempat asalnya di Timur Tengah.
Di samping itu, sebutan "Islam sinkretis" sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalami pemiuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai "yang lain": unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Saya kira ini bisa kita lihat pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan "sinkretisme" dalam melihat hubungan antara kejawaan dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai "tradisi besar" yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat "universal", baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan "tradisi kecil" yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java (1976), akan tampak bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam mengalami transformasi bentuk.
Akan tetapi, sebutan yang sama sebetulnya juga bisa berarti "penaklukan" masyarakat Jawa terhadap Islam yang justru dianggap sebagai "yang lain". Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat Jawa yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran antarpelbagai elemen yang juga datang dari "luar" (di sini persoalan "yang lain" dalam kebudayaan Jawa menjadi soal yang rumit, karena amat sukar mengatakan bahwa ada unsur-unsur yang benar- benar bisa diandaikan sebagai "asli" dalam masyarakat Jawa). pendekatan ini digunakan oleh Harry J Benda. Dalam studinya yang amat terkenal, The Crescent and the Rising Sun (kemudian lebih tegas lagi ia tuliskan dalam Continuity and Change in Indonesian Islam di Asian and African Studies, vol. 1, 1965), Benda mengemukakan sebuah teori tentang penjinakan Islam oleh masyarakat Jawa. Benda mendasarkan teorinya ini atas studinya mengenai perkembangan Islam dalam rentang waktu antara abad ke-16 hingga ke-18. Pada periode itu, berlangsung pasang-surut hubungan antara Islam dan kejawaan, yang tercermin dalam persaingan antara dua kerajaan yang saling berebut pengaruh, yaitu kerajaan Islam di Demak yang memegang bentuk Islam yang kurang lebih "ortodoks", dan kerajaan Mataram Islam yang lebih cenderung pada bentuk Islam yang sinkretik dan heterodoks. (Sebenarnya dalam lingkungan Demak sendiri, juga berlangsung persaingan yang keras antara ortodoksi Islam yang tercermin dalam figur wali sembilan dan heterodoksi Islam yang tampil dalam figur Syeh Siti Jenar).
Teori "domestifikasi Islam" ini mengandaikan bahwa kejawaan tidak serta merta bisa ditundukkan begitu saja oleh Islam sebagai unsur eksternal yang sama sekali asing. Kemenangan Mataram atas Demak menggambarkan kemenangan Islam sinkretik atas Islam ortodoks yang dikembangkan oleh para wali sembilan. Dengan cara inilah, Benda mencoba menerangkan kekalahan kelompok Masyumi terhadap aristokrasi Jawa dan kelompok sekular dalam perdebatan di konstituante mengenai negara Islam di tahun 50-an. Benda, antara lain, menulis,
Karena itu, dilihat dari kerangka nasionalisme Jawa-sebagai- pusat, Islam, atau lebih khusus lagi, jenis Islam seperti Masyumi, harus dilihat sebagai pengaruh yang sejak dari awalnya sudah asing dan non-Jawa, bahkan malah "non-Indonesia". Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, tetapi yang pasti bukan Islam. (Saya pinjam dari terjemahan Ihsan Ali-Fauzi terhadap bukunya Bachtiar Effendi, Islam dan Negara [hlm. 30].
Sejumlah penulis masih menggunakan kerangka yang sama dalam menganalisa hubungan antara Islam dan pemerintah Orde Baru yang dianggap juga mencerminkan perpanjangan dari dunia Jawa dalam politik Indonesia modern. Kemenangan pemerintah Orba di tahun 1984 dalam "memaksakan" penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal kepada ormas-ormas Islam, dianggap juga sebagai perulangan tema lama mengenai "domestifikasi Islam". Dalam kaca mata ini, sebutan "Islam sinkretik" justru menunjukkan keunggulan kebudayaan Jawa yang dianggap resilien terhadap unsur asing. Sebaliknya, Islam justru dianggap sebagai unsur luar yang tidak serta merta bisa memaksakan suatu kepercayaan baru, dan menghapuskan begitu saja kepercayaan yang sudah lama mengakar.
Studi-studi mutakhir dalam bidang keislaman makin cenderung melihat hubungan Islam dan budaya lokal dalam kerangka semacam ini, yaitu dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Dalam nada yang merayakan apa yang disebut sebagai kondisi postmodernitas, antropolog Islam asal Pakistan yang kini tinggal di Inggris, Akbar S Ahmed (dalam Islam dan Postmodernisme), menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai teks besar" dengan kebudayaan setempat sebagai "teks kecil" (dua istilah ini dari saya sendiri) tidak lagi dilihat dalam kerangka penundukan", tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya ekspresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan pop. Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur "rendah" yang harus mengalah kepada Islam, sebab jenius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog".
RESISTENSI TERSELUBUNG
Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya.
Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami "politisasi" dalam menghadapi naiknya kekuatan Islam yang cenderung "puritan" dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini, antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka. Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.
Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.
Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat- istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan (yang terkesan agak bertakik- takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.
Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk "menerangkan" secara menyeluruh "dunia dalam" orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui bagaimana dunia Jawa "plausible" dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah bagaimana Islam "bermakna" dalam konteks tatanan kosmik mereka.
Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik", seolah antara alam "monoteisme" dengan paganisme"/"animisme" Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.
Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai unsur eksternal yang "membebani" unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan "resistensi" (atau "domestifikasi", dalam istilah Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil dalam korpus standar membawa sejumlah "efek ikonoklastik" atas kepercayaan setempat. Saya tidak tahu, apakah penggubah serat ini "pura-pura" tidak tahu, tidak tahu sama sekali, atau sadar mengenai kontradiksi antara Jawa dan Islam lalu melakukan "pembacaan" yang sifatnya lain. Saya lebih cenderung pada kemungkinan yang terakhir ini. Kontradiksi antara Islam dan Jawa yang menjadi tema pokok gerakan reformasi dan pembaharuan Islam di awal abad dua puluh, sama sekali tidak kelihatan dalam serat ini. Inilah barangkali "resistensi terselubung" kebudayaan Jawa atas "teks besar" yang bernama Islam.
Dalam bukunya yang terakhir berjudul Beyond Belief: Islamic Excurtions Among the Converted Peoples (1998 [penekanan dari saya-UAA]), VS Naipaul, penulis Trinidad yang berkunjung beberapa kali ke Indonesoia, membuat suatu kesimpulan yang agak provokatif mengenai hubungan antara Islam dengan kebudayaan lokal di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dengan nada sinis, Naipaul, antara lain, mengatakan,
Islam is in its origins an Arab religion. Everyone not an Arab who is a Muslim is a convert. Islam is not simply a matter of conscience or private belief. It makes imperial demands. A convert's world view alters. His holy places are in Arab lands; his sacred language is Arabic. His idea of history alters The convert has to turn away from everything that is his. (Cetak tebal dari saya-UAA)
Saya kira, Naipaul di sini sedang berbicara mengenai apa yang tadi saya sebut sebagai "efek ikonoklastik" Islam terhadap unsur- unsur lokal. Kehadiran Islam dalam konteks kultur lokal, dalam pandangan Naipaul, akan mempunyai dampak penghancuran terhadap yang terakhir itu. Seandainya statement Naipaul ini bisa dibenarkan dalam konteks masyarakat Islam di luar Jawa atau Indonesia, untuk konteks Jawa di mana kita berbicara mengenai Serat Centhini, pernyataan semacam itu jelas tidak bisa dibenarkan. Membaca Serat Centhini, kita mendapat kesan bahwa boro-boro Islam ingin menggantikan pandangan dunia orang Jawa, tempat-tempat suci serta bahasa mereka, seperti tercermin dalam pengamatan Naipaul itu. Agama "baru" ini bahkan tidak bisa mengusir sejumlah mitos dan semacam "paganisme" dalam masyarakat Jawa yang sudah mengakar sejak berabad-abad di sana, seperti kita lihat dalam jenis-jenis ngelmu yang dipelajari oleh ketiga putra- putri Giri di atas.
TUMPUKAN
Marilah kita lihat, bagaimana penggubah Serat Centhini ini "menyandingkan" dengan rileks dan tanpa beban antara "ortodoksi" Islam dengan unsur-unsur yang paganistis. Dalam Kinanthi ke-23, bait 31-27, misalnya, dikisahkan sebagai berikut (saya kutip dari naskah Serat Centhini yang telah disadur dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1991).
"Fajar telah menyingsing, mereka (maksudnya: Jayengresmi dan kedua santrinya, Gathak dan Gathuk) mengambil air wudhu, lalu sembahyang subuh. Setelah selesai sembahyang, mereka pergi dari Sugihwaras, tiba di kaki Gunung Pandhan. Mereka mendakinya dan tibalah mereka di Desa Kedhaton. Mereka menyeberangi sungai yang mengalir ke selatan, airnya sangat jernih lagi bening. Di sana mereka melihat tulang-tulang besar berserakan banyak sekali. Jayengresmi berjalan terus hingga sampai di kaki Gunung Gambiralaya. Tiba di atas mereka melihat pertapaan yang dikelilingi tanggul ditanami bunga mawar yang harum semerbak. Di luar pematang jalan sebelah tenggara terdapat arca batu hitam, sikapnya seperti lelaki memangku alat kelaminnya. Arca tersebut telah pisah dengan tubuhnya. (Alat kelaminnya) hanya sebesar pohon pinang. Gathak Gathuk tertawa terbahak-bahak (ketika melihatnya), karena melebihi kepunyaan arca Ki Gaprang, kalah panjang dan besar."
Kisah selanjutnya kemudian diikuti dengan pertemuan ketiga orang itu dengan seorang lurah yang bernama Ki Padhang yang menjelaskan mengenai beberapa pemandangan yang mereka lihat di Gunung Gambiralaya itu. Pola pengkisahan dalam serat ini boleh dikatakan mengikuti sebuah "formula naratif" seperti yang tercermin dalam penggalan yang saya kutip itu: mereka berjalan, lalu istirahat, menunaikan shalat, dan kemudian berjalan kembali, dan berjumpa dengan sejumlah tempat keramat, guru, dan mitos-mitos Jawa kuna. Yang menarik di sini adalah bahwa ritual shalat diulang-ulang dalam setiap narasi, seolah ingin menunjukkan bahwa pelaku-pelaku dalam kisah ini adalah orang-orang yang secara agama adalah taat, dan boleh jadi masuk dalam kategori "santri" dalam pengertian yang lebih longgar dari yang didefinisikan oleh Geertz. Identitas kesantrian dan kejawaan bersanding tanpa ada soal yang merisaukan.
Dan, saya kira, inilah pengertian pokok dari "sinkretisme": penjejeran dua gagasan kebudayaan tanpa mempersoalkan "kontradiksi" dan "koherensi logis" dari keduanya, karena paksaan-paksaan yang sifatnya pragmatis. Sinkretisme mirip sebuah "montase budaya" yang kita lihat dalam produk-produk kebudayaan pop sekarang ini, dengan perbedaan pokok bahwa pada yang terakhir ini "motif praktis" yang dominan adalah kepentingan pasar dan konsumerisme. Sementara pada sinkretisme, tampaknya motif pokok di sana adalah semacam "dorongan subsisten" dalam masyarakat Jawa. Yang saya maksud adalah dorongan agar tetap bertahan "hidup" ketika ada "serbuan" unsur-unsur baru yang membawa "pandangan dunia" yang lain.
Jika Serat Centhini kita jadikan sandaran penilaian, maka suatu kesimpulan sementara yang bisa kita katakan mengenai Islam dan Jawa adalah bahwa agama itu hanyalah "menambahkan" sejumlah hal baru pada struktur pandangan dunia yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, tak ada yang dibuang dari khazanah lama, dan unsur-unsur baru yang datang belakangan juga tidak diandaikan akan "menggantikan" yang lama.
Jika kita melihat struktur pandangan orang Jawa melalui "optik" Serat Centhini, kelihatan sekali bahwa di sana terdapat "tumpukan" sejumlah unsur-unsur kebudayaan satu di atas yang lainnya, dan membentuk lapisan-lapisan yang tak saling berkaitan. Masing-masing lapisan tidak mengandaikan sebagai terusan dari yang lain dalam suatu bentuk "kontinuitas budaya". Juga tidak mengandaikan adanya semacam "diskontinuitas budaya", di mana lapisan yang satu dianggap mengakhiri lapisan sebelumnya. Artinya, dalam hal ini kita tidak bisa berbicara mengenai "arkeologi" kebudayaan Jawa, setidak-tidaknya jika kita mengandaikan Serat Centhini sebagai dasar studi. Sebab, dalam suatu arkeologi, diandaikan adanya semacam "retakan-retakan" yang memutuskan lapisan-lapisan kebudayaan satu dari yang lainnya, dan masing-masing lapisan merupakan consummation atau penyempurnaan dari yang sebelumnya.
Pengamatan ini memang bernada generalistis, dan sangat spekulatif. Tetapi, jika kita melihat Serat Centhini, maka kesan- kesan seperti yang saya kemukakan itu memang amat kuat sekali.
PASCA-CENTHINI: JAWA "BARU" ?
Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-"pasca- eenthini" memahami hubungan antara Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana dituturkan oleh Hersri saya kira layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini saya kira mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun 1947/1948.
Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal "kesetiaan" yang fanatik terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia ditanya oleh gurunya di kelas, "Apa agamamu?" Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab, "Saya mengikuti semua agama yang ada." Seluruh murid di kelasnya tertawa.
Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif secara "teologis" ini lama- lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa yang sering disebut sebagai "santri-isasi" orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses "baru" yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain (termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan "identitasnya" sebagai orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap "permisif" secara teologis sebagai hal yang tidak lagi wajar.
Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan "keras" akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]), pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia mengatakan bahwa,
[T]he Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika kecenderungan makin "ortodoks" di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai- partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di kalangan masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca-Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya. Dalam pemilu yang terakhir, kontestasi antara kedua Jawa ini kita lihat dalam kontroversi mengenai pemilihan Megawati sebagai calon Presiden.
* Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta.
Sumber: KOMPAS Jumat, 04-08-2000. Halaman: 27
Tanggal dimuat: 4 Agustus 2000
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment