Oleh Siti Aminah
Kemunculan kembali pelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah di wilayah DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai muatan lokal menjadi angin segar bagi para penggiat bahasa dan sastra Jawa yang selama ini gelisah. Keberadaan bahasa dan sastra Jawa dirasa sudah sangat mengkuatirkan. Banyak remaja dan anak-anak yang tidak lagi bertutur dalam bahasa Jawa, meskipun mereka terlahir dari orang tua Jawa dan tinggal di lingkungan suku Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterdesakan bahasa Jawa yang berlangsung selama ini akhirnya menjadikan sastra Jawa ikut terdesak pula. Jika bahasa Jawa sudah tidak menjadi bahasa komunikasi sehari-hari bagi remaja dan anak-anak, sastra Jawa bahkan sudah tidak lagi dinikmati oleh orang tuanya, meskipun mereka masih bertutur dalam bahasa Jawa.
Keadaan semacam inilah yang menjadi salah satu pemicu munculnya wacana kematian sastra Jawa. Meski wacana ini sudah lama beredar, bahkan sejak tahun tujuhpuluhan, nyatanya hingga hari ini sastra Jawa belum mati. Ia masih hidup sekalipun dalam kondisi setengah mati. Jelas kondisi ini membuat geram para penggiat sastra Jawa. Puluhan tahun berkoar tentang sastra Jawa yang sekarat dan puluhan tahun pula mendapati kondisinya yang tak pernah sehat. Kegeraman akan kondisi sastra Jawa tersebut selalu muncul dalam setiap pertemuan sastrawan Jawa. Bahkan dalam sarasehan sastra Jawa di Bojonegoro seorang sastrawan Jawa melontarkan idenya untuk “membunuh sastra Jawa”.
Berbicara tentang kehidupan dan kematian sastra Jawa, tentu hal ini sepenuhnya tergantung pada masyarakat pendukungnya. Masyarakatlah yang memberi warna kepadanya karena sebagai tiruan atau rekaan kehidupan manusia, sastra tidak bisa lepas dari kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu mau tidak mau, sastra yang dapat diterima oleh masyarakat adalah sastra yang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Bagaimana dengan sastra Jawa? Jika kita anggap sastra Jawa menyandarkan hidupnya pada majalah berbahasa Jawa, kita dapat melihat bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi dalam jagat sastra Jawa, terutama cerita pendek atau cerita cekaknya. Percintaan, perselingkuhan, kemiskinan, kesialan, dan topik kesengsaraan hidup manusia dapat dengan mudah kita temukan di sana. Tentu ini bukan hal yang salah. Toh, masih banyak rakyat Indonesia yang berada dalam kondisi sengsara. Apalagi jika kita asumsikan penyokong eksistensi sastra Jawa adalah masyarakat kelas menengah-bawah karena kelas atas telah meninggalkannya, bukankah kemiskinan, kesengsaraan, dan ketertindasan telah akrab dengan keseharian mereka? Maka hal-hal tersebut bukan sesuatu yang asing bagi penikmat sastra Jawa maupun sastrawannya. Masalahnya sekarang tidak lagi cukup bertutur tentang kemiskinan dan ketertindasan dengan mengeksploitasi rasa kasihan pada korban seperti yang sering dilakukan. Lebih dari itu, penikmat sastra Jawa butuh penguatan bahwa kemiskinan dan ketertindasan itu bukan takdir yang cukup dikasihani atau sekedar disantuni. Pendukung sastra Jawa perlu diajak melihat bahwa kemiskinan terjadi karena instrumen-instrumen yang ada tidak berfungsi.
Ini saatnya mewaspadai globalisasi bukan hanya dalam hal lalu lintas informasi. Globalisasi ekonomi yang mewujud dalam neoliberalisme adalah ancaman besar bagi kita. Keduanya bukan sekedar wacana. Ia ada, mewujud dan melingkupi keseharian kita. Bagaimana awal tahun ini kita diresahkan oleh kelangkaan dan kenaikan harga BBM, biaya pendidikan dan layanan kesehatan yang mahal, ancaman kelaparan di berbagai wilayah, keterdesakan perempuan, dan sebagainya, semua itu adalah penampakan nyata dari neoliberalisme. Sebagai pihak yang kuat, negara kaya di Blok Utara mendiktekan apa yang harus dilakukan oleh negara yang dicap sebagai negara miskin, termasuk Indonesia, dan membuat tergantung kepadanya. Ketergantungan yang akhirnya menjadi jerat mematikan bagi rakyat di negara miskin.
Meski agak tertinggal, tidak ada salahnya mulai membuka babak baru dalam sastra Jawa. Sastra Jawa harus diajak melihat bahwa ia bersama komponen lain yang bersifat lokal tengah tergencet oleh sebuah kekuatan besar, globalisasi dan neoliberalisme. Pandangan dan keyakinan bahwa dua hal tersebut telah meminggirkan segala sesuatu yang dianggap bukan mainstream harus menjadi kerangka pikir para sastrawannya. Semangat nguri-uri sastra Jawa yang dianut sebagian besar sastrawannya saat ini tidak relevan lagi. Sastra Jawa tidak cukup sekedar tidak mati. Upaya menghidupkan sastra Jawa harus menjadikannya bagian kehidupan masyarakat, di mana ia tidak berjarak dengan penikmatnya, karena sastra merupakan cermin kehidupan mereka. Artinya, sastra Jawa harus terbuka menerima perubahan bahwa ia bukan semata-mata warisan adiluhung dengan segala batas-batasnya. Sastra Jawa harus melihat persoalan individu dan kaitannya dengan kondisi yang melingkupinya. Tanpa itu sastra Jawa dapat dikatakan meninggalkan pendukungnya, membiarkan mereka berkutat dengan persoalan keseharian dan sastra ditempatkan sebagai penghibur semata.
Tanpa kebaruan semangat dan sikap penggiat maupun pendukungnya, upaya membangkitkan kembali sastra Jawa tidak akan sampai ke tujuan. Materi bahasa dan sastra Jawa di sekolah akhirnya hanya menjadi tambahan beban mata pelajaran bagi para siswa tanpa memberikan nilai baru apalagi kebanggaan pada mereka. []
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment