Thursday, April 3, 2008

Plus Minus Program ”Java Day”

Oleh Widodo Basuki

Seorang siswa di SD Rangkah ketika ditanya bagaimana kesan dia ketika harus berbahasa Jawa sehari dalam seminggu di sekolah, menjawab polos: "Seneng, Pak. Pola-e lucu!" (Senang Pak, soalnya lucu). Kesan lebih "lucu" yang lain bisa digambarkan saat salah seorang guru harus bercucuran keringat dingin ketika mendapat tugas sebagai pembawa acara menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga yang dialami kepala sekolah. Dia ikut-ikutan sibuk harus menyiapkan teks pidato upacara bendera berbahasa Jawa, tanya sana tanya sini untuk menghindari salah pengucapan. Tentunya untuk menghindari agar tidak menjadi bahan "guyonan" yang tidak lucu. Mengapa bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu sejak lahir kini justru menjadi asing dan dihindari para pemakainya?



Ilustrasi di atas merupakan sebagian kecil dari kisah yang terjadi pada pelaksanaan program Java Day di Surabaya. Sejak digulirkan program sehari berbahasa Jawa di sekolah oleh Pemkot Surabaya melalui surat edaran Kepala Dinas Pendidikan Kotamadya Surabaya Drs Sahudi MPd, yang dituangkan dalam Surat Dinas No.4-21.2/0123/436.5.6/2008, yang paling lemah adalah dalam hal pelaksanaan di lapangan. Adakah sanksi sekolah jika tidak melakukan program itu? Tentunya tidak akan terjadi seperti pelanggaran hukum. Karena yang diharapkan dari program ini adalah membangun kesadaran budaya melalui pemakaian bahasa lokal/daerah. Dari program ini siswa diharapkan bisa mengambil nilai-nilai, "unggah-ungguh", atau tata perilaku serta sikap moral positif yang diambil dari budaya sendiri. Sehingga "kelucuan-kelucuan" ketika menggunakan bahasa Jawa merupakan hal positif sebagai konsekuensi terhadap reposisi budaya, belajar kembali dan menggali nilai budaya sendiri. Kita mungkin perlu meniru negara maju seperti Jepang yang masih terus mengagungkan nilai-nilai budaya serta hal-hal yang berbau tradisi.

Jauh sebelum ada program Java Day, Christian Grossweller dari Swiss yang menjadi salah satu pemakalah (dengan menggunakan bahasa Jawa halus) dalam Kongres Bahasa Jawa III 2001 di Jogjakarta, pernah mengatakan bahwa salah satu cara jitu mengembangkan bahasa daerah adalah dari lingkungan keluarga lebih dulu, baru selanjutnya di lingkungan pendidikan. Dia mengambil contoh salah satu bahasa etnik di Swiss yang pernah "punah" bisa hidup kembali dengan cara-cara kesadaran budaya seperti ini. Dia menambahkan, terkait dengan pembangunan di basis budaya, tidak seperti membangun gedung yang bisa diprediksi sehari-dua hari bisa jadi. Membangun budaya dan menanamkan kesadaran berbahasa seperti menanam sebiji benih pohon yang memerlukan waktu panjang untuk jadi pohon yang rindang dan berbuah.

Yang juga harus dipahami bahwa Surabaya mempunyai penduduk dengan beragam etnis, bukan melulu Jawa. Bahasa Jawa-nya pun terdiri atas bahasa Jawa "kulonan" dan "Surabayaan". Berbeda dengan Jawa Tengah atau Jogjakarta yang etnis Jawa dan pengguna bahasa Jawa-nya lebih besar (homogen). Bahasa Jawa Surabayaan yang banyak digunakan di Surabaya juga belum punya patokan baku. Bahasa Surabayaan merupakan subdialek bahasa Jawa dan lebih dominan sebagai bahasa "tutur" atau "lisan", bukan bahasa tulis. Maka, tidak aneh jika pembelajaran bahasa Jawa di Surabaya masih kebingungan menggunakan formatnya. Di sisi yang lain, walaupun penduduknya berbahasa Jawa heterogen, di Surabaya terbit dua penerbitan majalah berbahasa Jawa; Jayabaya yang terbit pada 1945 dan Panjebar Semangat pada 1933.

Dalam sarasehan bahasa Jawa menindaklanjuti surat edaran Sahudi yang diadakan Kelompok Kerja Guru (KKG) Gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, 9 dan 23 Februari lalu, selain banyak guru yang merasa kebingungan memilih bahasa Jawa yang akan digunakan, realita lain yang harus dipahami, bahasa Jawa dianggap sebagai pelajaran "asing" bagi anak kota. Itulah sebabnya, pelajaran bahasa Jawa dianggap lebih sulit daripada pelajaran yang lain. Banyak buku pelajaran bahasa Jawa yang masih mengajarkan hafalan anak-anak hewan (anak ayam: kuthuk, anak kebo: gudel, anak sapi: pedhet, anak cecak: sawiyah, dsb.), dan juga nama-nama bunga (kembang duren: dlongop, kembang lombok: menik, dsb).

Diakui atau tidak, walaupun program Java Day lebih menekankan keberanian berbahasa Jawa, mau tidak mau juga bersentuhan dengan mata pelajaran bahasa Jawa yang diajarkan di kelas. Terkait dengan pelajaran bahasa Jawa itu, dosen Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dra Sri Sulistiani MPd mengatakan, kurikulum bahasa Jawa untuk SD memang diakui lebih rumit ketimbang kurikulum bahasa Jawa untuk SMP. Tetapi, menurut dia, yang paling penting dalam pembelajaran bahasa Jawa seharusnya lebih mengacu pada life skill. Artinya, sejauh mana pembelajaran bahasa Jawa bisa berguna bagi siswa.

Butuh Tata Bahasa Baku

Tentang kurangnya keberanian menggunakan bahasa Jawa, ada yang beralasan karena takut dikatakan "kasar" dan malu ditertawakan. Ini diakui salah seorang guru dalam diskusi di Gugus 031-032 Kelurahan Rangkah, bahwa banyak orang asli Surabaya yang lahir dengan bahasa ibu Jawa Surabayaan merasa tidak pede (percaya diri) dengan penguasaan bahasa Jawa-nya. Mengapa? Lagi-lagi, kita butuh referensi dan rujukan untuk memperlancar dan lebih menambah percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Memang, program Java Day akan afdol bila sebelum diluncurkan disiapkan perangkat yang menyertainya. Misalnya, kamus bahasa Jawa Surabayaan dan buku-buku bacaan bahasa Jawa. Tapi, kalaupun toh belum ada sarana pendukung itu, sebenarnya bagi seorang guru tak akan kehabisan akal. Dalam hal kurikulum, bahasa Jawa juga tak akan membebani guru karena guru ibarat dalang yang harus luwes dalam menerjemahkan kurikulum sesuai dengan lokalitas (sesuai KTSP). Soal kelengkapan sarana pendukung itu bisa dilakukan sambil jalan. Yang lebih realistis sekarang adalah bagaimana para guru dan pelajar di Surabaya menjadi percaya diri untuk berkomunikasi bahasa Jawa dalam Java Day.

Jika butuh referensi, kita bisa mengambil pendukung yang lain. Dalam masyarakat Jawa subkultur Surabayaan (yang tinggal di wilayah administratif Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan Jombang) dikenal adanya seni pertunjukan ludruk. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pergelaran ludruk itulah yang bisa dipakai untuk referensi. Menurut saya, bahasa ludruk bisa menjadi salah satu acuan jenis bahasa Jawa yang bisa digunakan di Surabaya.

Memang, ada beberapa guru yang mengusulkan supaya tayangan "Pojok Kampung" JTV mengurangi bahasa-bahasa yang "vulgar", dengan alasan bahasa-bahasa yang langsung dilihat dan didengar dari media TV inilah yang mudah diserap oleh anak-anak. "Bagaimana bila anak-anak Surabaya lebih mengenali bahasa Surabayaan yang vulgar seperti itu?" kata seorang guru. Lagi-lagi, problem di sini tersandung pada nilai rasa "kasar-halus" bahasa yang menjadi perdebatan panjang. Apalagi ketika dihadapkan pada kepentingan proses pembelajaran siswa.


Perlu Dukungan Pakar

Ke depan, kesuksesan Java Day akan berimbas dan berdampak positif pada pelajaran bahasa Jawa di kelas. Tentunya terkait dengan buku dan pedoman tata tulis yang disepakati bersama. Sebagai bahasa, subdialek Surabaya lebih banyak sebagai bahasa lisan. Sedangkan dalam bahasa tulis masih banyak berdasarkan bahasa lisan yang diucapkan. Contoh penulisan yang agak berbeda, misalnya kata "mulih" yang berarti "pulang" ditulis mole’, moleh, atau muleh. Kata "putih" ditulis "pote, puteh, poteh". Selain itu, memang ada yang rancu antara penggunaan huruf vokal "o" dengan "a", "th" dengan "t", "dh" dengan "d", dan lain-lain.

Persoalan-persoalan yang rumit seperti kasus di atas akan mengiringi suksesnya program Java Day ke depan. Tentunya, apabila dikerjakan serius, akan memerlukan para pemikir bahasa yang bisa mengonkretkan masalah ejaan bahasa Surabayaan, kamus Surabayaan, dan peranti-peranti lain yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa di Surabaya. Yang lebih konkret dalam waktu dekat, rasanya perlu menggalakkan lomba-lomba yang terkait dengan penggunaan bahasa Jawa bagi siswa dan guru di Surabaya. Misalnya, lomba menulis dan mendongeng cerita rakyat Surabaya dengan bahasa Jawa, lomba kidungan, lomba ludruk anak-anak, lomba puisi (geguritan), dan lain-lain. Apalagi tahun ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. (wid_basuki@yahoo.co.id)

Widodo Basuki
Penyair Sastra Jawa, Pemerhati Budaya

Jawa Pos Rabu, 02 Apr 2008

0 comments: