Oleh: BENI SETIA
ADA kebudayaan besar yang bersipat kompetitif dan mensyaratkan kepatuhan dari yang dikalahkan pada yang mengalahkan di samping kebudayaan kecil yang imtim dan menerima yang lain apa adanya di tingkat rumah tangga dan komunitas; ada masyarakat literacy yang menuntut apresiasi tekstual dengan inisiatif dan referensi personal dan ada masyarakat orality yang cuma mengandalkan apresiasi pasif partisipatif pada pagelaran auditif teks oleh tokoh terpilih; dan ada sastra yang bersifat teks dan kualitasnya sangat ditentukan oleh eksplorasi estetika dan ekspresi personal yang orsinil sehingga mutunya mutlak ditentukan oleh kualitas kreasi dan wawasan sang kreator di samping sastra yang hanya berada di dalam ingatan audio-visual pagelaran teks atau dalam teks yang hanya dimiliki individu terpilih dan karenanya tergantung dari sejauh mana si bersangkutan bisa menghadirkannya dalam pertunjukan audio-visual yang memikat banyak orang.
Sebuah realitas berpasangan yang tak sepenuhnya disadari dan terkadang hanya diapresiasi serta diakui yang terlihat mentereng dan dominan. Kita lebih senang berbicara tentang politik dalam komposisi anggota DPRD atau presiden dan bukannya dampak aspek keputusan politik di tingkat rumah tangga saat harga BBM naik atau di tingkat komunitas saat jam pelajaran bahasa Jawa jadi minim, kita lebih suka bicara tentang Hadiah Nobel atau buku terbaik Hadiah Rancage ketimbang teks Kalathida yang terus disenandungkan di dalam lingkaran intim kelompok macapatan, dan kita lebih suntuk mendiskusikan geguritan di PS atau JB ketimbang tembang baru yang dianggit dan terpublikasikan di PS dan JB yang sama hanya karena dalam geguritan ada eksplorasi estetika dan ekspersi yang personal.
Sementara bagi sebagian orang--jadi tak hanya di pedesaan--sastra adalah peristiwa di mana seseorang jadi pusat perhatian dan karenanya si bersangkutan harus aktif-kreatif buat menjaga dan mempertahankan minat apresiasi (baca: semua pemirsa mendengarkan secara pasif selama terpuaskan oleh letupan improvisasi pencerita yang mengeksploitasi suasana dan kondisi momentum pertunjukan), dengan berceloteh dan bikin lanturan yang menghibur. Lihatlah bagaimana pagelaran wayang kulit dihidupkan dalang dengan situasi terkini gara-gara para punakawan, dan kini malahan oleh tembang campursari yang diset koplo atau lelucon pelawak kongkrit di tengah pagelaran. Porsi hiburan yang jadi yang terutama, dan karenanya semua orang terhibur dan terbahak. Atau partisipasif saat acara macapat dimulai oleh seorang penembang utama, lantas teks diedarkan agar dibaca oleh yang lain yang berminat, sehingga estetika dan keutamaan menembang jadi yang nomor sekian di antara semua orang yang hadir yang wajib mempertahankan hawa kebersamaan dalam keguyuban. Sebuah pertunjukan yang terkadang jadi garing karena tak ada aspek hiburan, ekspolrasi bakat dan ekspresi individual dalam ujud improvisasi, protes pasemon tentang yang aktual kini, siloka seksual, dan seterusnya.
Sastra adalah hiburan--dengan seseorang yang aktif menguras bakat, kemampuan dan wawasannya, sementara itu banyak pihak lainnya hanya pasif partisipasif menikmati keindahan dan hiburan. Peristiwa pagelaran di mana semua orang--selain si terpilih itu--berdatangan tanpa membawa apa-apa (baca: referensi yang dijadikan rujukan dalam aktif menafsirkan dan memaknai secara subyektif, karena secara tradisional makna dituturkan sebagai wejangan didaktik langsung), cuma buat duduk manis dan mendengarkan secara pasif partisipasif. Sehingga kehadiran sastra modern, yang selalu menyapa dalam bentuk teks harus yang dihadirkan media koran, majalah dan buku itu--yang harus sengaja dibeli, dan karenanya itu jadi sebuah tindakan individualistik tergantung minat dan wawasan si bersangkutan--terasa tak guyub dan berlebihan. Untuk sekedar bisa bertemu dengan teks sastra saja kini mereka harus aktif membeli--merogoh kocek--, dan lebih aktif subyektif individualistik lagi ketika mereka mulai aktif mengapresiasi--bahkan makna teks itu baru didapatkan setelah menafsirkan dengan bantuan teks referensi yang harus dicari-cari agar cocok dengan apa yang dirancang si pengarang. Sastra jadi mahal--tidak gratis tergantung dari maeccenas di tingkat lokal yang ada berinisiatif mempagelarkan wayang kulit dalam kesempatan khusus atau pada eksistensi kelompok klangenan yang setia-rutin melakukan tradisi macapat, misalnya. Sastra jadi manja dan rewel, sangat menuntut pemaknaan dan penafsiran--padahal bagi kebanyakan manusia marginal di desa sastra itu harus berada pada tataran peristiwa gratis yang mencengangkan--macam tabrakan--, atau pagelaran gratis yang menghibur. Fakta-fakta itu membuat orang di desa tidak tertarik pada sastra nodern yang tekstual ada di media massa cetak yang harus sengaja dibeli atau dilanggan, sementara mereka juga tak terbiasa membaca--baca: bagi banyak kalangan membaca itu cara untuk mengetahui dan hanya anak sekolah yang boleh membaca, dan bila tidak lagi bersekolah maka membaca itu hanya buang waktu produktif dan tidak pernah diapreasi sebagai alat untuk menggali informasi--, sementara TV amat murah hati membanjirkan hiburan hampir setiap saat--cukup ”dibeli” dengan ikut nonton siaran iklan doang.
Ini tantangan kita. Sekaligus masa depan sastra di desa harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat desa yang masih ada di tarap orality, dan karenanya sastra itu harus tampil dalam media penampilan (seni) pertunjukan--gratis dan menghibur--, tak tekstual. Dan TV, siaran televisi lokal berpotensi mengambil-alih peranan radio yang dulu pernah begitu kukuh mengambilalih penampilan sastra lisan. Mungkin untuk itu kita berkumpul di sini: untuk merumuskan penampilan teks sastra dalam ujud (seni) pertunjukan yang mendekati tradisi sastra oral tradisional atau yang malah ditingkatkan jadi riil kongkrit televisionistik model videoklip MTV. Memang.[]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment