Oleh: Andi Asmara
Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
2. Sastra Jawa di Jawa Timur
Pada masa Jawa kuna dalam kisaran abad ke-10 M hingga ke-15 M Jawa Timur merupakan wilayah yang subur bagi perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Saat itu Jawa Timur menjadi barometer bagi kehidupan sastra di nusantara. Berkembangnya sastra Jawa di Jawa Timur seiring dengan pergeseran politik yang terjadi ketika itu. Pada abad ke-10 M Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama kurun waktu abad ke-9 hingga ke-19, dari zaman kerajaan Mataram Hindu hingga zaman kerajaan Islam Surakarta, sejarah sastra Jawa dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu periode Jawa kuna, Jawa pertengahan, dan Jawa baru. Sementara itu, masa berkembangnya sastra Jawa Modern ditandai dengan adanya pengaruh Eropa. Berdasarkan pesan yang disampaikan, Pigeaud (1967:45) mengelompokkan sastra Jawa ke dalam empat bagian, yaitu bidang agama dan etika, bidang sejarah, susastra, dan adat istiadat.
Bertolak dari pergeseran politik, secara bersamaan terjadi pula pergeresan perkembangan sastra. Selama kurun waktu lima abad Jawa Timur mendominasi kehidupan sastra di Jawa dan nusantara. Perkembangan sastra Jawa kuno dan Jawa pertengahan mencapai puncaknya di Jawa Timur. Pada periode ini dapat dibilang bahwa hampir seluruh karya sastra Jawa kuno dan Jawa Pertengahan ditulis di Jawa Timur. Periode panjang masa keemasan sastra Jawa kuno di Jawa Timur diawali pada masa kerajaan Medang saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Mpu Sindok, kerajaan Kahuripan, dan kerajaan Kadiri. Masa keemasan sastra Jawa Kuna terjadi pada zaman kerajaan Kadiri, saat pemerintahan Raja Jayabhaya. Hampir semua karya sastra Jawa Kuna yang ditulis pada abad ke-11 dan ke-12 berasal dari Kadiri (Zoetmulder, 1983: 23). Sementara itu, puncak kejayaan sastra Jawa Pertengahan terjadi pada zaman kerajaan Majapahit yang ditandai dengan banyaknya karya-karya sastra kidung.
Berakhirnya kekuasaan Majapahit maka surut pula peran penting Jawa Timur dalam kehidupan sastra. Perkembangan berikutnya terjadi di pusat-pusat kerajaan Islam di Jawa Tengah, yaitu di kerajaan Demak, Pajang, Mataram Islam, Yogyakarta Hadiningrat, dan Surakarta.
Pada kisaran akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-19 terjadi perkembangan yang sangat menarik bagi para pengamat sastra Jawa, karena pada kurun waktu itu saat masyarakat Jawa telah menganut agama Islam, karya sastra Jawa Kuna yang bernafaskan agama Hindu digubah kembali ke dalam karya sastra Jawa baru (Sudewa, 1991:1).
Penggubahan kembali karya sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru tersebut ternyata mendapat sambutan yang sangat baik. Maraknya sastra gubahan di zaman kerajaan Surakarta awal ini bersamaan dengan semakin stabilnya kondisi politik di Jawa sehingga berpengaruh positif terhadap perkembangan karya sastra. Pigeaud menyebutnya sebagai kelahiran kembali sastra Jawa klasik (1967:235)
Dalam tradisi Jawa, karya-karya sastra adalah buah cipta para pujangga. Seorang pujangga biasanya menggubah karya baru berdasarkan manuskrip karya terdahulu. Penulisan ulang disertai berbagai penambahan di sana-sini, sesuai dengan kondisi zaman merupakan cara yang absah. Dengan proses penyaduran ini, setelah beberapa waktu dimungkinkan berkembangnya karya menjadi pohon yang bercabang-cabang yang diturunkan dari satu sumber (Behrend, 1995:7).
Sastra-sastra gubahan pada zaman kerajaan Surakarta itu sebagian besar berupa karya sastra epik yang memiliki relevansi dengan lakon-lakon wayang kulit yang sangat populer di masyarakat, yang disampaikan melalui media pedalangan. Pesan-pesan yang disampaikan dalam sastra gubahan tersebut umumnya berisi ajaran moral dan sikap hidup, seperti Serat Wiwaha Jarwa, Serat Brantajuda, Serat Lokapala, Serat Arjuna Sasrabahu, Serat Rama Jarwa yang masing-masing merupakan gubahan kembali dari karya sastra Jawa kuna Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Bharata Yuddha, dan Ramayana (Poerbatjaraka, 1952:150-157).
Menyusul sastra Jawa kuno, dan Jawa pertengahan, lahirlah karya-karya sastra Jawa baru. Di Jawa Timur kehidupan sastra Jawa modern berkembang sangat baik. Hal ini ditopang kehadiran beberapa media massa berbahasa Jawa yang hingga saat ini masih hidup. Majalah berbahasa Jawa Jayabhaya dan Panjebar Semangat memiliki jasa sangat sangat besar dalam upaya menumbuh kembangkan kehidupan sastra Jawa modern di Jawa Timur. Nama-nama sastrawan Jawa Timur yang turut menyemarakkan jagad sastra Jawa di Jawa Timur dapat disebut antara lain Suparto Broto, Esmiet, J.F.X. Hoery, Bonari Nabonenar, Jayus Pete, Sunarko Budiman, dan masih banyak lagi.[]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment