Pada tahun 2009, dalam bahasa Bali terbit sembilan buku karya sastera, yaitu sebuah kumpulan puisi (Gerip Maurip Ngridip Mekedip) karya I Nyoman Manda, sebuah roman saduran (Cokorda Darma karya I Gusti Putu Antara), tujuh kumpulan cerita péndék (Cor karya I Wayan Paing, Da Nakonang Adan Tiange karya Agung Wiyat S. Ardhi, Jangkrik Maenci karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, Bli Kadek karya Putu Nopi Suardani, Dasa Tali Dogén karya I Gdé Darma, Léak Pemoroan karya I Wayan Sandha dan Warisan Jagal karya IBW Keniten).
Kumpulan puisi I Nyoman Mandra sangat istiméwa, terdiri dari 4 jilid, jilid I-III tebalnya masing-masing lebih dari 1000 (seribu) halaman, sedang jilid IV kurang dari 10 halaman. Keseluruhannya lebih dari 3.500 halaman. Baik dalam bahasa Bali modéren maupun dalam bahasa Indonésia tidak pernah ada kumpulan sajak seorang penyair yang setebal itu. I Nyoman Manda mémang pengarang yang sangat produktif dalam bahasa Bali. Dia menulis sajak, roman, drama dan cerita péndék, pernah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” tiga kali, satu untuk jasa (1998) dan dua untuk karya (2003 dan 2008). Dia juga menjadi redaktur dua majalah dalam bahasa Bali yaitu Canangsari dan Satua yang belakangan menjadi dwibahasa (dengan bahasa Indonésia).
Gerip Maurip Ngridip Mekedip jilid III khusus memuat terjemahan Manda dari para penyair Indonésia mulai dari Sanusi Pané dan Amir Hamzah, sampai Afrisal Malna dan Oka Rukmini dan penyair dari berbagai negara melalui terjemahan bahasa Indonésia al. dari Jerman, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Tapi jilid I dan II hanya memuat karya Manda sendiri. Artinya lebih dari 2.000 sajak. Témanya sangat beragam terutama berdasarkan kenyataan sehari-hari, mulai dari komérsialisasi budaya akibat industri pariwisata, korupsi, kampanye pemilu, démo anarkis, narkoba, sinétron, banjir, kenaikan harga BBM, illegal loging, kasus Prita Mulyasari, Tukul Arwana, dll. Juga topik hangat dunia menjadi sajak di tangan Nyoman Manda seperti perang jalur Gaza, kekerasan Tienamen Béijing, insidén George Bush dilémpari sepatu, Obama menghadapi krisis dunia, dll. Manda banyak mengambil inspirasi dari berita hangat dalam média massa. Kualitasnya sebagai puisi tidak merata Ada yang kuat penuh renungan dan sinisme yang tajam, tapi banyak yang mirip catatan pojok koran.
Roman Cokorda Darna adalah saduran dari Don Quixote karya Cervantes yang sudah menjadi klasik dunia. Jarang ada roman saduran dari bahasa asing ke dalam bahasa Bali, maka roman ini merupakan pembuka jalan. Sayang alur ceritanya rumit dan penuh lubang, sehingga sulit diikuti.
Tidak pernah ada pembuktian tentang adanya léak, tetapi orang Bali pada umumnya percaya bahwa mémang ada manusia sakti yang bisa menjelma menjadi léak (berbentuk bola api, monyét, babi, anjing, rangda, barong dan apa saja) dan suka menyakiti orang lain. Para pengarang Bali seakan meneguhkan kepercayaan itu léwat karya-karyanya yang bercerita tentang léak, tetapi menegaskan bahwa léak sebagai lambang ilmu hitam yang jahat itu pasti bisa dikalahkan oléh kebaikan. Dalam tujuh kumpulan cerita-péndék terbitan 2009 itu, banyak cérita tentang léak. Isi Jangkrik Maenci karya I Gusti Putu Samar Gantang, sebagian besar cerita léak. Demikian juga Léak Pemoronan karya I Wayan Sandha dan Da Nakonang Adan Tiange karya Agung Wiyat memuat cerita panjang tentang léak.
Kelemahan umum ketujuh buku itu ialah karena kualitas setiap céritanya tidak merata. Dalam Dasa Tali Dogén karya I Gdé Darma misalnya yang memuat 15 buah cerita, hanya ada dua buah cerita yang bagus dan kuat, sedang sisanya tanpa konflik dan tidak utuh sebagai cerita. Banyak yang seperti ésai atau artikel. Yang istiméwa penerbitan buku ini disertai dengan CD yang berisi rekaman pembacaan cerita-cerita itu oléh pengarangnya sendiri.
Begitu juga cerita-cerita yang dimuat dalam Cor, Bli Kadek dan Warisan Jagal tidak ada yang menawarkan kedalaman, meski kisahnya menarik tetapi selesai sebelum berakhir. Mungkin karena ditulis tergesa-gesa untuk surat kabar.
Yang menonjol adalah Léak Pemoroan (Sétan Pemoroan) karya I Wayan Sandha yang memuat 41 cerita yang ditulis sebagai skétsa kehidupan tetapi unsur naratif dan konfliknya terjaga kuat. Témanya beragam. Ada kisah léak, ada kehidupan pelacur, korban pasca-pariwisata massa, tentang kepercayaan yang berlebihan terhadap dukun, penipuan sampai fénoména multilevel marketing (MLM). “Léak Pemoroan” menuturkan ketabahan penyuluh (pencari belut dengan obor malam hari) menghadapi gangguan sétan. Dia tidak takut menghadapi manusia jadi-jadian dan menyerangnya sampai mati. Lukisan suasana malam dan perang melawan sétan ditulis dengan déskripsi yang kuat. Bahasa yang digunakan nylenéh namun mampu menggali masalah dan menggambarkan watak tokoh cerita. Kritik pedas pun dilontarkan dengan bahasa yang jernih. Dalam “Wisian Bank Dunia” dikritiknya MLM sambil menyentil “Ah, gara-gara Bank Dunia iraga nepukin soroh jelema dot sugih kuala tusing bani ngetélang peluh.” (Ah, gara-gara Bank Dunia aku menemukan kelompok manusia yang ingin kaya tetapi tidak berani menétéskan peluh). Pemakaian perumpamaan atau kiasan juga tepat sehingga membuat skétsa kehidupan ini memiliki aroma sastera yang kental.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Bali untuk karya diberikan kepada
Léak Pemoroan
Karya I Wayan Sadha
(terbitan Balai Bahasa Dénpasar)
Sedangkan yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Bali untuk jasa, ialah
Agung Wiyat S. Ardhi
(lahir di Gianjar, 3 Fébruari, 1946)
Kegiatan Agung Wiyat meliputi dua bidang, yaitu pertama sebagai penulis kréatif yang mencipta karya sastera baik bahasa Bali tradisional maupun bahasa Bali modéren. Kedua, aktif dalam pembinaan bahasa, aksara dan sastera Bali. Dia mulai menulis dalam bahasa Bali modéren tahun 1976 dan terus aktif sampai sekarang. Sejak tahun 1991 karyanya sering menjadi juara lomba penulisan puisi atau cerita péndék di Bali. Tahun 1997 kumpulan ceritanya Bogolan menjadi juara pertama. Tahun 2001 kumpulan cerita péndéknya Gending Girang Sisi Pekerisan mendapat Hadiah Sastera “Rancagé”. Karyanya yang lain adalah kumpulan naskah drama Bogolan termasuk Mandor Bawah (2002), Bukit Buung Bukit Mentik (2004) dan Da Nakonang Adan Tiange (2009).
Di bidang sastera Bali tradisional, Agung Wiyat banyak menyalin dan menguraikan arti bagian-bagian épos Mahabharata dan Ramayana serta cerita-cerita Tantri. Yang sudah dia salin adalah Prastanika Parwa (2004), Swarga Rohana Parwa (2004), Wirata Parwa (2006) dan Uttara Kanda (2008). Semuanya diterbitkan sebagai buku dengan aksara Bali, sehingga menjadi sarana bagi para peminat untuk menikmati karya sastera dalam aksara Bali atau mempelajarinya.
Sejak 2000 Agung Wiyat aktif dalam berbagai tim pembina bahasa, sastera dan aksara Bali yang memberikan penyuluhan kepada kelompok para guru, pelajar, dan ibu-ibu PKK. Agung Wiyat juga aktif dalam pembinaan kelompok mabebasan atau pesantian (menyanyikan dan menguraikan arti puisi tradisional termasuk gaguritan, kidung, dan kakawin). Di samping itu ia juga duduk dalam tim yang menyeléksi dan menyiapkan tim mabebasan kabupatén (Gianyar) untuk perlombaan tingkat provinsi yang diselenggarakan dalam Pésta Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun.
Dengan demikian maka Hadiah Sastera “Rancagé’ 2010 sastera Bali untuk jasa diberikan kepada Agung Wiyat S. Ardhi berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta). [ana candhake]
nggalek.co
9 years ago






0 comments:
Post a Comment