Friday, February 5, 2010

Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk sastera Lampung

Hadiah sastera “Rancagé” untuk karya pernah diberikan untuk sastera Lampung pada tahun 2008 karena ada buku karya sastera dalam bahasa Lampung terbit pada tahun 2007. Tapi pada tahun 2008 tak ada yang terbit, sehingga tahun yl. tak ada Hadiah “Rancagé” untuk sastera Lampung. Tahun 2009 terbit dua buku dalam bahasa Lampung, sehingga akan diberikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 untuk karya dalam bahasa Lampung.

Kedua buku itu satu berupa kumpulan sajak (Di Lawok Nyak Nélépon Pelabuhan karya Oky Sanjaya), yang satu lagi kumpulan cerita péndék (Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami).

Di Lawok Nyak Nélépon Pelabuhan (Di Laut Aku Menélépon Pelabuhan) memuat 57 buah sajak yang ditulis oléh mahasiswa Universitas Lampung jurusan Fisika ini berupaya membangun imajinasi tentang hal-hal yang bersahaja: lantai, asap, sarung, lesung, dll. Hal-hal sepélé itu diolahnya menjadi métafora yang menarik. Peristiwa sehari-hari diréfléksikan Oky dengan kata-kata sederhana, tapi mampu merangsang pembaca untuk merasakan hal yang sebenarnya, misalnya sajak “Hinjang Bak” (Sarung Ayah). Akan tetapi secara keseluruhan sajak-sajak Oky masih mentah, jauh daripada sajak-sajak Udo Z. Karzi peraih Hadiah Sastera “Rancagé” 2008.

Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong (Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong) memuat 17 cerita péndék yang melukiskan berbagai kebiasaan, tatacara, adat-istiadat, perilaku dan polah masyarakat di Bandar Negeri Semuong, sebuah kecamatan di Kabupatén Tanggamus, Lampung. Asarpin yang lulusan IAIN Radén Intan ini mampu mendéskripsikan budaya tradisional dalam cerita péndék yang ditulisnya seperti kebiasaan kajaruwan (mengumpulkan kayu bakar) yang dilakukan ibu-ibu di kampung, atau kebiasaan siahan (berbisik di balik dinding rumah yang dilakukan para pemuda kepada gadis pujaannya). Ada pula yang mengolah warahan (salah satu bentuk sastera lisan) ke dalam cerita péndék modéren. Meskipun kisah yang diceritakannya berbéda-béda tetapi ada tempat yang menjadi bingkai yang menghubungkan cerita-cerita itu satu sama lain. Sayang ada beberapa uraian yang terasa bukan cerita péndék, seperti “Badok” (Bergelar) yang hanya menguraikan tentang upacara pemberian gelar adat ketika orang menikah.

Tak dapat disangkal bahwa buku Asarpin ini merupakan kumpulan cerita péndék modéren pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modéren. Dengan pertimbangan itu, maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2010 sastera Lampung untuk karya diberikan kepada

Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong

Karya Asarpin Aslami

(terbitan B.E. Press, Bandar Lampung)

Hadiah “Samsudi” 2010 untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda

Dalam tahun 2009, terbit 4 judul buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda yang semuanya merupakan dongéng sasakala, yaitu Sasakala Cadas Pangéran, Sasakala Candi Cangkuang, Sasakala Karajaan Arcamaik dan Sasakala Pajajaran. Semuanya ditulis oléh Aan Merdéka Permana. Sasakala adalah semacam legénda yang bertalian dengan asal-usul nama tempat, gunung, telaga, sungai atau makhluk dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Sunda misalnya ada dongéng sasakala Sang Kuriang bertalian dengan terjadinya Danau Bandung dan gunung Tangkuban Perahu, dongéng sasakala tentang terjadinya gunung Tampomas di Sumedang, atau tentang sebabnya gagak berbulu hitam padahal asalnya putih. Namanya dongéng, tak dapat dianggap sejarah karena hanya berdasarkan imajinasi dan fantasi manusia saja. Tetapi dalam sasakala yang ditulis oléh Aan Merdéka Permana itu sering disebut dengan pasti titimangsa berupa tahun yang tidak jelas sumbernya seakan-akan kejadian yang diceritakannya itu kebenaran sejarah sehingga dapat menimbulkan salah persépsi anak-anak yang membacanya. Padahal apa yang ditulis oléh Aan itu tidak selalu sejalan dengan kenyataan sejarah. Misalnya pemberian gelar “kolonél” oléh Gubernur Jendéral Baron van (der) Capéllen diceritakan dalam Sasakala Cadas Pangéran berdasarkan jasa-jasanya mengamankan Sumedang yang konon tidak aman karena banyak gangguan orang jahat. Padahal menurut sejarah pangkat “kolonél” itu diberikan kepada Pangéran Kusumahdinata karena beliau diangkat menjadi komandan pasukan berbagai kabupatén Tatar Sunda untuk menghadapi pemberontakan Pangéran Diponegoro. Karena mendapat pangkat “kolonél” itulah maka Pangéran Kusumahdinata disebut rakyat sebagai “Pangéran Kornél”.

Memasukkan unsur sejarah ketika menulis cerita yang disebutnya sasakala pada satu pihak seakan hendak mengesankan bahwa ceritanya itu benar-benar sesuai dengan sejarah, tapi pada pihak lain kalau ada yang mempertanyakan data-data sejarah yang digunakannya, dia akan mengélak karena yang ditulisnya adalah sasakala.

Dengan demikian untuk tahun 2010 ini Hadiah “Samsudi” tidak diberikan.

*

Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2010, insya Allah akan dilaksanakan atas kerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta bertempat di Kampus UNY Yogyakarta pada bulan Méi 2010.

Pabélan, 31 Januari, 2010.

Yayasan Kebudayaan “Rancagé”

Ajip Rosidi

Ketua Déwan Pembina

0 comments: