Monday, May 31, 2010

Hadiah Rancage Mengupayakan Sastra Daerah Terus Tumbuh

Susie Evidia Y

Sastra Sunda menyumbang karya terbanyak pada 2009, 30 buku.

Identitas dari suatu suku atau daerah, salah satunya tecermin dari bahasanya. Namun kini bahasa daerah semakin tergerus, bahkan beberapa bahasa masuk katagori nyaris punah akibat tidak lagi diturunkan ke generasi penerus. Penggunaan bahasa daerah hanya dipakai para orang tua, tak sampai mengalir kepada anak-anaknya.


Kekhawatiran nasib bahasa daerah terlukis pula di dunia sastra. Terbukti, semakin minim kalangan sastra di daerah yang tertarik mengembangkan bahasanya ke dalam bentuk buku. Terbukti dari penilaian panitia Penghargaan Sastra Rancage 2010, jumlah buku yang diterbitkan pada 2009 masih dalam hitungan jari. Para pengarangnya pun mayoritas dikuasai kalangan senior.

Menurut Erry Riyana Hardjapamekas, ketua Dewan Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé, betapa memprihatinkannya produk sastra daerah. Dari sisi kuantitas minim, masih sedikit karya sastra dalam bentuk buku. ''Memang kondisinya berat, tapi kita harus terus berjalan mempertahankan dan mengembangkan karya-karya sastra di daerah-daerah,'' kata dia.

Sebenarnya, lanjut Erry, kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara mengalami masalah yang sama, yaitu semakin tergerusnya bahasa daerah setempat.

Pada 2009, karya sastra berbahasa daerah terbanyak disumbang oleh bahasa Sunda sebanyak 30 judul. Namun, yang benar-benar buku baru hanya 13 judul buku, sisanya ada terjemahan dan cetak ulang. Yang patut disyukuri, dari 30 judul berbahasa Sunda, empat di antaranya ditujukan untuk anak-anak sebagai generasi penerus bahasa ibunya.

Bacaan anak-anak yang diterbitkan berupa dongeng sasakala, yaitu Cadas Pangeran, Candi Cangkuang, Karajaan Arcamanik, dan Pajajaran. Karya untuk para buah hati ini disumbangkan oleh Aan Merdeka Permana. Tapi, Hadiah Samsudi untuk bacaan anak-anak berbahasa Sunda, tidak ada penerimanya. Empat judul buku itu tak ada yang layak untuk mendapatkannya.

Bagaimana dengan sastra berbahasa Jawa? Pada 2009 jumlah buku yang diterbitkan ada 12 judul, terdiri dari kumpulan sajak, cerpen, dan roman. Yang menarik, penulis sastra Jawa ini tak hanya mereka yang tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Rahmat Ali yang tinggal di Depok termasuk yang menyumbangkan karya sastra berbahasa Jawa. Lainnya, masih didominasi para pengarang dari Jawa Timur; Suparto Brata (Surabaya), David Hariyanto(Malang), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo).

Tersebarnya para pengarang sastra Jawa bisa membuat napas lega. Minimal dengan tersebarnya para pengarang di daerah dan dari berbagai kalangan, tak akan membuat sastra Jawa punah. Didukung para pengarang yang sangat produktif menulis ke dalam buku. Salah satunya, pengarang Suparto Brata --sebagai aset berharga bagi sastra Jawa. Setiap tahun, ide cemerlangnya pasti dituangkan ke dalam buku dengan jumlah lebih dari satu.

Pengarang-pengarang di Bali termasuk yang eksis menelurkan karya-karya sastra ke dalam bahasa Bali. Tahun lalu, sembilan buku bahasa Bali beredar di pasaran. Bentuk bukunya berupa roman saduran, kumpulan puisi, dan yang terbanyak adalah cerita pendek.

I Nyoman Mandra tahun lalu menyumbang karya mengejutkan berupa kumpulan puisi terdiri dari empat jilid. Jilid pertama hingga ketiga masing-masing berisi lebih dari seribu halaman, sedangkan jilid keempat menipis kurang dari 10 halaman. Karya ini bisa dikatakan termasuk kumpulan sajak paling tebal di ndonesia.

Dari Jawa dan Bali, Rancage menelusuri kawasan sastra yang ada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan daerah-daerah lain. Pada 2007, didapat oleh-oleh dari Sumatra, yaitu sebuah buku dalam bahasa Lampung. Setahun berikutnya, 2008, tak ada lagi karya sastra berbahasa Lampung.

Pada 2009, dua karya sastra berbahasa Lampung kembali hadir. Karya pertama dalam bentuk kumpulan sajak Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya. Mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Lampung ini menyajikan 57 sajak yang isinya membangun imajinasi berkenaan hal-hal bersahaja.

Sastra berbahasa Lampung lainnya, berupa kumpulan cerita pendek, yaitu Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami. Berisi 17 cerpen melukiskan berbagai kebiasaan, adat-istiadat, perilaku dan polah masyarakat di Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Hadiah Sastra Rancage merupakan penghargaan tahunan yang diadakan sejak 1989. Pencetusnya sastrawan sunda Ajip Rosidi yang juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia. Tujuan Rancage ini, menurut Ajip, untuk ikut mendorong tetap hidupnya kegiatan di bidang penulisan dan penerbitan karya sastra dalam bahasa daerah.

Karya sastra yang diterbitkan ke dalam bentuk buku sangat sedikit. Ajip memahami banyak fakor yang menyebabkan orang malas menulis karya sastra daerah. Kurangnya media daerah, honor yang minim, serta tak ada penghargaan bagi penulis bahasa daerah. Dari situ tebersit memberikan penghargaan bagi para penulis sastra daerah.

Awalnya, pada 1989 hanya sastra Sunda yang diberi penghargaan. Lima tahun berikutnya buku-buku sastra Jawa mulai diterbitkan. Akhir 1990-an, sastra Bali ambil bagian, sedangkan sastra Lampung andil tahun 2008. Ajip berharap karya-karya sastra daerah lainnya bisa ikut berperan meraih penghargaan ini.

Yang Meraih Rancage

Karya-karya para pengarang dari Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung telah diseleksi oleh tim penilai Rancage. Hasilnya, dari sastra Sunda terpilih karya H Usep Romli, dengan buku Sanggeus Umur Tunggang Gunung, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung.

Penulis berbahasa Sunda, Karno Kartadibrata diberi penghargaan atas jasanya memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan bersifat sosial-politi. Karno kini menjabat sebagai wapemred mingguan bahasa Sunda Mangle.

Untuk sastra Jawa, terpilih Layang Panantang karya Sumono Sandi Asmoro terbitan Bahasa, Surabaya. Kategori jasa, Rancage diberikan kepada Bonari Nabobenar yang aktif melakukan perjalanan diskusi berkenaan sastra Jawa dan Indonesia. Saat ini Bonari duduk sebagai ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya. Dia juga termasuk penggerak Kongres Sastra Jawa dan penyelenggara Festival Sastra Jawa dan Desa.

Leak Pemoroan karya I Wayan Sadha menjadi pilihan juri untuk hadiah Rancage 2010 sastra berbahasa Bali. Buku tersebut memuat 41 cerita beragam, di antaranya kisah leak, kehidupan pelacuran, korban pascapariwisata massa. Penghargaan untuk kategori jasa pengembang bahasa Bali adalah Agung Wiyat S Ardhi. Pria kelahiran Gianyar tahun 1946 ini sebagai penulis kreatif sastra Bali tradisional, maupun modren. Ia juga aktif sebagai pembina bahasa, aksara, dan sastra Bali.

Dari dua buku yang berbahasa Lampung, para juri Rancage tampaknya tertarik dengan karya kumpulan karya Asapin Aslami. Alasannya, karya lulusan IAIN Raden Intan ini sebagai kumpulan cerpen modern pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modern.

Penghargaan diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé ini digelar di kampus Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 29 Mei 2010. Berbarengan dengan penyelenggaraan Konferensi Internasional Kebudayaan Daerah 2010 yang diikuti dari berbagai negara. [susie edidia]

Republika Online [Minggu, 30 Mei 2010 pukul 10:16:00]


Tuesday, May 18, 2010

KONGGRES BAHASA JAWA, RELEVANKAH?

Oleh W HARYANTO


Sebagai ‘bahasa yang memiliki jumlah pemakai yang terbesar’, ternyata bahasa Jawa tidak lebih dari souvenir abad 21—bahasa ini hanya ‘masa lampu’ dan tak punya masa depan yang kongkret. Inilah persepsi yang menumbuhkan euphoria tentang masa ‘kejatuhan’ Bahasa Jawa, kelak. Tetapi, indikator ‘kejatuhan’ tak tampak jelas—karena sesungguhnya, Bahasa Jawa terus tumbuh lewat pelbagai manifestasi. Bahasa ini berkembang (dan sekaligus) menuju sebuah komunikasi rasional, bukan lagi berkumbang bahasa ‘platonis’.


Ferry Salim dalam film Chau Bau Kan (novel Remy Sylado) melahirkan konstruksi ‘Jawa-Cina’ yang khas. Di tahun 1980an, Hilman dalam novel populernya ‘Lupus’ telah mengganti kata ‘tidak’ jadi kata ‘nggak’, dan seri populer ini mewabah menjadi pencitraan remaja Indonesia saat itu. Juga, dalam beberapa sequelnya sinetron SCTV, timbul gejala ‘pen-Jawa-an’ bahasa Indonesia lewat dialog dan karakter aktor-aktornya. Tentu cukup unik, ketika di tengah-tengah dialog muncul pengucapan begini, ‘ojo ngono tho, dhuk’ (tanpa adanya transliterasi) di saat bersamaan audiens Indonesia sedang dihanyutkan ke dalam tindak fiksi yang berbasis Bahasa Indonesia. JTV, dan sejumlah Radio berbahasa Jawa, masih intens memakai Bahasa Jawa sebagai komunikasi interaktifnya. Juga, Majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat melintasi beberapa dekade terus mendenyutkan Bahasa Jawa. Sementara, jauh di ranah yang primordial, misalnya pada malam-malam tertentu di area parkir Makam Bung Karno Blitar—muncul kelompok Campur Sari yang membangun siklus dengan berbagai generasi. Maka, sungguhlah naïf, euphoria tentang kejatuhan ‘Bahasa Jawa’.

Bahasa, bukanlah sebatas media komunikasi, ia juga psikologi massa yang mempengaruhi suatu komunitas mempersepsikan dirinya, mendefinisikan dirinya, mempolakan pelbagai relasi dalam ‘alam faktual’. Dan, lewat bahasa pula, manusia (atau sebuah komunitas) mendewasakan dirinya dari ‘bayi’ yang tak punya konstruksi bahasa yang komplet, menuju fragmentasi manusia yang konstruktif kebahasaannya. Bahasa (dalam konteks kedaerahan) adalah perekat, sekaligus memperkuat energi kulturnya di tengah dinamika budaya.

Sebuah ungkapan Jawa menyebut, “Jawa mati ketika orang Jawa kehilangan Ke-Jawa-an”. Konteks kehilangan ‘Ke-Jawa-an’ ini, adalah terputusnya proses kebahasaan dalam perkembangan perwatakan seorang Jawa. Memang, kondisi mutakhir dari kebudayaan kita, muncul, (i) Karakter anti-Jawa di kalangan orang Jawa. Aspek ke-Jawa-an yang termaktub dalam konstruksi filosofis bahasa Jawa, tidak tercerna lagi dalam perwatakan orang Jawa, misalnya, ‘huruf yang dipangku’ maknanya ‘mati’—makna filosofisnya, orang Jawa akan mati jika dipuji, diberi anugerah, diberi pengakuan. Tapi kenyataan dewasa ini, orang Jawa justru haus pengakuan, gila hormat(!)

(ii) Bahasa Jawa juga dipersepsikan sebagai alat kekuasaan dan penguasaan. Rezim Suharto memakai bahasa Jawa sebagai medium untuk menghantam ‘potensi perlawanan’ dalam bahasa Indonesia normatif (baca: kramanisasi bahasa). Fakta ini pun berlawanan dengan perwatakan Jawa.

Deformasi perwatakan Jawa ini, hampir tidak kita disadari. Bahkan, sebagian ‘orang Jawa’ cenderung ‘kurang-nJawa-ni’ ketika tenggelam dalam arus birokrasi. Maka, muncul fenomena, bahasa Jawa yang perlu di-Konggres-kan dan hanya menghasilkan beberapa kalimat rekomendasi yang bersifat ‘sloganistik’ yang tak mengakar dan tak menjawab tantangan zaman. Alih-alih, untuk pengembangan Bahasa Jawa —tetapi, dibalik itu muncul motivasi memperalat Bahasa Jawa untuk kepentingan temporer.

Kritik Tirto Suwondo dalam tulisan ‘Konggres Bahasa Jawa V’ (Jawa Pos, 21 Maret 2010) cukuplah faktual, antara lain, dengan menyebut ‘aktualisasi dan apresiasi aset budaya local sebagai ujud kearifan lokal belum tampak hasilnya’. Kritik ini, sesungguhnya adalah pertanyaan fundamental. Pertanyaan ini belumlah terjawab. Sejumlah fenomena aktual yang diajukan Tirto Suwondo, memang terjadi—katakanlah, hasil rekomendasi KBJ IV, bahkan tak terdengar gaungnya di Jawa Timur. Cukup aneh, karena Pemda Jawa Timur turut pula terlibat dalam KBJ IV di Semarang. Pertanyaan kita sekarang, masih relevankah Konggres Bahasa Jawa? Ketika hasil Konggres bahkan tidak diketahui, oleh seorang Jawa (baca: pengguna Bahasa Jawa) yang saban mengayuh becak di area Pemandian Sumber Udel Blitar.

Sebuah Konggres, apapun bentuknya, seyogyanya adalah ‘stimulan’ dari arah kebudayaan yang jelas dan terarah. Jika hasil Konggres tidak aplikatif, maka Konggres itu berawal dari “nol” menuju ke “nol”—semacam absurditas. Padahal, nasib kebudayaan ‘Jawa’ dipertaruhkan di ajang Konggres. Karena di sanalah, para pemikir budaya Jawa, birokrat, sastrawan Jawa, dan pecinta budaya Jawa—berkumpul, memformulasikan, dan membentuk program pengembangan. Maka, rekomendasinya harus ditindaklanjuti usai Konggres berakhir, dan dievaluasi sebelum Konggres berikutnya berlangsung. Di sinilah, dinamika budaya Jawa (secara khusus Bahasa Jawa) bisa terlihat.

Konggres Bahasa Jawa, pengertiannya sangat luas, tak cukup—hanya dipersepsikan sebagai pelembagaan Bahasa, tetapi juga menyangkut sejauhmana pelembagaan itu mengikat secara emosional dengan seluruh pengguna Bahasa Jawa. Karena, menyangkut pula penguatan identitas, pemberdayaan, juga pelbagai gagasan yang menjadikan Bahasa Jawa—bukan, sebatas Bahasa Teoritis yang dimensinya hanya tercapai oleh segelintir ahli, dan perajin Bahasa. Cukup ironis ketika siswa sekolah kita mengganggap Bahasa Jawa tidak lebih dari pelajaran hapalan, bukan materi kultural. Di sisi lain, guru-guru Bahasa Jawa tidak menguasai anthropologi dan filsafat Jawa, hingga makna bahasa direproduksi lewat acuan referensial—bukan modifikasi karakter dan kandungan filosofi Jawa. Alangkah lebih baik, jika Konggres ini memilih segmentasi persoalan yang lebih kongkret, dan katakanlah menjadi Konggres Guru Bahasa Jawa, Konggres Sastrawan Jawa, atau Konggres Macapat. Segmentasi inilah yang memungkinkan aspek pengembangan Bahasa Jawa tidak bersifat abstrak.

Sebagai bahan perbandingan, Bahasa Perancis memiliki tradisi tahunan bernama Francophonic, yang berlangsung di semua Negara pemakai Bahasa Perancis. Tradisi ini bukan berujud konggres, tetapi lebih ‘mirip’ Grebek Suro—semua masyarakat pengguna Bahasa Perancis membentuk ikatan emosional lewat kreasi, sastra, musik dan lainnya. Di sini pula, muncul pelbagai pengucapan—yang tak terlembagakan, sebuah kreol Perancis yang kaya warna. Maka, efek populisnya adalah tentulah menguatnya identitas Perancis di berbagai kawasan dunia (di ranah bekas Jajahan Perancis), di sisi lain, Bahasa Perancis jadi lebih dinamis.

Ada atau tidaknya Konggres Bahasa Jawa—sesungguhnya tidak berpengaruh terhadap Bahasa Jawa. Bahasa ini, lewat pelbagai perwujudannya, ternyata jauh melebihi persepsi ahli Bahasa Jawa. Sesungguhnya, bahasa ini telah menjawab tantangan zaman, lewat pelbagai medium, menjadikan Bahasa Jawa menjadi lebih kritis dan resisten terhadap gejala ‘kurang-nJawa-ni’ yang mulai menggerogoti masyarakat Jawa. Bahasa Jawa pun jadi lebih 'nylekit' (baca: menyakitkan) ketika dalang Ki Sunaryo menyindir perilaku korupsi pejabat-pejabat Negara.[]


W. Haryanto, eseis, Ketua Forum Alumni Unair Independent (FAUNA), penyunting sejumlah buku penyair-penyair muda Jawa Timur, antara lain, Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Antologi Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2004), Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2007), Pasar yang Terjadi Pada Malam Hari (Dewan Sastra Jawa Timur, 2008), dan dua buku penulis muda Jawa Timur lain yang sedang dipersiapkan untuk cetak, Penulis Muda Jawa Timur Bicara Sastra (esei), dan Konstruksi Bunyi dan Taman Benda-benda (puisi). Sekarang juga menjadi Komite Sastra Kabupaten Blitar.


Radar Surabaya, Minggu, 16 Mei 2010

Thursday, May 13, 2010

CALON MANTU

Crita Cekake: Sugeng Kariyodiharjo


Srengenge wis padhang ngenthar-ngenthar, wiwit bar subuh isih durung menyat saka lungguhe, dheweke mung tansah dhelog-dhelog lungguh kursi neng emper ngarep. Mikirake Hapsari -- anake wedok sing siji ndhil ora ana tunggale. Sekolahe mono pancen ya dhuwur wong ya lulusan pawiyatan luhur – Unair - perguruan tinggi sing kondhang neng Surabaya. Rak ya dhuwur tenan ta . Anak wedok sithok di gadhang-gadhang ing tembe mburine bisa ngopeni yen dheweke wis tuwa. Bisa dingengeri yen wis ora kuwat nyambut gawe. Satemene mono pak Harja pensiunan pegawe negeri. Dadi thithik-thithik ya duwe bayar dhewe, thithik-thithik ya duwe pengasilan dhewe dadi ora bakal ngrepoti anak putu.


Nalika isih cilik didama-dama , dilela-lela, digadhang-gadhang supaya yen wis gedhe bisaa njunjung drajate wong tuwa. Saben dina tansah dijaga, dikempit ngalor ngidul aja nganti ketaman lelara. Gawang-gawang isih kelingan neng angen-angen patlikur taun kepungkur, cumithak neng pikiran ngendikane pak Modin nalika disuwuni tulung paring ular-ular nalika anak wedok iki disepasari, dipepuji muga-muga dadia wong sing soleh lan solihah migunani tumrap bangsa lan negara.

Nalika mlebu sekolah, saben esuk wis dicepaki sarapan. Awan wayahe mulih saka sekolahan gage-gage diptehuk. Buku-buku dicukupi. Pokoke sakabehe kebutuhane sekolah aja nganti nguciwani. Bu Harja uga asring nemoni guru-gurune mbokmenawa ana prekara ana ing sekolahan, anake wedok sitok iki aja nganti ngisin-isini. Semono uga nalika Apsari kuliah.

Sing saiki dipikir ora prekara sekolah, nanging anggone milih bakal jodhone. Pak Harja wektu iki wis duweni angen-angen, wis nduweni pilihan calon mantu. Rumangsane anggone milihake jodho wis pas. Calon mantune mau ya nggantheng, bagus, anake wong cukup ya wis cekel gawe pisan. Calon mantune nyambut gawe dadi Angkatan Laut. Pangkate ya ora endhek banget ning ya ora dhuwur banget - sersan – apa isih durung cukup? Kanggone pak Harja ya wis matur nuwun banget. Cara bobot, bibit, bebet ya wis timbang. Pak Harja dhewe biyen mung anake kopral. Kopral jaman revolusi, kopral jaman perjuangan. Pak Harja wis manteb banget marang bakal mantune sing Angkatan Laut iki. Dhasare tingkah lakune ya becik, tindak-tanduke ora nguciwani, marang wong tuwa kurmat. Apa ora seneng?

“Ngaten pak, menawi mangke kula tamtu jodho kalih adhik. Sedaya wragad lan bea kuliahipun kula tanggung. Upamia mangke es satune sampun mantun lajeng badhe nglajengaken sekolah malih kula inggih sagah ngentosi, ” kandhane calon mantune nalika anake wedok isih kuliah biyen. Anake wedok dhewe wis dilamar, dheweke ya ora nolak, bareng ditari wangsulane mung nggah-nggih wae.
Apa ya ora seneng nduwe calon mantu sing tanggung jawab? Jejere wong tuwa tansah ngrenahake supaya anak bisa urip kepenak, ora bakal wong tuwa arep njlomprongake anake. Paribasan sagalak-galake macan ora bakal nguntal gogore. Sanajanta pak Harja pegawe negeri, nanging mung golongan loro. Pira ta bayare pegawe negri golongan loro? Kanggo nyekolahake nganti rampung kuliah rasane wis menggik menthol. Yen wis wayahe mbayar SPP mloya-mlayu golek utangan mrana – mrene, golek sabetan ngalor ngidul. Upamane mung kanggo mangan wae lan mbayar SPP ne wae kira-kira wis cukup. Ning kanggo tansportasi saben dinane, mangkat mulih mbemo, tur ora mung sa jalur, kudu ganti bemo ping telu saben budhal menyang kampuse, durung mengko yen wayahe mulih. . Apa maneh yen wis wayahe praktek, beaya praktek kudu ditanggung dhewe. Arep nukokake pit montor ya dhuwit saka ngendi? Arep melu kredhit pit montor isih kudu nyicil omah. Mula ya angen-angen kredhit pit montor kandheg neng angen-angen.

Calon anak mantu wis meh saben dina dolan menyang omah. Dadi srawunge calon mantu karo kulawarga ya wis apik, malah sedulur-sedulure, wong tuwane - calon besan - ya becik. Kanca-kanca kantor ya akeh sing ngerti yen bakal mantune pak Harja iku sersan. Kanca kantore pak Harja apa dene kanca kantore calon mantu wis akeh sing ngerti. Yen pinuju ketemu ana kantor, calon mantu padha diguyoni kancane , “Kae lho Man, calon maratuwamu tukokna rokok. Mosok wiwit mau mung meneng wae,”mangkono kancane anggone ngguyoni. Kaya dikongkon wae calon anak mantu banjur kluyur-kluyur menyang kantin tuku rokok. Apa yen kaya mengkono ora seneng ?

Dina iki Hapsari lagi kena godha. Budhal nyambut gawe ana dalan digodha karo bocah lanang. Pancen ya lumrah bocah lanang kepingin kenal banjur nggodha karo bocah wadon. Saben liwat dalan iku bocah lanang wis nyegat ana ndalan. Suwe-suwe Hapsari rumangsa risi, banjur kandha marang bapake.

“Ngene lho ndhuk. Ya pancene kowe saben dina kowe digodha, kowe ngomonga karo calon masmu. Wong kowe ya wis dilamar. Ya mengko kareben diterake. “

“Mas rak nyambut gawe pak,”

“Ya kandhaa wae. Yen kowe digodha.”

Temenan sorene calon mantu teka menyang omahe pak Harja kaya biasane. Hapsari banjur kandha .

“Mas, aku lho saben dina digodha bocah. Aku risi, mas,” kandhane Hapsari menyang calon mantu.

“Sapa dhik ?”, pitakone

“Pokoke aku saben mangkat utawa mulih nyambut gawe mesthi dicegat lho mas.”

“Ya, gampang mengko coba dak delenge.”

Wiwit dina iku saben mulih saka kantor Hapsari mesthi diawat-awati dening Sumantri. Sedina rong dina ora ana kedadean apa-apa. Ganep dina kang katelu bocah sing biasane nggodha saka kadohan wis ketok ngadeg neng pinggir dalan. Bareng wis cedhak wiwit nggodha.

“Mulih dhik ?” pitakone marang Hapsari.

“Inggih mas, “wangsulane Hapsari nanggapi pitakone.

Sangsaya suwe anggone nggodha sangsaya nemen. Malah wani nyekel-nyekel tangan barang. Hapsari njerit. Saka mburi Sumantri sing wiwit mau nginthil lakune Hapsari enggal tumandang menehi pitulunngan.

“Culna !! pakone Sumantri santak , “Ora gelem ngeculke dak tempiling mengko!,” guneme Sumantri sereng.

“Ngapa kowe ngganggu aku ? Iki rak pacarku,”

“Apa ? Pacar?. Iki wis dak lamar ,”

Ora mung cukup omongan wusanane wong loro mau tukaran, antem-anteman. Leren anggone tukaran jalaran dipisah wong sing ana sakiwa tengene kono.

Suwe saka kedadean iku, ana owah-owahan sing ora sabaene, paribasan mbalik satus wolung puluh drajat , salin slaga, malik grembyang. Saiki Hapsari wis ora gelem nemoni maneh yen Sumantri mbeneri dolan menyang omahe pak Harja. Malah wis nate kawetu tembunge yen ora seneng karo Sumantri.

Jejere wong tuwa mangerteni anake nduweni kelakuwan sing nganeh-nganehi dadi bingung, ora ngerti apa sing arep ditindakake. Atine sumpeg. Ing sajroning batin thukul pitakonan werna-werna, apa kena oyod mimang? Pak Harja rumangsa isin karo calon besan sing nitip-nitipake anake, uga rumangsa isin karo kanca-kanca kantor. Kabar wis kadhung sumebar teka ngendi-endi. Mula banjur golek rekadaya kepriye bisane anak wedok bali kaya wingi uni.

Saben dina anake wedok tansah ditutur-tuturi, yen ora pak Harja dhewe ya bojone. Disrengeni bola-bali ora mempan, dituturi ora pasah , nganti judheg atine. Pak Harja banjur golek rekadaya liya. Saben ana wong tuwa ditekani dijaluki tulung supaya nambani (yen kena diarani lara ) anake wedok. Saben wong pinter diparani dijaluki donga supaya bisa waras. Anggone nekani wong tuwa, wong pinter, wong ngerti ora mung siji loro. Yen dietung kira-kira wis rong puluh enggon. Ya yen mung sakutha. Ana wong kandha neng Majakerta ana wong pinter, diparani. Neng Lamongan ana wong tuwa, diparani, neng Jember ana ngerti diparani. Sampeyan bisa ngira-ira pira enteke dhuwit kanggo nekani wong pinter mau. Paribasan entek ngalas entek ngomah. Sanajanta kaya mengkono durung ana sudane. Jibeg rasane.

Nuju sawijining dina anake wedok kandha :”Pak aku tak matur ya pak, ning aja disrengeni.”

“Arep kandha apa ?

“Sesuk sore bapake Mas Sus arep tindak mrene, arep nglamar.”

“Mas Sus iku sapa?” pitakone pak Harja.

“Mas Sus iku lho pak, sing gawene nyegat aku neng dalan.”

“Sing ditempilingi masmu biyen ?”

“Iya.”

Krungu kandhane anake wedok sing mengkono rasa atine pak Harja kaya disamber gelap, mung bisa sambat :” Dhuh Gusti, nyuwun ngapura,” banjur semaput ora eling apa-apa.

Sby, 11 Mei 2010.

diundhuh saka: facebook

Tuesday, May 11, 2010

Bonari Nabonenar Markus-e Sastra Jawa?

Sawise maca andharane Kang Narko (Narko ’’Sodrun’’ Budiman) Mapag KBJ V, Markus Basa Jawa, Sumono Gugat, ing Panjebar Semangat No 18 Tahun 2010, aku banjur kirim SMS marang: R Djaka Prakosa (anggota Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa V kang uga Wakil Ketua PPSJS), JFX Hoery (Ketua PSJB), Suparto Brata, Tiwiek SA, Sucipto Hadi Purnomo, Keliek SW, Sunarko Budiman (Ketua Sanggar Triwida, ya kang nulis andharan kuwi mau), mengkene: ’’Iki soal Sumono menuding ada Markus di Sastra Jawa seperti dalam tulisane Narko, yen ora dicethakake malah dadi pitenah. Atau Sumono ingin mengatakan baik penggiat KBJ maupun KSJ adalah Markus? Wah!’’

Wangsulan kang daktampa werna-werna. Ana kang, ’’Wah kula mboten nggagas sing ngaten niku. Sing penting mencintai sastra jawa tanpa syarat!’’ Pak Hoery nelakake olehe ora sarujuk karo matrape tembung ’markus’, lan Pak Parto (Suparto Brata)malah ngeles kanthi paring kabar manawa bukune Sumono Layang Panantang bakal dibedhah ing Kampus Lidah (dhek tanggal 30 April wingi kae).

Geneya kok dakarani bisa dadi pitenah? Tembung ’markus’ (cekakan saka: makelar kasus) mono saiki pancen lagi munggah godhong (naik daun) kanggo ngarani paraga-paraga kang nindakake kadurakan kanthi mbiyantu para durjana amrih ora kesrimpet ukum, kang tundhone mung murih dum-duman rejeki saka para koruptor lan saandhahane. Saking mratahe markus, pamarentah kongang jibeg nganti banjur mangun bebadan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum kang jejibahane klebu mbrastha para markus kuwi. Cekak-aose, markus kuwi leletheging jagad, ya leletheging bumi Nuswantara Indonesia Raya iki. Yen bener uga ana ing Basa Jawa (neng kene takganti Sastra Jawa) kaya pandakwane Sumono liwat Kang Narko, ya lelethege Sastra Jawa. Mulane, becike aja gumampang nuding saweneh pihak kadidene Markus Sastra Jawa, kejaba wis pawitan bukti kang trawaca.

Ing tulisane kuwi, Kang Narko (Ketua Sanggar Triwida) satemene mung dhapur madulake pandakwane Sumono, kang coba diringkes ing pratelan, ’’ 1) ana wong sing gelem mikir nasibe sastra, tapi nek kosok baline ethok-ethok mikir sastra Jawa jebul mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe, 2) Sastra Jawa mung dianggo ajang kasus, 3) Sasuwene iki KBJ – KSJ padha, lan kaping 4) Sastra Jawane tetep mbegegeg ora ana sing gelem ngobah-obah.’’

Satleraman kaya-kaya pandakwa kuwi tumuju marang para panyengkuyung KBJ (Kongres Basa Jawa) apadene panyengkuyung KSJ (Kongres Sastra Jawa). Kang kasebut pungkasan kuwi (KSJ) sasuwene iki dianggep nandhingi anane KBJ. Lhah , kok kabeh ’’dimungsuhi’’? Nanging, yen diwaca kanthi rada tliti tibake ketemu, malah satemene cetha banget sapa pawongan kang dituju. Pratelan ing angka 3 lan 4 kuwi satemene mung dhapur aling-aling, mbokmenawa kareben ora melok.

Coba ta, kira-kira sapa pawongan kang ketoke mikir lan tumandang kanggo Sastra Jawa, nanging tibake mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe, ’’kaya polahe selibritis sing surut pamore ben terkenal maneh,’’ (?). Tekan kene pancen isih durung cetha sapa kang didadekake tersangka dening Sumono kang sajake diamini Kang Narko kuwi. Nanging, mangga dipun semak pratelan menika: ’’Lha iki sing kudu dipetani maneh, sapa sing saiki pamore wis mlorot banjur ada-ada gawe ’kasus’ , supaya ditanggapi, dadi polemik rame ing majalah (ora mungkin neng Tv, sebab sastra Jawa ora payu didol neng Tv). Jenenge wis suwe kasilep jamane Century, kagerus ulegane Gayus, kepingin diungkit-ungkit maneh. Iya yen ana sing nanggapi, yen ora? Utawa ada-ada gawe kajatan sing ’’berbau sastra Jawa’’ mapan ing panggonan sing ora tau kambon sastra Jawa. Jebule mung dadi makelare basa (sastra) Jawa.’’

Sok sapaa kang rada tlaten njingglengi pekabaran ngenani kegiyatan Sastra Jawa mesthi bakal enggal dhamang menawa paraga markus kang dikarepake ing tulisane Kang Narko iku ora liya Bonari Nabonenar, kang ing tanggal 4 – 5 Agustus 2009 wingi gawe ada-ada nggelar Festival Sastra Jawa dan Desa, ing papan kang pancen diakoni ’’sangat terpencil’’ dening kang padha rawuh saka Jakarta, Yogya, Semarang, Banyuwangi, lan liya-liyane, yakuwi Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek (saget kawaos ing: http://ppsjs.blogspot.com/2009/10/penulis-sastra-jawa-ngumpul-ing.html).

Kang banget keladuk kuwi olehe ngarani manawa Desa Cakul ora tau kambon Sastra Jawa. Kok ngono? Sastra Jawa Kuwi apa? Apa Desa kang duwe bocah wis juwara nasional dhalang wayang kulit, sing tau duwe grup wayang uwong lan ludruk, sing isih duwe tradisi tayuban, sing duwe sindhen embuh papat apa lima kuwi bisa sakepenake udele diarani ora tau kambon sastra Jawa? Takkira iku pratelan kang degsiya. Tur malah nuduhake cupete pamawas. Apa dikira yen kang diarani Sastra Jawa kuwi mung geguritan lan crita cekak utawa crita landhung kang kapacak ing majalah?

Entuk Jeneng lan Jenang

Kang Narko uga pratela, ’’Dadi pendhekare kongres! Jenenge mumbul (embuh entuk bathi material apa ora?) ora mikiri kongres sing wragade yutan mau tumanja apa ora? Asil keputusane ana tindak-lanjute napa mboten? Ditanggapi positif lan karya nyata saka pemerintah daerah apa ora?’’ kang sangsaya nuduhake manawa kang digasak kanthi degsiya kuwi dudu KBJ, nanging KSJ. Bocah isih umbelen wae prasasate rak ngreti yen KBJ kuwi ngentekake wragat takerane M (milyar) ora mung ’yutan’ kaya KSJ.

Bonari Nabonenar nyatane entuk jeneng tenan, senajan durung tinampakake, dheweke wis diwartakake bakal nampa Rancage taun iki. Senajan wis ana sing ngarani mung saderma utah-utahan saka RM Yunani Prawiranegara (suwargi) –awit ana aturan Rancage ora bisa ditampakake marang kang wus sumare?—mesthine Yayasan Rancage ora angger. Senajan Rancage kuwi yasan pribadine Pak Ayip Rosidi, mesthi ora bakal kanthi sengaja ngucemake jenenge kanthi aweh Rancage marang wong pengawak Markus. Tur, mesthine malah ana wewaton gumathok geneya Bonari kang banjur dipilih.

Asline, Bonari dhewe rumangsa durung pantes nampa Rancage. Mula senajan ngreti yen kang nintingi para nominator ing laladan basal an sastra Jawa iku Bu Sri Widati Pradopo, nganti saiki durung kawetu matur apa-apa, saking olehe pekewuh. Nanging, mbareng maca andharane Kang Narko bab Markus ing Basa Jawa kuwi saiki Bonari wis manteb, bakal nampani sambi mbatin takon, apa mengko Kang Narko konsekuen karo kang dikandhakake, banjur nulad Mochtar Lubis, yen ora kleru, mbalekake Ramon Magsaysay bareng pirang-pirang taun candhake hadhiah kuwi tumiba marang pawongan kang miturut pamawase ora pantes nampa, yakuwi Pramoedya Ananta Tour. Yen ora gelem mbalekake, tegese Kang Narko ya rumangsa ayem awor karo golongane pawongan kang miturut dheweke Markus kuwi, ta?

Apa Kang Narko isih arep ngendha kanthi kandha ngene, ’’Lho, aku ora ngarani yen Bonari kuwi markus, kok!’’ Yen pranyata kaya mangkono takkira debat terbuka bakal luwih gelis ngrampungi prekara iki tinimbang dadi polemik kedawan-dawan ing majalah. Mesakake kang padha maca yen mung disuguhi udreg nyithengan mengkene iki.

Saora-orane, muga-muga kadangku tuwa Kang Narko ’’Sodrun Tenan’’ enggal paring katrangan kang luwih trawaca, mumpung geni kang dicipratake durung mobal tekan ngendi-endi, awit iki wis ana kang wiwit nglelimbang bakal ngajokake gugatan class action, Wong Cakul, kang didakwa ora tau kambon sastra Jawa kuwi. Nuwun. [Bonari nabonenar, sastrajawa@yahoo.com]


Panjebar Semangat No 20, 2010

Tuesday, May 4, 2010

Jawa Gaul

Triyanto Triwikromo

SIAPA pun Anda pasti tidak ingin terperosok ke dalam dosa. Namun, terus-terang, saya justru mengajak para sastrawan Jawa agar melakukan dosa kultural pada Kongres Sastra Jawa II yang digelar di Semarang, beberapa waktu lalu. Seruan subversif itu saya lontarkan karena risi pada istilah pertobatan sastra yang diungkapkan oleh Kang Tohari untuk menggambarkan upaya heroik sastrawan itu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah menjadi Srinthil dan Jegingger. "Ya, pertobatan ini saya lakukan setelah Profesor Henk Maier mengingatkan mengapa saya tidak menulis dalam bahasa ibu."


Pertobatan, kita tahu, memang berkesan sebagai tindakan indah dan membuncahkan kesan religiusitas yang dalam. Pertobatan juga identik dengan perjalanan sunyi penuh makna setelah sepanjang waktu seseorang merayakan berbagai nafsu angkara dengan penuh kegairahan. Dalam novel Siddharta karya Herman Hesse yang inspiratif, pertobatan adalah perjalanan Siddharta menuju suwung setelah ia hidup dalam hiruk pikuk duniawi. Pertobatan, dengan demikian, adalah jalan menuju surga, nirwana yang tak terpermanai. Ia adalah jalan menuju pembebasan. Tapi pertobatan kultural justru melumpuhkan.

Saya tak hendak menghalang-halangi para sastrawan Jawa -Suparto Brata yang santun, Arswendo Atmowiloto yang trendi, Lanang Setiawan yang kreatif, dan Bonari Nabonenar yang heroik- untuk menerjemahkan novel, cerpen, dan puisi menjadi roman, cerkak, atau geguritan dalam bahasa Jawa. Saya tidak ingin menghalang-halangi "pertobatan" indah mereka.

Akan tetapi "pertobatan kultural" semacam itu bagi saya justru melumpuhkan kaki dan ruh sastra Jawa yang telah melesat ke medan yang lebih jembar lewat Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Para Priyayi, Canting (Arswendo Atmowiloto), dan karya-karya religius-kejawen Kuntowijoyo atau Danarto.

Saya juga tidak bisa membayangkan, atas nama pertobatan, teks-teks puisi multilingual Darmanto Jatman yang telah mengglobal harus dihunjamkan lagi ke rahim bahasa ibu.

"No!" kata Bilung.

"Nehik!," kata Bunga.

"Ogah!" teriak Ciprut.

Karena itu, kalau diberi kesempatan melakukan kloning bagi perkembangan manusia Jawa, justru manusia semacam Darmanto Jatman-lah yang akan saya gandakan sebanyak-banyaknya. Ia orang yang tidak pernah menangisi Jawa lampau. Ia justru menggunakan keterbatasan dan kekurangan Jawa untuk bergaul dengan dunia global yang memang meniupkan semangat multikulturalisme. Ia adalah penyair yang dalam "Main Cinta Model Kwang Wung" bilang, "siang-malam, musnahlah beda kalian, laut-darat, musnahlah beda kalian, laki-perempuan, musnahlah beda kalian...hal korean, half chinese hawaiian american maiden -satus persen wong lanang jawa yogya-indonesia, musnahlah beda kalian!"

Ya, kebangsaan, kejawaan, jelas hanya fiksi.

"Hanya komunitas yang dibayangkan (imagined community)," kata Benedict Anderson.

"Hanya sesuatu yang berada dalam tanda kutip," kata Franz Magnis Suseno.

"Hanya dunia yang hadir karena kutipan-kutipan. Hanya sesuatu yang dibangun oleh intertekstualitas," seru Julia Kristeva.

"Jadi, dekonstruksi saja. Hancurkan! Kontruksi kembali sesuai keinginan! Jangan percaya pada mitos leluhur!" teriak Derrida tak henti-henti.

Saya tak ingin menghilangkan suara-suara yang pasti akan dianggap ajakan setan untuk melakukan dosa kultural terhadap sastra -atau katakanlah kebudayaan- Jawa itu. Saya justru membiarkan segala "bisikan gaib" itu bertabrakan dengan identitas kejawaan kita yang kian kabur. Tabrakan, benturan, kecelakaan, dan pukulan-pukulan terhadap perilaku kejawaan kita yang pudar itu, justru saya harapkan melahirkan identitas kultural yang baru, identitas yang tidak menghamba kepada kejayaan masa lampau, ke-adiluhungan yang tidak pernah bisa dijangkau oleh anak-anak kandung kebudayaan masa kini.

"Karena itu, mari saya ajari kalian berdosa. Jangan pernah bertobat. Jangan kembali kepada sesuatu yang justru melumpuhkan. Pertobatan, kau tahu, tak pernah membebaskan. Ia akan cenderung melumpuhkan," kata saya dalam hati ketika saya rasakan para leluhur manusia Jawa memelototkan mata.

Itu berarti, sesungguhnya saya hanya hendak menyatakan, identitas sastra Jawa memang harus dipertanyakan ulang. Misalnya saja kita bisa bertanya: apakah sastra Jawa harus ditulis oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa dan berisi kejawaan? Apakah ia bisa berupa identitas yang dikenakan secara longgar? Bisakah, misalnya, orang Australia yang menulis masalah-masalah Aborigin dengan bahasa Jawa dianggap telah menghasilkan sastra Jawa?

Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi jika kita bersepakat dengan Ki Suryomentaraman (mulur mungkret), James Baldwin, (mengenakan identitas secara longgar) atau Kristeva (menggugat identitas secara terus menerus), maka saya berani mengusulkan kemunculan "sastra Jawa gaul" sebagai ideologi baru penciptaan sastra Jawa. Gaul atau katakanlah mengglobal adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Gaul bukan semata-mata menggunakan bahasa anak-anak muda yang bisa dijinjing ke mal-mal, diungkapkan sebagai yel-yel dalam pertandingan basket, tetapi juga bersentuhan dengan kemasakinian: laptop, dugem, sex toys, dunia virtual, dan lain-lain.

Saya membayangkan dalam sastra Jawa yang gaul akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau bernuansa kejawaan yang kental. Dalam teks mereka, tak lagi muncul lu gue yang sangat mbetawi, tetapi inyong, ingsun, aku, kowe, gedhe, banget, abot, pisan, dan idiom-idiom Jawa yang tak kalah unik.

Bagaimana menyosialisasikan teks-teks semacam itu? Tidak ada cara lain harus menggunakan "jembatan sosiologis" berupa media-media masa kini. Media masa kini itu bisa berupa koran berbahasa Indonesia atau Inggris (dalam perspektif kebahasaan), bisa berupa media televisi, internet, atau radio (dalam perspektif wahana siar). Jembatan semacam itu penting karena ia akan mengajak kita manusia Jawa dalam tanda kutip mengarungi hutan pemaknaan sastra Jawa yang juga berada di dalam tanda kutip. Jika tidak, akan ada jarak penafsiran yang menganga lebar sebab antara kejawaan dan keindonesiaan misalnya terbentang tabrakan tafsir yang luar biasa. Karena itu media massa semacam berbahasa Indonesia yang telah menerbitkan teks-teks sastra Jawa sesungguhnya telah memfungsikan dirinya sebagai jembatan tafsir. Sebuah jembatan yang sangat diperlukan ketika sebuah entitas kebudayaan tak mampu dengan tenaga sendiri menyeberangkan makna kepada komunitas yang sulit disentuh atau dijangkau lagi. Ini bukan pekerjaan gampang. Hanya dengan melakukan dosa kultural, kita akan menentukan kebermaknaan sastra Jawa yang kini terpuruk di kegelapan. []

Sumber: d'Gareng

Sunday, May 2, 2010

Sepinya Penerbit Sastra Jawa

Oleh Tiwiek S.A.*)

SIAPA pun tahu bahwa sastra Jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Hal yang sangat ditakuti (oleh sastrawan Jawa) ini bisa saja terjadi jika orang Jawa sebagai pemilik sah khazanah sastra Jawa semakin tidak peduli. Kalau saya mengatakan sastra Jawa, tidak berarti kehidupan sastra daerah lain (misalnya, sastra Sunda, Bali, dan Batak) lebih baik. Di sini saya khusus membicarakan nasib sastra Jawa karena kebetulan saya adalah orang Jawa yang selama ini menggeluti sastra Jawa.


Sesuai dengan kenyataan, jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta lebih itu sebagian besar adalah orang Jawa. Sehari-hari mereka (kecuali yang sudah tak mengakui kejawaannya) berbicara memakai bahasa Jawa (orang Jawa memang tak perlu malu berbicara menggunakan bahasa Jawa karena dijamin oleh undang-undang). Mengingat orang Jawa masih eksis menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, mestinya di samping memiliki media nasional, tidak berlebihan jika juga ada media lokal berbahasa Jawa dalam jumlah yang memadai.

Namun, kenyataannya, kini tinggal tiga media berbahasa Jawa yang masih hidup. Yakni, Panjebar Semangat dan Jaya Baya (Jawa Pos Group) di Surabaya serta Djaka Lodang di Jogjakarta. Masih mending koran Suara Merdeka (Semarang) dan Solo Pos (Solo) mau melampirkan halaman berbahasa Jawa. Media tersebut setiap terbit pasti menyajikan sajian sastra, yakni berupa crita cekak (cerita pendek) dan crita sambung (cerita bersambung) yang merupakan sajian unggulan dan banyak penggemarnya. Jumlah media yang hanya tiga buah tersebut sangat tidak sebanding dengan jumlah sastrawan yang setia mengisi, yang jumlahnya terus bertambah. Akibatnya, terjadilah antrean naskah yang sangat panjang. Contohnya, untuk bisa dimuat, suatu cerita pendek harus antre minimal tiga bulan. Bahkan, cerita bersambung baru bisa dimuat setelah antre minimal setahun!

Yang mengherankan, meski harus antre lama dan dengan honor yang sangat sedikit, para sastrawan Jawa tidak kapok. Mereka tetap saja setia mengisi dan belum punya niat beralih profesi (misalnya, beralih ke sastra Indonesia). Eksistensi dan idealisme para sastrawan Jawa itu patut diacungi jempol.

Belakangan, beberapa sastrawan berusaha membuat terobosan baru. Yakni, menerbitkan karya mereka menjadi buku. Usaha itu dilakukan setelah Yayasan Rancage pimpinan Ayip Rosidi memberikan penghargaan terhadap karya sastra Jawa terbaik yang berbentuk buku. Jumlah hadiah yang disediakan (sejak kali pertama didirikan hingga sekarang) Rp 5 juta. Memang tidak seberapa. Namun, itu cukup memacu para sastrawan untuk terus berkarya dan menerbitkannya menjadi buku.

Yang menjadi permasalahan sekarang, ternyata tidak gampang mencari penerbit yang mau menerbitkan buku sastra Jawa. Alasannya, buku sastra Jawa tidak laku dijual! Namun, mereka tidak putus asa. Dengan dimotori Suparto Brata, mereka menerbitkan naskahnya dengan biaya sendiri. Untuk naskah setebal 100 halaman dengan jumlah 250 eksemplar, si pengarang harus merogoh kantong paling sedikit Rp 3 juta. Seandainya buku tersebut menang dalam seleksi Rancage, memang masih untung. Tetapi jika tidak menang, terpaksa memasarkan sendiri. Berbagai cara dilakukan. Misalnya, memasang iklan di media berbahasa Jawa. Atau yang paling gampang (dan ditanggung pasti laku), dipasarkan di acara seminar tentang bahasa dan sastra Jawa. Biasanya, peserta seminar tidak keberatan membeli meski hanya sekadar untuk oleh-oleh. (*)

*) Tiwiek S.A., penggiat sastra Jawa dan pengelola Sanggar Sastra Triwida Tulungagung

Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010

Geguritane : Hardho Sayoko SPB

BUBAR KENDUREN

Sing melu baris tibane mung bisa mringis
ora perduli adus kringet nganti lali ngetung dina
sak wise larikan takir neng tampah ngebeki pawuhan
lan sing ngujubake ora isin ngelapi lambe karo taplak meja
jenang sengkala jare kanggo tulak balak sing bakal teka
la nek jenang grendul sapa sing bisa jlentrehake kanthi cetha?


Sing nyebar mawar neng prapatan kerep slenca
gandane menyan sing kobong wis ora katutan donga
mula aja nggrundel nek dhemit lan thethekan sing padha mara
sak wise leluhur sing sumare wis ora ana sing nulat olehe rekasa
babat alas bebondhotan kanggo anak putu sing isih dadi kama

Sing ora melu baris tibane malah nemu linggis
ora perduli karo sing adus kringet lan nyumbang tenaga
ora maelu larikan takir neng tampah durung diringkesi
malah melu rebutan binat karo sing ujub-ujub neng pendhapa
jenang sengkala jare kanggo tulak balak sing bakal teka
la roti bolu karo hamburger gek sapa sing bisa menehi makna?

Kedunggalar, 2006/2008

Saturday, May 1, 2010

Tulisan kang Dadi Underaning Prekara (Panjebar Semangat, No 18, April 2010) Dikantheni Komentare Bonari

Markus Basa Jawa, Sumono Gugat


NARKO:
RONG TAUN kepungkur, pase tanggal 5 April, wis parak esuk, aku lagi wae mulih sak ndeleng wayang kulit neng Blitar, jam wis nuduhke angka 02.20. Lagi wae metu saka jedhing, jam 02.32 hape muni nuduhke anane SMS. Takkira yen kanca ndeleng wayang mau ngabari ana barang sing keri neng ’’grobag jepang’’-ku. Jebul SMS saka Bojonegoro (mas JFX Hoery) unine, ’’Sumono arep gugat KSJ, beneran dadi lantaran ngucek-ucek KBJ. Siap-siap tanggapan ya! Kelik.’’


BONARI:
Ora ana kang prelu dikoemntari.

NARKO:
SMS mau pancen sengaja taksimpen nganti saiki. Nalika Mas Hoery taktlesih apa bener SMS mau saka dhik Kelik, mas Hoery ngyakinake, ’’Iya’’. Piye tanggapane sawise maca SMS kuwi, bose PSJB iki ngakon supaya takon Sumono dhewe. Tanpa ngenteni padhange srengenge, langsung Dhik Mono taktakoni bab rencana gugate kuwi. Jam 02.45 jawaban saka dhik Mono, ’’Aku mau bengi pancen SMS ngono neng pak Kelik, Bos (dheweke pancen warga Triwida sing takpimpin, biyasa ngundang aku ’bos’), tapi kabeh kan durung ngerti apa karepku. Pean (karepe Sampeyan) oleh SMS saka sapa?’’

BONARI:
Ora ana sing prelu dikomentari.

NARKO:
Iya mesthi wae takjawab yen olehku saka Mas Hoery, sing oleh SMS saka dhik Kelik. Jam 03.00 SMS-e dhik Mono nerangake dawa benget, tanpa singkatan kaya umume SMS kae, ’’Bos, aku seneng nek ana wong sing gelem mikir nasibe sastra, tapi nek kosok baline ethok-ethok mikir sastra Jawa jebul mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe aku ora trima. Sastra Jawa mung dianggo ajang kasus, kaya polahe selibritis sing surut pamore ben terkenal maneh. Manut petungku sasuwene iki KBJ – KSJ padha, mung kanggo mbukak kasus beberapa gelintir wong supaya ketok duwe pamor maneh, sawetara iku sastra Jawane tetep mbegegeg ora ana sing gelem ngobah-obah.’’

BONARI:
[1] Kasus apa kuwi?
[2] Saka ngendi sangkane dudutan: ’’ sastra Jawane tetep mbegegeg ora ana sing gelem ngobah-obah?’’



NARKO:

Emane nganti titi panulise cathetanku iki kapacak, ’gugate’ Sumono mau durung kababar. Dudu perkara kababar apa durung, (sewulan candhake wis dadi rembug umyeg ing sapatemon sanggar Triwida, sasi Mei 2008) sing baku piye nalare dhik Mono nganti arep ’gugat’ lan ’sapa markuse’. Ing ukarane dhik Mono mau sejatine ana babagan sing pancen narik kawigaten, kudu dianalisa kanthi nalar kang wening. Saora-orane tumrap kita kang pancen (jare) padha gumregut amarsudi basa lan sastra Jawa murih mbalik ing jaman kuncara rukmi.

Ukarane dhik Mono mau antara liya, 1) ana wong sing gelem mikir nasibe sastra, tapi nek kosok baline ethok-ethok mikir sastra Jawa jebul mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe, 2) Sastra Jawa mung dianggo ajang kasus, 3) Sasuwene iki KBJ – KSJ padha, lan kaping 4) Sastra Jawane tetep mbegegeg ora ana sing gelem ngobah-obah.

BONARI:

Delengen nomer 1 kuwi! Lho, yen paraga kang didumuk kuwi isih ’’mikir’’ kok wis didakwa ethok-ethok tur wis diarani yen motivasine mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe?

NARKO:

Kanggo ngonceki ukara nomor (1) mau kudu merlokake spionase, telik sandi, intele kasusastran Jawa. Sajake dhik Mono wis nampa tandha-tandha anane babagan kang kurang (apa ora) beres ing jagading susastra Jawa, utamane ing paragane. Lha, banjur sapa sing patut dicubriyani? Sapa sejatine paraga kang ethok-ethok mikir sastra Jawa jebul mung kanggo ngumbulake jenenge kaya selebiritis sing wis surut pamore? Sapa pawongan kuwi? Saking semangate nganti dhik Kelik ajak-ajak Mas Hoery supaya siyaga ing gati, sawega ing kardi aweh tanggapan. Kaget sanalika sang baureksa PSJB. Saka Bojonegoro nuli nglayangaken warta tumujweng sanggar Triwida ing Tulungagung. Apa mas Hoery uga ngirim menyang kanca liyane ora mudheng? Krana dhik Mono kuwi wargane Triwida (sanggar sing akeh anggota wargane) Mas Hoery kira-kira banjur nduweni panduga yen niyat ’gugate’ Sumono kuwi ’sepengetahuan’ Triwida utawa wong Triwida pancen ora ngerti? Yen sing ’dicurigai’ dhik Mono mau pancen ana tenan, sajake kok kaniaya temen ana wong Jawa duwe trekah kurang becik. Wedhus prucul alulang macan, supaya duwe pamor ing donyane kewan alas. Yen kober nyilih siyunge celeng supaya duwe siyung maneh?

BONARI:
Tekan kene isih durung cetha, satemene sapa sing ’dicurigai’ kuwi.


NARKO:
Angka (2) sastra Jawa mung dianggo ajang kasus, isih sambung rapet karo angka (1).

BONARI:
Ajang kasus? Kuwi apa sing dikarepke?


NARKO:
Lha iki sing kudu dipetani maneh, sapa sing saiki pamore wis mlorot banjur ada-ada gawe ’kasus’ , supaya ditanggapi, dadi polemik rame ing majalah (ora mungkin neng Tv, sebab sastra Jawa ora payu didol neng Tv). Jenenge wis suwe kasilep jamane Century, kagerus ulegane Gayus, kepingin diungkit-ungkit maneh. Iya yen ana sing nanggapi, yen ora? Utawa ada-ada gawe kajatan sing ’’berbau sastra Jawa’’ mapan ing panggonan sing ora tau kambon sastra Jawa. Jebule mung dadi makelare basa (sastra) Jawa.

BONARI:

Sok sapaa kang rada tlaten njingglengi pekabaran ngenani kegiyatan Sastra Jawa mesthi bakal enggal dhamang menawa paraga markus kang dikarepake ing tulisane Kang Narko iku ora liya Bonari Nabonenar, kang ing tanggal 4 – 5 Agustus 2009 wingi gawe ada-ada nggelar Festival Sastra Jawa dan Desa, ing papan kang pancen diakoni ’’sangat terpencil’’ dening kang padha rawuh saka Jakarta, Yogya, Semarang, Banyuwangi, lan liya-liyane, yakuwi Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek (saget kawaos ing: http://ppsjs.blogspot.com/2009/10/penulis-sastra-jawa-ngumpul-ing.html).
Utawa, sapa sing satemene dikarepake, yen dudu Bonari?


NARKO:

Banjur angka (3) sasuwene iki KBJ lan KSJ padha. Apa sing dikarepake tembung ’padha’ ing antarane kongres kalorone mau? Jebul sing padha kuwi ancas tujuwane yaiku mung kanggo mbukaki cathethan lawas, pamrihe supaya ’segelintir wong’ kuwi bisa moncer maneh. Merga saka sengkud gumregude ngadani KBJ lan KSJ. Dadi pendhekare kongres! Jenenge mumbul (embuh entuk bathi material apa ora?) ora mikiri kongres sing wragade yutan mau tumanja apa ora? Asil keputusane ana tindak-lanjute napa mboten? Ditanggapi positif lan karya nyata saka pemerintah daerah apa ora? Sastrawane piye? Budayawan Jawa pripun? Ing kene dhik Mono isa mbedakake sing sapa oleh jeneng lan sapa sing oleh jenang! Lan, sapa sing kapiran-kapirun? Bubar kongres kahanane sastra Jawa panggah (4) isih mbegegeg kaya tugu sinukarta, ora ana sing nyenggol, ora ana sing nggepok. Aja maneh kok wong ’njaba’, wong sing tau oleh jeneng lan jenang saka pokal gawene gawe ’kasus’ wae wis ora ngreken! Makelar kasus basa (klebu sastra) Jawa wis mlayu sipat kuping menyang Negara embuh!

BONARI:
Ing endi dununge luput yen ana paraga golek jeneng lan/utawa golek jenang? Utawa, yen diarani golek jeneng lan/utawa jenang kanthi nganiaya liyan apa kuwi bleger manungsa utawa bleger basa/sastra Jawa, nganiaya sing kayangapa?

NARKO:
Lha apa KBJ kaping 5 kang bakal kagelar ing Jawa Wetan taun 2011 mbesuk isih padha kaya dudutane dhik Mono lan sawenehing sastrawan sarta budayawan Jawa, tegese mung pinter ada-ada gawe ’kasus’ kanggo ngundhakake pamore dhiri pribadhi ’’sang pendhekar’’? Apa dadi ’’raja alas’’ iki.

Macan loreng/nggereng mrojol saka krangkeng/mlaku turut dalan sudhetan/nggoleki watu gilang/papan lungguhe sing ilang/nalika banjir bandhang//macan loreng/mung bisa mlenggong/weruh kanca-kancane ganti sandhangan/ supaya ora ditumbak wong mbebedhag/sing butuh buron alasan//macan loreng/kelangan crita, kelangan dongeng/senajan untune wis ompong/nanging sing ngati-ati, mitra/lambene isih ngemu wisa//. (Layang Panantang : 44).

BONARI:
Iki bageyane ’KBJ’

NARKO:
Sapa sing disengguh macan ompong sing isih mbebayani?
Niyate dhik Mono pancen apik, yen ora (durung) kasil nggugat, sejatine dheweke wis gawe Layang Panantang antologi sing kasil nggawa dheweke entuk hadiah Rancage taun 2010 bidhang sastra bebarengan karo sedulur Bonari Nabonenar ing bidhang jasa pembinaan basa. Kekarone saka sanggar Triwida Tulungagung (sanajan Bonari Nabonenar saiki wis dadi ketua PPSJS, Paguyuban Pengarang Sastrawan Jawa Surabaya).

BONARI:
Bedane, Layang Panantang-e Sumono ora blaka ndumuk anane Markus ing basa/sastra Jawa, dene liwat andharane iki kang Narko ketok le ’’tendensius’’ banget. Kok saupama ora ana racikaning ukara iki: ’’…ada-ada gawe kajatan sing ’’berbau sastra Jawa’’ mapan ing panggonan sing ora tau kambon sastra Jawa. Jebule mung dadi makelare basa (sastra) Jawa,’’ mesthi ora konangan yen sing diarah satemene: Bonari.

NARKO:
Ngrembug lan nggepok senggol sastra Jawa pancen kebak resiko, ora mung omong thok, nanging cucul dana kanggo ’’nguripi’’ sastra Jawa kuwi perlu. Aku sarujuk panemune dhik Mono yen lelumban ing jagading kasusastran (Jawa) aja cilik ati. Yen saiki durung akeh wong sing aweh kawigaten mareng donyane kasusastran, ora ateges kasusastran mono remeh, babar pisan ora. Nanging malah tiba kosokbalen, karya sastra wis dadi sawijining barang mewah, sing ora saben wong bisa menikmati, apa maneh nganti nduweni. Wiwit dina iki wis ora perlu ngresula, sambat, wadul, kanthi swara trenyuh sinambi netesake luh perkara donyane kasusastran, sing jarene kasingsal ing sampiraning jaman.

BONARI:
Isih aluwung ngresula utawa sambat tinimbang nyebar pitenah.

NARKO:
Sepisan maneh, pokok aja nganti mung dianggo ngumbulake jenenge dhewe kanthi pawadan ngopeni sastra Jawa. Bubar entuk jeneng lan jenang banjur jenat. Satemene dadi makelar ora mung pawitan ilat, nanging ati lan mripat minangka gendhewaning tekad.
Nuwun. []


BONARI:
Aku uga takon: mengko gek sing ggethu nulis crita cekak utawa novel kuwi ya luwih murih kombule jenenge dhewe?


PANUTUP:
Yen Sumono konsisten karo kandhane liwat SMS, manawa dheweke mung pengin gawe rame-ne sastra Jawa lan kangen acara Pengadilan Sastra Jawa kaya kang wus nate kagelar sawatara taun kepungkur, takenteni uleme, aku siap dadi terdakwa, utawa yen wegah diarani fitnah, becike artikel kang kebak ’’asumsi’ lan pandakwa-pandakwa mlompong tanpa wewaton kuwi enggal diklarifikasi. Utawa padha pengin nuhoni unen-unen, ’’Wani silit wedi rai!’’


Malang, 1 Mei 2010