Surabaya : Keberadaan sastra jawa seringmenjadi perdebatan, terutama masalah eksistensi dan media yang menaunginya. Selain itu perdebatan juga masalah generasi penerus untuk 'melestarikan'sastrajawa. Berkenaan dengan itu Widodo Basuki, pengurit sastra jawa yang baru saja mendapat penghargaan seniman Jawa Timur, menyatakan kepada Suara Indonesia, Rabu (13/10), bahwa sastra jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. "Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini," kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000. Menurut Widodo, perjuangan para sastrawan jawa yang masih muda, kurang serius. Bahkan, menurutnya, kehidupan sastra jawa tidak bisa hanya tergantung dengan media saja. Menurutnya, perjuangan secara bawah tanah pun justru bisa menghidupkan sastra jawa. "Ibarat laskar pajang, sayamemperjuangkan sastra jawa tidak melulu lewat media massa, tetapi dengan bentuk antologi yang saya foto kopi saja," kata Widodo.
Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yangmenampung puisi jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi.
Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakankupulan puisi jawanya Layang Saka TlatahWetan (1999). "Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,"tambahnya.
Karena itulah, menurut pria kelahiran Trenggalek 1967 ini,membangkitkan kembali sastra jawa tidak cukup membuat isyu-isyu di koran-koran,seakan-akan sastra jawa sedang kritis. "Setelah melempar isyu, apa yangdikerjakan sendiri tidak ada," tambah Widodo.
Widodo menyontohkan, isyu seperti Sastracampurasi, sastramagersaren, Cybersastrajawa, hanya menjadi alat pembodohan saja. Buktinya, menurut Widodo, isyu-isyu itu tak pernah memberikan solusi terhadap perkembangan sastra jawa. "Sastrawan jawa butuh kesadaran pribadi. Tidak terus berapi-api menyerang menyalahkan sana-sini. Bahkan mengutuk sastra Jawa," kataWidodo.
Memang, selama ini yang dilakukan Widodo tidak hanya sekedar mengeluh, tetapi dengan terus berusaha membuat buku agar puisi-puisi jawanyadibaca. Sejak tahun 1993, Widodo sudah mencetak antologi puisi jawanya, seperti Gurit Panantang (1993), Layang Saka Tlatah Wetan (1999), Kitir Tengah Wengi (2001),dan Meditasi Alang-alang (2004). Selain itu, puisi-puisinya juga diterbitkandengan difotokopi dan juga diterbitkan secara bersama. "Saya kira kita tidakboleh takluk oleh media. Membukukan karya-karya sendiri justru memiliki artisejarah," kata suami dari Sri Sulistiani.
Sementara itu, Widodo juga menyoroti keberadaan para sastrawan jawa yang sudah tua. Widodo menyontohkan, Suparto Broto, masih asik dengan dirinya sendiri dan kurang mau membentuk komunitas. Barangkali, menurut Widodo, Suparto Broto yang sudah tua itu berusaha secara pribadi, dengan begitu cukup bisa ditiru oleh generasi penerusanya. "Masalah generasi penerus, selama ini saya masih melihat Sumono Sandy Asmoro yang sudah mulai kelihatan," tandas Widodo. n gir
(Suara Indonesia, 14 Oktober 2004)
--saka kaca pesbuk-e Giryadi
http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/rakhmat-giryadi/widodo-basukisastra-jawa-jangan-hanya-dikutuk-suara-indonesia-14-oktober-2004/419530861610
nggalek.co
9 years ago






0 comments:
Post a Comment