Tuesday, January 17, 2012

Mengkader Jawa Secara Nyata!

Sebuah catatan dari Festival Drama Berbahasa Jawa 2011



Oleh Dhoni Zustiyantoro

“Aku ora ngurus kowe arep nglakoni karo sapa wae, nanging aja karo Narti! Narti kuwi anakku! Dharah dagingku! Matamu wis picek nganti ora ngerti anakmu dhewe?!!”

Itu diucapkan Ibu kepada Bapak dalam lakon Sunarti. Dikisahkan, sang Bapak mencintai anak kandungnya sendiri, Sunarti. Hal itu karena Bapak tak pernah dianggap oleh Ibu. Terlebih sang bapak memang tak punya pekerjaan. Tafsir lain, ataukah Bapak hanya ingin mencoba lari dari masalah sosial yang terlalu menghimpit.


Konflik itu disajikan apik. Pemainnya pun tak banyak, hanya 4 orang. Mereka menyajikan dengan sebenarnya. Apalagi drama itu menggunakan bahasa Jawa, bahasa yang hampir menjadi bahasa asing bagi remaja usia mereka, terlebih di perkotaan. Tak sia-sia, hasil kerja keras SMA PMS Kendal itu berbuah juara harapan I.

Saya kemudian berpikir. Untuk menyajikan fragmen itu, pastilah sekolah, setidaknya pelatih berusaha dengan keras. Mengajarkan kedisiplinan, tanggung jawab, terlebih membenamkan bahasa Jawa ke anak usia mereka, bukanlah hal mudah. Nyatanya mereka berbahasa Jawa dengan lancar, walau nampak masih kurang dapat membedakan beberapa pelafalan, yang juga dialami kelompok lain, misalnya dha dan da, tha dan ta.

Festival drama berbahasa Jawa yang menjadi perhelatan tahunan Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Sabtu dan Minggu (17-18/12), menjadi ajang adu gengsi untuk SMA atau sederajat. Betapa tidak, (hanya) 13 sekolah berani tampil, membabar hasil pendadaran kilat, meramu sajian dengan balutan melestarikan bahasa Jawa.

Meskipun di sisi lain, nampak kekosongan dan kekurangan di sana-sini, hal itu tak mengurangi semangat para penampil. Sebut saja, SMA 2 Ungaran sebagai penampil pertama. Menyajikan drama satu babak Rujit, sekolah ini nampak kurang persiapan. Pengiring sebagai pendukung sajian, cenderung lebih dominan dari drama yang harusnya ia iringi. Kisah sedih dan nglangut yang mencoba disajikan sepanjang pementasan, kurang bisa dirasakan penonton. Hal yang tak perlu dipermasalahkan.

Belum lagi SMA 1 Boja Kendal yang menyuguhkan drama Nembus Wates, lebih terkesan sebuah curahan hati sang pelatih. Dalam drama itu, siswa menyajikan fragmen latihan mereka, atau mungkin bisa diberi judul lain: Melu Festival Drama Basa Jawa. Dikisahkan, sekolah punya rencana untuk mengikuti lomba drama, namun tak disetujui oleh pihak sekolah dari sisi pembiayaan, dalam hal ini mungkin kepala sekolah. Kemudian dengan perjuangan dan kedisiplinan, sekolah itu mengikuti lomba. Ada hal yang spesial?

Penampil lain, SMA 1 Ambarawa yang mencoba memamerkan potensi sekolah dengan Gumregut Nom-noman Padesan. Berlatarkan sanggar seni, nyaris tak ada hal menonjol apalagi konflik dalam drama ini. Pemain berlatih di sebuah sanggar Jawa. Drama disajikan dengan aman, penonton dipameri macapat, tari, dan geguritan. Pada puncaknya, mereka menari bersama, closing.

Minggu malam, SMA 7 Surakarta menutup festival dengan agak memukau. Menyajikan Sumiliring Angin Sapinggiring Kreteg, beberapa siswa tampil maksimal dengan iringan yang nampak menyatu dengan adegan. Sang sutradara, Didik Panji begitu apik menjejalkan isu-isu sosial kedalam pengadeganan. Berseting angkringan -sebuah tempat yang menjual nasi kucing dan minuman hangat- drama ini nampak lebih siap tampil. Tata lampu yang mumpuni, mendukung sajian hingga paripurna. Penonton dibuat tak terlalu serius. Kemaksimalan ini membuat juri berpihak. Gelar juara I pun disematkan.

Masing-masing sekolah dengan latar belakang dialek bahasa Jawa masing-masing, membawakan drama dengan tetap mengusung lokalitas itu. Sebut saja SMA 1 Klirong Kebumen, menampilkan drama Wek-wek yang lebih terasa sebagai sebuah teater. Secara dominan, drama ini disajikan dengan dialog ngapak dan adegan yang abstrak sehingga memaksa penonton untuk berpikir ulang. Kemudian, salah satu juri, Sosiawan Leak yang mencoba memetakan drama Indonesia dan Jawa, menyebut adegan realis seperti itu sebagai sebuah perkembangan.

Selain itu, sebelumnya, MA Salafiyah Kajen Pati menyuguhkan Yen. Dalam dialognya, pemeran acapkali berkata piye leh, nong endi, atau rak ngono a. Sebuah kemesraan lokal berbalut iringan beberapa instrumen gamelan, yang harusnya bisa lebih maksimal bila menggunakan teknik menabuh yang benar secara tradisi.

Sosiawan Leak juga mengemukakan, sajian drama oleh pemenang tahun ini cenderung meningkat dari sisi kualitas. Namun, secara umum, dari keseluruhan penyaji terjadi penurunan kualitas. Menurutnya, perlu diadakan pelatihan atau workshop tentang penyutradaraan untuk mengatasi hal itu.

Siapa pun tak akan menjustifikasi buruk pada anak-anak yang telah sengkut gumregut makarya itu, apapun hasilnya. Dengan segala persiapan masing-masing, mereka tampil dengan kesungguhan. Didampingi pelatih, kebersamaan itu semakin nyata. Mereka belajar kesenian, mengolah rasa, berbalut Jawa yang juga mesra.

Kini, tinggal para penyelenggara atau siapa pun, bahu-membahu mengemas ragam pengkaderan itu dengan senyatanya. Merealisasikan upaya untuk membina generasi muda Jawa. Terlebih, membenamkan ‘rasa Jawa’, yang siapa pun merasa khawatir pada nasib kedepannya. Tak hanya berhenti pada meja-meja seminar, tumpukan proposal berisikan permintaan dana jutaan rupiah, atau juga mung modhal abab, kegedhen cagak kurang empyak.

---Dhoni Zustiyantoro, alumnus bahasa dan sastra Jawa FBS Unnes

0 comments: