Dhanu Priyo Prabowo
Bahasa Jawa sebagai mayoritas dari salah satu suku orang di Indonesia sampai saat ini. Menurut catatan jumla penutur bahasa Jawa saat ini 70 juta orang lebih. Tidak aneh kalau orang Jawa masih tetap antusias untuk mempertahankan keberadaannya. Kongres Bahasa Jawa V 2011 di Surabaya adalah salah satu perwujudan upaya pemertahanan itu.
Kongres yang diikuti oleh 500 peserta dari berbagai tempat di Indonesia dan luar negeri itu (Surinama, Australia, Belanda) diselenggarakan secara “gedhen”, karena penyelenggaraannya di hotel bintang lima JW Marriot Surabaya. Dari daftar pemakalah dan jawad presentasi, KBJ V tampaknya masih memiliki sisi yang agak sama dengan KBJ sebelumnya: parada makalah. Berbabagai bidang yang dibahas, terutama tentang keberlanjutan dan implikasi dari kongres bagi keberlanjutan bahasa Jawa.
Terlepas dari itu semua, bahasa Jawa memang perlu men dapatkan perhatian yang serius dan berkesinambungan. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga dari masyarakat pengguna bahasa Jawa itu sendiri. Perhatian pemerintah terhadap bahasa Jawa, sebagai bahasa Ibu, tidak dapat dilepaskan dalam perjalanan bangsa ini. Tanpa kehadirannya, apa yang diinginkan oleh masyarakat tentu akan sulit terlaksa.
Campur tangan dan peran serta pemerintah sangatlah penting karena political will pemerintah akan memberikan suatu gambaran bagi masyarakat tentang apa yang sebenarnya direncanakan dan diharapkan atasa nasib dan perjalanan bahasa Jawa. Persoalan ini perlu disampaikan karena program pendidikan bahasa Jawa di sekolah-sekolah tampaknya kurang memberikan suatu hasil yang menggembirakan. Ambil saja untuk masalah penyediaan buku pengajaran bahasa Jawa di sekolah. Sekarang ini, dengan adanya kebebasan bagi setiap sekolah (dan guru) untuk membuat buku pelajaran bagi siswanya, seakan-akan tidak ada lagi koordinasi yang konprehensif bagaimana membuat buku pelajaran bahasa Jawa yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dalam suatu kesempatan, penulis membuka buku buku KTSP kelas II milik anak penulis.
Melihat penampilannya, buku itu lumayan baik. Namun, setelah melihat ke dalam materinya, penulis merasakan ada sesuatu yang menyedihkan. Ada banyak kesalahan ketik dari kata-kata dan istilah bahasa Jawa yang dipergunakan di dalam buku itu. Bagi penulis yang sudah lama belajar bahasa Jawa, persoalan itu dapatlah diataasi dengan mudah dan tahu bagaimana meralatnya. Akan tetapi, bagi anak penulis yang masih duduk di kelas I SMP, kesalahan itu tiada solusinya dan tiada tahu apakah ketikakan kata-kata dan istilah itu keliru atau benar. Yang dihadapinya dianggap sebagai kebenaran semua.
Untunglah, penulis sedikit-sedikit pernah belajar tentang bahasa dan sastra Jawa sehingga dapat segera memberitahu dan meralat kesalahan itu. Tetapi, apa yang terjadi jika buku semacam itu diterima oleh siswa yang orang tuanya tidak memperhatikan atau tidak punya waktu untuk memberikan ralat ataas kesalahan yang ada. Pendek kata, kesalahan itu akan dianggap sebagai kebenaran. Pada hal, kalau kita bandingkan dengan buku-buku pelajaran bahasa Jawa yang pernah terbit jauh sebelum ini, tahun sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1970-an, kesalahan ketik atas kata maupun istilah di dalam buku pelajaran bolerh dikatakan tidak ada. Lebih-lebih ketika sebelum merdeka.
Koreksi ketat dan terarah atas an naskah buku pelajaran bahasa Jawa menjadi sarat utama untuk diterbitkannya buku pelajaran itu (tentu saja juga tidak lepas kualitas dan kontekstualisasinya). Melalui cara seperti itu, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah akan jauh lebih efektif, terarah, dan dapat dipertanggungjawabnkan bagi para siswa sekolah. Buku-buku pelajaran karya M. Samoed Sastrowardoyo berjudul Patjitan Jilid I dan II (terbit tahun 1930-an), sampai sekarang masih terasa melegakan dan membukakan mata batin dan pikiran kita jika ingin belajar bahasa Jawa. Buku pelajaran bahasa Jawa itu, di samping memberikan kemampuan bagi siswa dalam belajar bahasa Jawa, juga memberikan suatu sentuhan historis bagi setiap siswa yang memakainya sebagai alat belajkar, karena isinya diberi ilustrasi yang sangat “njawani” (menampilkan suasana batin Jawa).
Kemampuan buku pelajaran seperti karya M. Samoed Sastrowardojo itu sekartang boleh dikatan tidak ada lagi. Yang bisa ditemukan adalah buku-buku pelajaran yang kesannya sangat tergesa-gesa untuk segera terbit tanpa persiapan penyuntingan yang rapi dan sungguh-sungguh. Untuk menjawab masalah itu, barangkali memang perlu dilakukan penelitian yang mendalam sehingga pengadaan buku pelajaran bagi siswa tidak terkesan asal jadi dan tidak memberikan kesan mendalam bagi siswa yang menggunakannya.
Sebenarnya masih ada buku-buku pelajaran bahasa Jawa pada masa lalu yang perlu dicermati dan dibiocarakan sebagai contoh pembanding ataskenyataan kurang menggembirakannya kondisi buku pengajaran bahasa Jawa di sekolah pada masa kini. Akan tetapi, ada kondisi lain yang mendukung munculnya buku-buku pelajaran bahasa Jawa pada saat ini seperti I itu: lahirnya para sarjana pendidikan bahasa dan sastra Jawa atau sarjana ilmu murni bahasa Jawa yang tidak kredibel.
Mereka belajar di perguruan tinggi tidak semuanya memotivasi ingin menjadi sarjana yang sepenuh hati, artinya: mereka belajar bukan karena ingin menjadi pendidik yang berkualitas dalam hal bahasa Jawa, tetapi lebih mempertimbangkan kuliahnya di perguruan tinggi untuk mengejar gelar sarjana. Masalah muitu menjadi pertimbang berikutnya. Yang utama lulus dan kalau bisa segera mendapatkan pekerjaan sesuai dengan b idangnya. Akibatnya, ketika ia menjadi guru, ia tidak tahu harus mengajar muridnya dengan baik. Kertika ia memperoleh buku pelajaran untuk diajarkan kepada para siswanya, ia tidak pernah memberikan koreksi kritis dan memberikan argumen tentang layak tidaknya buku itu diberikan kepada siswa.
Akibatnya, seperti yang sudah diuraikan di depan, banyak siswa yang akhirnya tidak memperoleh pemahaman yang jelas atas pelajaran yang dihadapinya. Misalnya, dalam pada suatu hari, penulis diberi “sampur” tentang kasus yang menimpa seorang siswa SD. Siswa itu cucu dari teman penulis. Kakek dari siswa itu kemudian menceritakan kepada penulis bahwa guru bahasa Jawa sekarang tidak tahu kata-kata bahasa Jawa dengan benar. Kakek itu menyampaikan bahwa soal yang dikerjakan oleh cucunya dicoret oleh sang guru karena garapannya dianggap salah.
Dalam soal itu, siswa diminta untuk mengramakan bahasa ngoko Ngantuk. Bahasa Jawanya Ngantuk adalah arip. Tetapi, jawaban yang betul dari sang murid itu justru disalahkan oleh si guru. Menurut si guru bahasa kramanya Ngantuk adalah sarip. Pada hal, sarip dalam bahasa Jawa itu berarti entut (kentut). Jawaban si guru jelas sangat melenceng dan jauh dari maksud yang sebenarnya dan tidak ada hubungannya sama sekali. Dan tentu saja sangat konyol, tetapi itu sungguh-sungguh terjadi.
Contoh-contoh di atas memberikan suatu pengetahuan bagi kita bahwa masalah bahasa Jawa memang saling kait-mengait dan masing-masing tidak dapat dilepaskan. Pengajaran bahasa Jawa dapat berlangsung dengan baik pasti tidak mungkin dilepaskan dari peran dan keberadaan pemerintah (institusi terkait) dan masalah sumber daya manusia yang seharusnya bertanggung jawab bagi keberlangsungan bahasa Jawa.
Kongres Bahasa Jawa tentunya juga melihat masalah-masalah itu bukan hanya sekedar sebuah wacana yang indah dibicarakan tetapi “pait” ketika di lapangan (sekolah atau masyarakat). Sudah saatnya bahasa Jawa yang kian rumit menghadapi perkembangan dunia modern seperti saat ini ditempatkan sebagai warisan budaya yang memang benar-benar memberikan arti yang signifikan bagi manusia Indonesia. Itu jika bahasa Jawa benar-benar akan diaktualisasikan.*
Dhanu Priyo Prabowo, Peneliti bahasa dan sastra Balai bahasa Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment