Monday, February 6, 2012

Puber Keduanya Ary Nurdiana

Oleh: Anjrah Lelono Broto *)

Apa yang kita kenal dari kota Ponorogo? Mungkin, kata pertama yang melintas di benak kita adalah kata “Reog”, kata yang menjadi petanda sebuah kesenian tradisional yang sempat diklaim oleh negeri jiran, Malaysia. Namun, bukan reog yang menjadi muawal lawatan penulis ke kota Ponorogo. Sebuah undangan untuk menjadi pembicara dalam agenda “Sarasehan dan Bedah Antologi Cerkak Puber Kedua Karya Ary Nurdiana” (22/01/2012) yang membuat penulis melawat ke kotanya Gunaseca tersebut.
Agenda yang bertempat di Graha Watoe Dhakon STAIN Ponorogo tersebut sedianya merupakan acara ‘lebih kenal-lebih dekat’ dengan figur penulis buku antologi cerkak (cerita cekak) Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak), Ary Nurdiana. Momentum lebih dekat-lebih mengenal sosok kepala sekolah di sebuah sekolah dasar ini tentu akan menjadi jendela untuk mengintip ada apa di balik Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya beliau Selain penulis, pembicara dalam agenda yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al Millah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Ponorogo bekerjasama dengan PPMI Dewan Kota Madiun tersebut adalah Rohmat Joko Prakoso (Dewan Kesenian Jawa Timur, Surabaya), Djayus Pete (Begawan Sastra Jawa, Bojonegoro).



Tentang figur Ary Nurdiana dan Puber Kedua-nya, lalu mengapa menggunakan bahasa Jaw sebagai media karya kreatif beliau, serta latar belakang profesi keguruannya dengan komitmen berkaryanya, satu per satu akan coba penulis paparkan agar kita semua semakin ‘lebih kenal-lebih dekat” Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya.

Ary Nurdiana dan Puber Kedua

Ary Nurdiana adalah seorang pengarang sastra Jawa seangkatan Sumono Sandi Asmoro (Ponorogo), Ismoe Rianto (Surabaya), Ardini Pangastuti (Yogyakarta), dll. Di mata seorang Suparto Brata, Ary Nurdiana adalah figur pengarang sastra Jawa yang berkomitmen kuat pada pilihannya untuk berkarya. Hal ini dibuktikan dengan kesudiannya untuk menulis dari tahun 1980-an hingga sekarang. Dalam endorsemen buku Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak), Suparto Brata menyebut perempuan kelahiran Sidoarjo, 25 November 1963 tersebut sebagai pejuang sastra Jawa yang ulet, yang tidak mudah mengalah, dan pasrah begitu saja meski dari waktu ke waktu eksistensi sastra Jawa menunjukkan grafik yang kurang menggembirakan.

Figur guru berprestasi tingkat Kabupaten Ponorogo tahun 2003 ini mulai menulis di bangku pendidikan menengah pertama. Selain menulis karya-karya fiksi dalam berbahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia, figur yang sarat prestasi baik di tingkat lokal, regional, bahkan nasional ini juga menulis artikel-artikel ilmiah, seperti opini, kajian psikologi, maupun features-features kesenian-kebudayaan dan pendidikan di berbagai media massa, serta jurnal.

Penulis mengenal nama beliau pertama kali melalui karya-karya cerkak-nya (cerpen, terjemahan dalam Bahasa Indonesia) di Mingguan berbahasa Jawa Jaya Baya, dan Panjebar Semangat. Cerkak-cerkaknya biasanya mengangkat tema-tema yang sederhana. Begitu pun bahasa yang digunakan, stilistika bertutur yang naratif mensederhanakan konflik-konflik maupun pesan yang ada dalam karya-karyanya. Tema-konflik seputar mendhem tresna (jatuh cinta), cidrasmara (selingkuh), maupun semplah ati (patah hati) dalam cerkak-cerkak buku Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya sepintas lalu menunjukkan bahwa kesederhanaan pilihan serta tuturan merupakan spirit mendasar kerja kreatif Ary Nurdiana.

Dilatarbelakangi hasrat untuk mendokumentasikan karya-karyanya yang pernah dimuat di media massa, beliau mengumpulkan cerkak-cerkak-nya yang senafas ke dalam satu buku yang kemudian diberi judul Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak). Cerkak-cerkak dalam buku ini secara gamblang menampakkan wajah kejujuran seorang Ary Nurdiana, mengingat karya sastra merupakan representasi kedirian sang pengarang.

Dalam makalah apresiasinya, Rohmat Joko Prakosa mengatakan bahwa beberapa cerkak dalam buku ini memiliki orientasi yang kuat dengan realitas keseharian, yang terikat dengan status sosial, pemikiran Jawa yang “prasaja” (sederhana, pen). Rohmat Joko Prakosa juga menyebut bahwa Ary Nurdiana menjadikan karya sastra sebagai media untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapannya mengenai peristiwa yang diamati-dialaminya. Secara garis besar, bagi Rohmat Joko Prakosa, Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya Ary Nurdiana memuat realitas batin, pengalaman hidup, dan fakta sosial yang telah diubah ke dalam kekaryaan.

Realita Sastra Jawa Hari Ini

Pilihan Ary Nurdiana untuk memilih bahasa Jawa sebagai media curah-kreasi kekaryaannya, menggiring penulis untuk menilik realita kekinian sastra Jawa itu sendiri. Sebagaimana potret dunia sastra, pada umumnya, yang teralienasi (atau bolehlah kalau disebut mengalienasi), Sastra Jawa juga terpuruk dalam kemuraman ini. Lebih-lebih, dunia Sastra Jawa sendiri juga berhadapan dengan realitas kian berkurangnya pengguna Bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari.


Meski Bahasa Jawa merupakan bagian mendasar dalam tata kultural Jawa namun hari ini publik Jawa sendiri juga semakin jauh meninggalkan peri kehidupan dengan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi utamanya. Dalam keluarga masyarakat Jawa, sebagai lingkungan sosial terkecil (keluarga), hari ini kita menjumpai degradasi penggunaan Bahasa Jawa secara marathon. Kalaupun digunakan, tentu saja dengan kesarat-padatan alih kode dan campur kode dari Bahasa Indonesia, bahkan bahasa-bahasa asing, mengingat media massa seperti televisi maupun internet menggunakan bahasa asing sebagai elemen komunikasinya.

Jika sudah begini, dimanakah pula posisi sastra Jawa?

Mengingat karakter mendasar Bahasa Jawa sebagai bahasa komunitas Masyarakat Jawa, Sastra Jawa juga cenderung menjadi milik komunitas-komunitas tertentu, baik komunitas pengarang Sastra Jawa, komunitas sivitas akedemika Bahasa dan Sastra Jawa, maupun komunitas pembaca media berbahasa Jawa.

Di masa lalu, Sastra Jawa menjadi petanda eksistensi Sanggar Triwida-nya almarhum Mbah Tamsir AS. Begitu pun, sosok Sumono Sandy Asmoro, Davit Harijono, maupun Bonari Nabonenar sendiri yang identik dengan sivitas akademika Bahasa dan Sastra Unesa. Menyentuh komunitas pembaca media berbahasa Jawa, hal inilah yang cenderung fluktuatif. Ketika oplah media-media seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, Jawa Anyar, dll menunjukkan peningkatan, dengan sendirinya kuantitas anggota komunitas ini mengalami peningkatan. Akan tetapi ketika sebaliknya, anda sendiri tentu dapat memperkirakan imbasnya.

Ketika Sastra Jawa cenderung menjadi milik komunitas, maka Sastra Jawa pun menjadi makhluk asing dalam masyarakat Jawa sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan peta kultural Bahasa Jawa sendiri yang cenderung beraneka ragam. Adanya entitas Bahasa Jawa Cirebonan, Bahasa Jawa Tegalan, Bahasa Jawa Mataraman, Bahasa Jawa Arek, Bahasa Jawa Pendhalungan, dll membuat sekat-sekat komunitas ini kian tebal dan sulit tertembus. Sesuatu yang menjadi entitas Bahasa Jawa yang lain akan menjadi makhluk asing bagi publik pada entitas Bahasa Jawa lainnya lagi.

Lebih-lebih ketika pegiat sastra Jawa di masing-masing entitas tersebut kemudian ‘menjual’ perbedaan ini. Dengan spirit ‘Njawani Tus’ (Paling Jawa, pen), mereka mengumbar justifikasi dan vonis pada entitas Bahasa Jawa di luar yang dianut-gelutinya. Akibatnya, bukan pemahaman satu sama lain yang berkembang lintas komunitas Sastra Jawa, melainkan bulir-bulir ketidakpahaman yang cenderung menjadi modal konflik demi mengibarkan nama pribadi maupun komunitasnya masing-masing.

Hobby atau kesukaan ‘menjual’ perbedaan ini tak lebih dan tak kurang memang juga disebabkan oleh politik kebudayaan pemerintah kita di era Reformasi yang memisahkan antara pendidikan dan kebudayaan. Akibatnya, identitas kesenian-kebudayaan kita, termasuk di antaranya Sastra Jawa, kehilangan roh tuntunannya dan bergeser menjadi pesta wisata seni-budaya dengan tontonan sebagai motif dasar dan orientasi.

Penempatan kesenian-kebudayaan sebagai bagian Dinas Pariwisata dan Olahraga menjadikan seni-budaya hanya sebagi bagian dari komoditi pariwisata yang membuat banyak pegiat seni, termasuk di antaranya Sastrawan Jawa, menjadi ‘Samar Karana Gebyar’ (tergoda karena tampilannya, pen), meminjam kosakata Bapak Sar Bs yang setia menterjemahkan Buku Journey To The West ke dalam bahasa Jawa dan ditayangkan sebagai cerita bersambung di Panjebar Semangat. Akibatnya, sastra Jawa pun memilih mengalienasikan diri dari publiknya sendiri.

Akan tetapi, kesedian Ary Nurdiana berkarya dengan bahasa Jawa yang pasaran (sederhana, pen), mengangkat tema-konflik yang sederhana, sebelum diakuinya langsung oleh beliau, penulis telah meyakini bahwa aksian kreatif ini tak lebih-tak kurang merupakan pengejawantahan spirit mulianya untuk lebih mendekat ke publik. Dengan kata lain, mengakhiri fenomena teralienasi-mengalienasi. Cerkak-cerkak-nya dalam buku Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya merupakan petanda tak terbiarkan yang menunjukkan kesungguh-sudian Ary Nurdiana untuk lebih mendekati publik, terutama generasi muda.

Guru Menulis Buku

Latar belakang profesi Ary Nurdiana yang penulis paparkan di atas, di satu sisi, juga menarik untuk disimak. Kesungguh-sudian Ary Nurdiana untuk senantiasa berkarya sejak masih duduk di bangku SMP hingga sekarang menjadi guru merupakan fenomena yang menggelitik batin penulis. Dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra di lingkungan lembaga pendidikan, acap kali penulis mendapati keluhan dari bapak-ibu guru pengajar tentang kurang tersedianya media pembelajaran bahasa dan sastra, terutama Bahasa Jawa.

Ketika penulis mendapati keluhan seperti minimnya media pembelajaran menjadi hambatan besar dalam proses pembelajaran sastra di sekolah, penulis acapkali menjawab maka seyogyanya guru menciptakannya sendiri media pembelajaran tersebut. Jawaban penulis yang bersifat wacana semata ini menemukan implementasinya dalam aksian kreatif Ary Nurdiana dengan buku Puber Kedua; Kumpulan Cerita Cekak (Cerkak)-nya. Kesungguh-sudiannya untuk menulis-menerbitkan bukunya merupakan jawaban konkret yang seakan menampar rekan-rekan sejawatnya untuk berhenti mengeluh dan menjawab problematika profesi dan moralitasnya sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih.

Terlebih, yang duduk di depan podium dalam agenda “Sarasehan dan Bedah Antologi Cerkak Puber Kedua Karya Ary Nurdiana” kemarin, yakni penulis, Rohmat Joko Prakosa, Djajus Pete, Ary Nurdiana, dan Arim Kamandaka (moderator), semuanya memiliki latar belakang pendidikan dan profesi sebagai guru. Fenomena guru-guru mengapresiasi rekan guru yang menulis buku merupakan pesan tersurat-tersirat yang menyampai pesan, jika seorang guru berharap anak didiknya akrab dengan kebiasaan membaca buku, maka guru pun harus lebih dulu akrab dengan kebiasaan tersebut. Syukur bage (lebih afdhal lagi, pen) jika guru juga akrab dengan kebiasaan menulis, salah satunya buku.


Semoga, Puber Kedua-nya Ary Nurdiana mampu membuat kita kembali merefleksikan kesejatian eksistensi dan tanggung jawab, baik kepada Tuhan, diri kita sendiri, dan orang-orang yang kita cintai.

*) Anjrah Lelono Broto, Anggota Komite Sastra Dekajo.
--artikel ini sudah diunggah di Radar Mojokerto
--foto-foto: ANJRAH dan doc. FB: ARY NURDIANA

1 comments:

Nuwun sewu, menawi badhe tumbas "antologi cerkak Puber Kedua" menika caranipun kadospundi nggih?