Monday, August 31, 2009

Mari Kita Terbitkan Hariwarti

Oleh EMMANUEL SUHARJENDRA

Gembira sekali. Itulah rasa hati ini ketika membaca tulisan Saudara Manaf Maulana, generasi muda pencinta bahasa Jawa, di Kompas berjudul "Rindu Koran Berbahasa Jawa". Sejak Kongres Bahasa Jawa I/1991, bahkan sebelumnya, penulis sudah merindukan terbitnya hariwarti, koran berbahasa Jawa. Nah, ternyata kini punya teman, seorang generasi muda dari Grobogan, Jawa Tengah. Penulis bersyukur sekali.


Semoga dambaan tersebut segera terwujud sebelum menjelang Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V/2011. Sebab, bersama Manaf Maulana dan Manaf-Manaf yang lain dan generasi tua dan madya semua tentu tekad menerbitkan hariwarti itu makin kuat dan lekas terwujud.

Pada zaman penjajahan Belanda, ketika bahasa Jawa masih menjadi bahasa pergaulan mayoritas penduduk di Jawa, silih berganti selalu ada hariwarti. Zaman pergerakan kemerdekaan (1908-1945), walau berbahasa Jawa, hariwarti-hariwarti tersebut tidak menyuarakan kedaerahan (Jawa), tetapi nasionalisme (Indonesia).

Zaman kemerdekaan walau makin kecil jumlahnya (hanya ada satu- satu bergantian) masih selalu ada hariwarti. Sejak 1980 hingga sekarang di dunia yang penutur bahasa Jawanya sekitar 90 juta jiwa ini (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Jakarta, Lampung, dan lain-lain, termasuk di Suriname dan Selandia Baru) tidak ada sama sekali satu hariwarti pun. Satu-satunya hariwarti Sunda Sipatahoenan yang terbit sejak 1937 (seusia majalah Jawa Panyebar Semangat yang kini masih hidup) juga gulung tikar sekitar 1980 itu. Sejak itu kita (wong Jawa) memang mendambakan hariwarti. Tahun 1974, M Wonohito mendapat tamu RM Mudjanattistomo (Kepala Balai Bahasa Yogyakarta) dan Ki Karkono Partokusumo (wartawan, budayawan Jawa). M Wonohito mengajak penulis (anak buahnya, kini masih hidup, masih wartawan) menemani menemui tamu-tamu itu.

Pembicaraan seputar menambahkan terbitnya hariwarti. Mumpung ada tokoh (Sudjono Anton Yudoprawiro, mantan Wali Kota Yogyakarta) yang sanggup menyediakan dana. Sudah ada rengrengan, Pemimpin Umum Ki Karkoro, Pemimpin Redaksi Mudjanattistomo diwakili penulis, M Wonohito pembantu ahli. Segera akan diadakan rapat resmi dengan penyandang dana. Tetapi, sampai semua tokoh itu wafat (kecuali penulis), rapat tersebut belum pernah ada.

Lelakon seperti itu berulang berkali-kali, seperti seusai KBJ I/1991 dalam pertemuan di rumah mantan Menteri Penerangan Budihardjo dihadiri Menteri Penerangan Harmoko dan tokoh-tokoh pendamba hariwarti dari Jateng dan DIY, termasuk penulis ikut nguping dan urun rembuk. Sampai para penggagas itu habis belum ada tindak lanjut. Seusai KBJ III/2001 di Yogyakarta di penginapan Esmiet (pengarang Sumitro, Banyuwangi) kelanjutannya idem ditto. Nihil.

Sekarang penggagas muda Manaf Maulana mendamba terbitnya hariwarti tersebut. Penulis menanggapi, mari kita terbitkan hariwarti. Menurut Saudara Manaf, ada dua kendala besar yang bisa menggagalkan dambaan kita ini. Pertama, sumber dananya dari mana? Kedua, ketidaktertarikan wong Jawa sekarang terhadap bahasa sendiri. Tetapi, Saudara Manaf pun mengatakan bukan ngayawara, bukan tidak mungkin.

Jadi, menerbitkan hariwarti itu bagi kita mungkin-mungkin saja, sebab kendala-kendala tersebut tentu dapat diatasi. Sumber dana ditempuh dengan kerja sama antara tiga provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta), daerah-daerah otonom (kabupaten/kota), dan pemodal pencinta bahasa Jawa, dibentuk suatu PT penerbitan hariwarti, dengan manajemen yang terpercaya (terjamin antikorupsi dan manipulasi) tentunya menjadi jaminan keberhasilan.

Tidak tertariknya orang Jawa terhadap bahasa Jawa bisa diberantas dengan kampanye sadar budaya yang kini sudah dibarengi kewajiban mempelajari bahasa dan budaya Jawa sejak TK hingga SMA kiranya tepat jika disusul dengan terbitnya hariwarti.

Pun dengan hadirnya bahasa Jawa tertulis tiap hari lewat harimurti (dan lisan lewat radio dan televisi) tentu penguasaan bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa semakin kental. Dengan hadirnya hariwarti itu, dalam tempo 3-5 tahun, bahasa Jawanya orang Jawa pelanggannya tentu lantas semakin jumawa. Dengan demikian, KBJ V/2011 dan apalagi lagi KBJ VI/2016 tentu sudah 60 persen dan lantas 100 persen menggunakan bahasa Jawa.

Sejak 2003 tiap tahun Pemerintah Provinsi DIY melalui Dinas Kebudayaan menyisihkan anggaran untuk menerbitkan kalawarti (majalah berbahasa Jawa) Sempulur. Disepakati tahap demi tahap majalah "negeri" itu akan dijadikan majalah "swasta" yang akhirnya didambakan untuk menjadi hariwarti. Sekarang baru tahap menjadi majalah "swasta" dwiwulanan yang masih gratis karena dananya masih 100 persen dari Pemprov DIY.

Inikah yang pantas dan kita setujui menjadi embrio hariwarti dambaan itu? Kalau iya, syukurlah, tetapi kalau tidak tentu ada jalan lain yang bisa ditempuh.

Hemat penulis, hariwarti itu laiknya diterbitkan di Yogyakarta. Di sini banyak sumber daya manusia, wartawan-wartawati Jawa, penulis, penerjemah ke bahasa Jawa, pakar bahasa Jawa dari perguruan tinggi, dan lain-lainnya, di antaranya yang pernah kita susun di kalawarti Sempulur-yang mampu menggarap keredaksian hariwarti itu. Kemampuan percetakannya pun ada. Sumber daya manusia yang berpengalaman dan tidak diragukan kecintaannya terhadap bahasa Jawa juga masih banyak.

Sedangkan pelanggan hariwarti tersebut sekian persen (5 persen) dari penutur bahasa Jawa yang jumlahnya 90 juta itu (misalnya 4,5 juta pelanggan), amat cukup memadai untuk menjadikan hariwarti kita ini menjadi hariwarti yang besar dan terkemuka.

Mari kita terbitkan hariwarti. Senyampang matahari pagi ini masih terbit di timur!

--EMMANUEL SUHARJENDRA Wartawan dan Pengajar Bahasa Jawa, Tinggal di Yogyakarta

Kompas Jawa Tengah, Kamis, 10 Mei 2007

Wong Jawa

Oleh Bandung Mawardi

"Siapa saja yang ingin menjadi wong Jawa harus membaca dan menulis." Kalimat dengan pesan imperatif ini disampaikan secara kalem oleh Suparto Brata dalam diskusi Wong Jawa Ilang Jawane di Solo pada 14 Juni 2008. Laku membaca dan menulis diklaim Suparto sebagai pengalaman jadi wong Jawa. Ungkapan relasional tentang wong Jawa dengan tradisi membaca dan menulis memang cukup mencengangkan pada hari ini, ketika sekian orang sibuk mencari definisi, memerkarakan identitas hibrida atau tafsir klise tentang takdir kekuasaan Jawa.


Apakah ciri substantif orang Jawa adalah membaca dan menulis? Pertanyaan ini muncul oleh pengakuan Suparto sebagai pengarang mumpuni dengan puluhan buku sastra dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Afirmasi sebagai wong Jawa terselamatkan dan menjadi produktif ketika orang mau menekuni tradisi membaca dan menulis. Kebenaran memang terkandung dalam ungkapan kalem itu jika publik mau membuka kembali lembaran-lembaran kepustakaan Jawa dari zaman kakawin, babad, serat, kidung, sampai adopsi dan eksplorasi terhadap struktur tulisan modern dari peradaban Timur dan Barat.

--

Peran dan kerja keras P.J. Zoetmulder pantas dijadikan sebagai bukti kesuntukan pujangga Jawa untuk mencatatkan konstruksi wong Jawa dalam arus zaman. Penulisan teks-teks sastra dan sejarah membuat pelacakan terhadap deskripsi dan analisis tentang wong Jawa memiliki jejak dan tanda. Laku para pujangga merepresentasikan nubuat untuk generasi lanjutan mengenai kodrat menemukan biografi historis dan kultural dalam konteks Jawa. Pembacaan terhadap teks-teks lawas tentu jadi mekanisme untuk menghidupkan memori kolektif dengan impresi dan implikasi.

Buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) merupakan buku babon untuk penelusuran teks-teks Jawa dalam dialektika zaman. Zoetmulder telaten mengurusi naskah-naskah Jawa kuno untuk ikhtiar merekonstruksi jagat kultural dan estetika Jawa melalui bahasa tulisan. Naskah tertua diperkirakan muncul pada abad IX dalam bentuk kakawin tentang epos Ramayana. Naskah-naskah kuno menjadi "monumen bahasa" untuk dinikmati dengan laku membaca dan menulis. Monumen bahasa lalu terwariskan dalam tingkat keawetan yang mungkin melebihi candi, rumah, gapura, atau prasasti.

Zoetmulder menghadirkan kepada pembaca daftar panjang tentang laku kreatif pujangga-pujangga Jawa untuk mengungkapkan ide-ide religiusitas, estetika, etika, politik, dan kultural. Pilihan terhadap bahasa tulis membuktikan bahwa tradisi aksara sejak lama hidup dan disemaikan di Jawa sebagai bentuk konsekuensi menggerakkan peradaban. Pengekalan jejak historis dan nubuat dalam naskah adalah pertaruhan diri untuk menjadi manusia. Menulis merepresentasikan kesadaran dan strategi kultural untuk pengukuhan eksistensi dan pengajuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan zaman.

Publik perlu membuka kembali khazanah Jawa dalam naskah Ramayana, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Samardahana, Bhomantaka, Arjunawijaya, Sutasoma, Negarakretagama, Lubdhaka, dan lain-lain. Naskah-naskah kuno itu mengandung informasi fiksionalitas dan fakta mengenai lakon manusia dalam dialektika zaman. Kehadiran naskah tentu membuat ingatan atas sejarah atau identitas biografi kultural menemukan titik sambung pembayangan terhadap asal usul dalam keterpengaruhan peradaban-peradaban besar di tanah Jawa.

Pengaruh peradaban India tampak kentara dalam naskah-naskah Jawa kuno. Perjumpaan peradaban membuat konstruksi identitas tak permanen, tapi inklusif untuk perubahan. Laku para pujangga membuktikan, ada karakter elegan untuk menjalani lakon kultural dalam tegangan otentisitas dan akulturalisme. Jejak panjang pengaruh India terus terasakan sampai hari ini. Pembacaan atas naskah-naskah Jawa kuno tentu mengesankan bahwa ada kemungkinan kerepotan menguraikan ambiguitas wong Jawa dan kerumitan dalam pewarisan identitas kultural Jawa.

--

Orang Jawa hari ini justru dihadapkan pada pilihan tema-tema besar dan kuasa teks dari pelbagai sumber Timur dan Barat. Teks ikut menentukan kehadiran wong Jawa dan proses kehilangan kejawaan melalui negasi dan afirmasi dari progresivitas peradaban global. Pemahaman identitas lokal menjelma sebagai tema pinggiran dan lekas terhapuskan oleh konsensus tentang manusia kosmopolitan. Pengesahan kerepotan merumuskan identitas manusia hari ini kentara ditentukan oleh kuasa teks, permainan tafsir, dan operasionalisasi ideologi teks melalui ranah politik, ekonomi, teknologi, atau seni.

Perkara identitas orang Jawa pada hari ini mengandung dilema dan ambiguitas dalam batas tegangan tradisionalitas dan modernitas. Pengajuan jawab melalui jejak dan tanda tradisi kelisanan tentu tidak menjadi rumusan utuh. Kesadaran atas tradisi pustaka adalah penggenapan untuk membaca ulang dan merumuskan diri kembali sesuai dengan takdir zaman. Kesadaran pustaka justru melemah karena kelengahan dalam menghadapi mode zaman. Fase tulisan seperti diloncati dengan kultur audiovisual untuk penguatan tradisi kelisanan. Barangkali godaan besar ini mengakibatkan wacana wong Jawa ilang Jawane kehilangan jejak referensial melalui teks kultural.

Dokumentasi pustaka sebagai sumber pengetahuan menjadi keniscayaan untuk tak sekadar menerima kodrat normatif. Suparto mengistilahkan sebagai kodrat weruh lan krungu (melihat dan mendengar). Menulis adalah strategi ampuh untuk sadar pengetahuan. Kesadaran ini dibuktikan oleh kerja keras para pujangga Jawa meski dalam fragmen zaman ini kerap terlupakan atau sekadar dijadikan album nostalgia lama tanpa pesan kontekstual. Pesimisme atas peran kepustakaan dalam pewacanaan identitas kultural Jawa perlu diklarifikasi dengan kehadiran data dan tafsir mutakhir.

--

Ikhtiar menghidupkan kerja literer pujangga Jawa pernah dibuktikan oleh Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja dalam buku Kepustakaan Jawa (1952). Buku ini menghadirkan sinopsis atas teks-teks literer Jawa lama dan ulasan pendek. Peran buku ini signifikan untuk pengekalan dan pewacanaan atas tradisi aksara dalam peradaban Jawa. Ensiklopedia naskah Jawa membuktikan, tingkat peradaban dan karakteristik orang Jawa terhadap eksplorasi lakon hidup dalam aksara. Tradisi itu mengalami tragedi ketika zaman berubah dalam kecepatan tinggi dan dijalankan dengan hukum dominasi. Kepustakaan Jawa lalu jadi bab kecil di antara bab-bab besar jagat teks kontemporer.

Ungkapan wong Jawa ilang Jawane mungkin menemukan pembenaran ketika tradisi membaca dan menulis memang diabaikan dan hilang. Kesadaran akan aksara ini mengalami titik kritis ketika kebijakan politik kebudayaan dari negara tidak memberikan akses dan merestui tradisi membaca-menulis. Pemanjaan kultural dalam ideologi konsumsi justru melemahkan kepemilikan identitas kultural Jawa. Menulis bisa jadi subversi untuk tak kalah atau terkooptasi oleh kuasa zaman. Barangkali, untuk menjadi wong Jawa, diperlukan syarat kunci dalam laku membaca dan menulis. Begitukah? (*)

*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo

Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009

Monday, August 24, 2009

Menunggu Perda Bahasa Jawa

Oleh Teguh Supriyanto

(Kompas). Kekhawatiran Prof Ekowardono, Guru Besar Linguistik bidang Morfologi Bahasa Jawa Unnes, terhadap realisasi rekomendasi hasil kongres Bahasa Jawa IV tampaknya ada benarnya. Ternyata rekomendasi dibuatnya peraturan daerah tentang bahasa Jawa dan perda tentang dibentuknya Dewan Bahasa belum terwujud. Kekhawatiran ini muncul karena dalam hitungan minggu, para anggota dewan yang terhormat sudah harus menata diri untuk siap berpindah dari gedung berlian, kecuali yang terpilih kembali. Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2007 yang menelan biaya lebih dari Rp 5 miliar menjadi sia-sia.


Perda mendesak dibutuhkan sebagai payung hukum yang memungkinkan keberlangsungan bahasa, sastra, dan budaya Jawa di era global ini. Padahal, tetangga kita, yaitu Jawa Barat sudah membuat perda bahasa Sunda tahun 2003, bahkan Bali sudah membuat perda mengenai bahasa daerahnya tahun 2002.

Memang, sekarang ini bahasa Jawa sudah diajarkan bukan saja di tingkat sekolah dasar, tetapi juga di sekolah tingkat menengah (SMA/MA/ SMK). Namun, adalah kenyataan bahwa berlangsungnya proses pembelajaran masih belum maksimal. Sekolah dan dinas pendidikan terkesan masih ogah-ogahan. Permasalahan timbul mulai dari kurikulum, buku ajar, siswa, dan guru. Karena materinya sulit, pekerjaan rumah siswa, sebagai contoh, justru dikerjakan oleh orangtua atau kakeknya. Masih banyak guru yang ditugasi mengajar bahasa Jawa bukan berasal dari lulusan pendidikan bahasa Jawa.

Ada beberapa kemungkinan belum dibuatnya rancangan perda. Pertama, mungkin pihak panitia tak melaporkan kepada DPRD. Mereka merasa cukup melapor kepada pihak eksekutif selaku penyelenggara. Kedua, eksekutif tidak melaporkan kepada DPRD atau pihak eksekutif lupa tak merumuskan rancangan perda diberlakukannya bahasa Jawa dan dibentuknya Dewan Bahasa. Ketiga, panitia sudah melapor sebagai bentuk pertanggungjawaban pemakaian anggaran untuk biaya kongres, tetapi dewan belum tanggap terhadap rekomendasi keputusan kongres.

Keempat, baik eksekutif maupun legislatif tidak peduli dengan keberlangsungan bahasa daerah. Jika salah satu dari kemungkinan pertama, kedua, atau ketiga yang terjadi dapatlah dimaklumi karena hubungan kedua lembaga tersebut sering kali sangat birokratis, lama, dan incidental case. Yang mengkhawatirkan adalah jika kemungkinan keempatlah yang terjadi. Sikap masa bodoh menjadi cermin tidak aspiratif terhadap hasil kongres yang dihadiri oleh ribuan peserta yang sangat representatif sebagai perwakilan seluruh lapisan masyarakat.

Jika benar kemungkinan keempat, yaitu sikap masa bodoh yang terjadi, menjadi nyata kekhawatiran Prof Sunardji 15 tahun lalu, bahwa bahasa Jawa sebagai identitas orang Jawa akan mati. Beberapa fakta dapat dijadikan indikator. Rapat setingkat RT sekarang ini saja sudah tak menggunakan bahasa Jawa, meski di Jawa bagian pelosok sekalipun. Bahkan, ujian calon perangkat desa di Danaraja, Kabupaten Banjarnegara, beberapa bulan lalu justru harus lulus bahasa Inggris sebagai salah satu syarat, meskipun desa itu bukan daerah turis.

Fakta lain, peserta kongres dan pemakalah ketika berlangsungnya Kongres Bahasa Jawa, mulai dari yang I-IV umumnya adalah orang yang mengikuti kongres-kongres sebelumnya. Hampir semua peserta berusia di atas 40 tahun, artinya jarang peserta kongres adalah pemuda (bandingkan Kongres Pemuda I dan II yang pesertanya rata-rata berusia 27 tahun).

Para pemakalah umumnya menulis materi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Para kepala daerah yang diundang umumnya tidak hadir dan mewakilkan kepada orang yang tidak kompeten. Oleh karena itu, wajar jika mereka tidak merespons rekomendasi hasil kongres. Beberapa kali mengikuti sarasehan bahasa Jawa yang diadakan Yayasan Kanthil terlihat bahwa para peserta sarasehan kebanyakan para sepuh, berusia di atas 50 tahun.

Bagaimana hasil pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Menurut penelitian Sudi Utami (2008), dilaporkan bahwa pembelajaran bahasa Jawa kurang berhasil. Umumnya 69 persen siswa tidak menguasai materi yang diajarkan. Alih-alih menguasai materi, kemampuan berbahasa Jawa anak sekolah sangat memprihatinkan.

Kondisi bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya di Indonesia yang memprihatinkan dan kurang terurus ini juga disebabkan oleh belum disahkannya RUU Bahasa. RUU Bahasa pernah dibahas dan sarat kepentingan politik sehingga perlu dibahas secara jernih sehingga menguntungkan keberlangsungan bahasa ibu dan bahasa negara, bukan malah memperkuat kedudukan bahasa asing.

Romantisisme \"mat-matan\"

Gambaran sebagaimana terpapar ini menunjukkan bahwa strategi pewarisan, pembelajaran, pelestarian bahasa Jawa perlu dibenahi dengan serius. Kunci dari semua persoalan terletak pada belum adanya payung hukum yang mengikat. Surat Keputusan Gubernur belumlah cukup. Perlu adanya perda bahasa Jawa dan perda dewan bahasa mulai dari perda tingkat I hingga tingkat II yang tugasnya merumuskan serangkaian kebijakan, termasuk perlu tidaknya kongres bahasa.

Perda tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu UUD 1945. Disebutkan bahwa, \"Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Bahasa- bahasa daerah perlu dilestarikan dan dikembangkan&.\" Setelah perda terbentuk, tugas pertama adalah menyusun ulang kurikulum. Capaian setiap jenjang satuan sekolah harus dirumuskan secara jelas. Misalnya, pada tingkat dasar, siswa harus memiliki kompetensi berbicara bahasa Jawa ngoko. Pada jenjang berikutnya, siswa harus mampu berbicara bahasa Jawa ragam kromo (SMP), dan siswa mampu menulis wacana bahasa baik ngoko maupun kromo, serta mampu berbicara bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang baik (SMA).

Strategi pembelajaran masa kolonial, yang menempatkan bahasa kromo diajarkan di tingkat dasar harus berani diubah. Ragam bahasa Jawa perlu disederhanakan menjadi ragam ngoko dan kromo. Ada gejala romantisisme bahasa mat-matan. Oleh karena itu, golongan sepuh perlu mengalah. Kongres dan sarasehan terkesan digunakan sebagai ajang temu kangen. Mereka membahas topik yang berorientasi jadoel sehingga kurang sesuai dengan konteks kekinian. Inilah yang mengukuhkan pendapat bahwa belajar bahasa Jawa menjadi sulit. Akhirnya, kita tunggu kiprah terakhir para anggota dewan dan pihak eksekutif untuk membuat perda. Kita tidak berharap para anggota dewan masa bodoh sehingga kita tidak perlu ikut bersikap sebodo amat dengan mereka pada pemilu yang akan datang.

Teguh Supriyanto Pengajar Ilmu Sastra pada Prodi Sastra Jawa dan Indonesia FBS Unnes Semarang

Kompas 31 Maret 2009

Rindu Koran Berbahasa Jawa

Oleh Manaf Maulana

Setelah memantau Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang tahun lalu, 10-14 September 2006, sejumlah teman mengajak mencoba menerbitkan koran harian atau tabloid mingguan berbahasa Jawa yang beredar di Jawa Tengah dan DIY. Kami memang generasi muda Jawa yang ingin nguri- uri bahasa Jawa agar lebih membumi di daerah sendiri.


Namun, ajakan tersebut belum bisa direalisasikan. Ada sejumlah hal yang menjadi kendala dan harus dikaji dengan cermat agar jika koran atau tabloid berbahasa Jawa bisa diterbitkan tidak cepat-cepat gulung tikar. Misalnya, masalah modal dan dari mana bisa memperolehnya.

Selain itu, ada dua hal lain yang agaknya menjelma menjadi "hantu" yang menakutkan berkaitan dengan ajakan tersebut. Pertama, sejumlah media cetak berbahasa Jawa yang sudah ada dapat dikatakan tidak pernah berkembang menjadi besar, bahkan ada yang gulung tikar.

Dengan kata lain, media-media cetak berbahasa Jawa yang telah lama ada dan masih bertahan hidup bernasib bagaikan bonsai di tengah dunia jurnalistik di Indonesia. Bentuk fisiknya tipis, dengan kualitas cetakan yang kurang mengikuti perkembangan zaman, serta kemampuan membayar honor kepada penulis-penulisnya yang sangat rendah.

Kedua, masyarakat Jawa yang relatif tidak doyan membaca. Hal ini sudah menjadi stigma klise dan telah dirasakan semua media cetak yang terbit di Jawa Tengah dan DIY.

Dan faktanya, ada seorang penulis di Kudus menjadi satu-satunya pelanggan koran di kampungnya, padahal letak kampungnya hanya dua kilometer dari agen koran dan pusat kota Kudus.

Tidak doyan membaca yang disandang masyarakat Jawa sekarang lebih diperparah lagi dengan fenomena perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Misalnya, semua keluarga Jawa lebih suka memperbanyak pesawat televisi dan handphone.

Dengan adanya beberapa pesawat televisi di rumah, akan membuat keluarga Jawa semakin betah menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan televisi. Dan dengan makin banyaknya handphone, akan membuat mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli pulsa.

Dengan adanya kendala-kendala itu, ajakan menerbitkan koran atau tabloid berbahasa Jawa mungkin dapat segera terwujud jika misalnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dan DI Yogyakarta bersedia mendukung sepenuhnya. Misalnya dalam hal permodalan semuanya disediakan, termasuk properti untuk kantor redaksinya.

Selain dukungan modal dari pemprov, diperlukan dukungan masyarakat sebagai pembaca tetap. Misalnya, seluruh jajaran instansi di lingkungan Pemprov Jateng dan DIY diimbau untuk berlangganan tetap.

Imbauan ini tidak perlu mengikat, tetapi juga layak direspons oleh seluruh pegawai dengan kesadaran bersama nguri-uri bahasa Jawa. Layak diungkapkan, betapa bahasa Jawa di banyak daerah seperti Pati, Rembang, Kudus, Jepara, dan daerah-daerah pesisir lainnya telah mengalami krisis. Semakin banyak anak-anak yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik. Padahal, bahasa Jawa mengandung tata krama atau etika pergaulan yang baik dan relevan untuk tetap dikembangkan karena pergaulan global juga memerlukan sopan santun.

Di dalam banyak keluarga maupun di ruang-ruang publik di wilayah pesisir utara Jateng semakin sulit menemukan anak yang mahir berbahasa Jawa. Banyak anak hanya bisa bicara dengan bahasa Jawa ngoko, itu pun dengan intonasi dan artikulasi yang cenderung makin kasar.

Hal ini dapat dimengerti, karena bahasa Jawa ngoko memang identik dengan sikap kasar. Sedangkan bahasa Jawa kromo dan kromo inggil identik dengan sikap lembut (sopan santun). Dan jika bicara dengan bahasa Jawa ngoko saja tidak bisa, maka anak-anak sangat sulit diharapkan bisa berbahasa Jawa kromo atau kromo inggil.

Mengharap Pemprov Jateng dan DIY bersedia mendukung penerbitan media cetak berbahasa Jawa tentu bukan hal yang ngayawara, mengingat Pemprov Jateng sudah mampu menggelar Kongres Bahasa Jawa IV 2006 yang menelan dana miliaran rupiah!

Untuk saat ini, menerbitkan koran atau tabloid berbahasa Jawa layak disebut sebagai langkah paling taktis dan strategis dalam nguri-uri bahasa Jawa karena bisa mengajak banyak masyarakat Jawa untuk terbiasa membaca teks-teks berbahasa Jawa secara rutin setiap hari di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.

Dengan demikian, semua pemerintah kabupaten (pemkab) di Jateng dan DIY layak juga mendukung sepenuhnya dengan mengimbau semua lapisan masyarakat untuk menjadi pelanggan tetap.

Jika pemprov dan seluruh pemkab di Jateng dan DIY sudah mendukung penuh penerbitan koran atau tabloid berbahasa Jawa, tentu kalangan swasta juga akan turut berpartisipasi yang saling menguntungkan.

Cinta (kepada bahasa Jawa) bisa saja akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Tetapi memang akan sangat keterlaluan jika misalnya kerinduan ini hanya akan tinggal menjadi kerinduan saja sampai akhir zaman.

Jika sekarang seluruh sekolah dari SD hingga SLTA telah menjadikan pelajaran bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tetap, maka koran atau tabloid berbahasa Jawa perlu segera diterbitkan agar anak- anak tidak hanya bisa membaca teks-teks bahasa Jawa di buku pelajaran sekolah saja.

Tanpa tersedia koran atau tabloid berbahasa Jawa yang bisa dibaca setiap hari, anak-anak yang belajar bahasa Jawa (di sekolah) sama dengan belajar bahasa asing. Mereka akan tetap tak mahir berbahasa Jawa dan berbahasa asing!

MANAF MAULANA Pemerhati Sosial Budaya Tinggal di Grobogan, Jateng

Kompas Jateng, Selasa, 20 Maret 2007

Friday, August 21, 2009

Sastra Jawa lan stigma ecek-ecek

Ana pandumuk yen sastra Jawa gagrag anyar kuwi mujudake sastra pinggiran, nggambarake urip lan panguripane masarakat padesan. Kosok baline, sastra Indonesia mujudake sastra metropolis kang luwih condhong marang gegambaraning masarakat kutha gedhe. Beda karo sastra Jawa gagrag anyar kang lugu lan rumaket klawan para pamaose, sastra Indonesia nuduhake ciri-ciri individualistis. Gagasan-gagasan jroning sastra Indonesia nuduhake anane idhe-idhe progresif lan sacara estetis nyingkur cakrik konvensional. Kegawa saka daya pangaribawane kabudayan global, sastra(wan) Indonesia (senajan ora kabeh) ngadani eksplorasi anasir-anasir struktur karya sastra.

JJ Ras, ahli sastra Jawa saka Leiden, wis kepara suwe pratela yen langgam padesan jroning sastra Jawa gagrag anyar mau dadi titikan mirunggan kang mbedakake klayan sastra Indonesia. Pratelan kang ngemu surasa positip mau diamini dening SO Robbson (saka Walanda) lan George Quinn (saka Australia). Suprandene ing kalanganing ahli sastra ndalem negara nduweni panemu seje.
Ngenani sastra Jawa gagrag anyar, Prof Budi Darma saka Universitas Negeri Surabaya (Unesa), nate pratela cekak aos, ”Yen katandhingake sastra Indonesia, kaanane sastra Jawa isih keponthal-ponthal.” Dene Prof Sapardi Djoko Damono saka Universitas Indonesia nate ujar mangkene, ”Yen sastra Jawa kepengin oleh kawigaten mirunggan saka kritisi sastra, para pengarange kudu bisa ngasilake karya sastra kang mondhong gagasan-gagasan gedhe saengga gawe ngungun.”

Sakarone tokoh sastra Indonesia mau, mungguh mentala blaka, kurang luwih mangkene. Sastra Jawa gagrag anyar klebu ewone sastra madya kang nduweni watak melodramis, yakuwi romantis-sentimental kang keluwih-luwih (Budi Darma). Gagasan-gagasan prasaja lan cakrik prasaja mahanani sastra Jawa gagrag anyar kudu kalungguhake ing papan kang samesthine, yakuwi sastra hiburan utawa sastra populer (Sapardi Djoko Damono).

Pratelan-pratelan saka para jambur sastra ndalem negara mau wusana nggawa pethit kang ora ngenak-enaki ati. Pethit kopat-kapit lan nuwuhake rasa perih nalika diseblakake dening kritikus Buta Cakil, yakuwi kritikus sing mung muncul sepisan lan panemune mung ela-elu. Golongan kritikus Buta Cakil mau kanthi makantar-kantar aweh stempel, cap, utawa stigma yen sastra Jawa kuwi kualitase kacangan alias ecek-ecek.

Kudu dimangerteni yen sastra Jawa lan sastra ing tlatah ngendi wae, umume, mujudake sastra hiburan. Cerpen-cerpene Danarto utawa Iwan Simatupang ing sastra Indonesia, upamane, senajan ninggal cakrik konvensional lan mengku pralambang utawa simbol, nanging ora nyingkur aspek hiburan. Semono uga Cerkak-cerkake Djajus Pete utawa Suparto Brata jroning sastra Jawa sing nuduhake cakrik konvensional, tartamtu aspek hiburane iya ora ketinggalan.

Mujudake kesalahan fatal yen sastra Jawa gagrag anyar diaranisastra ecek-ecek jalaran nggotong unsur panglipur manah, dene sastra Indonesia diarani sastra serius sing tegese tanpa aspek hiburan babar pisan.

Sastra universal

Ana faktor ekstrinsik, yakuwi prekara sosiologis, geneya para pengarang sastra Jawa gagrag anyar ngasilake karya sastra kang ca- krike prasaja lan isine condhong nglelipur manah. Pengarang sastra Jawa gagrag anyar nyadhari yen sing diarani ”sastra universal” (yakuwi sastra sing nujuprana tumrap kabeh manungsa ing alam donya) yektine ora ana. Sastra kang nduweni sipat universal mau mung ana ing angen-angene sing nemokake teori lan para pengikut-e teori mau.

Kosok baline, pengarang sastra Jawa gagrag anyar condhong marang teori kontekstual. Karya sastra lair jalaran kegawa saka daya pangaribawane kaanan tinamtu, swasana tinamtu, lan faktor-faktor historis tinamtu. Mula saka kuwi, karya sastra tinamtu iya mung cocok tumrap kalangan pamaos tinamtu wae.
Para maos kasusastran Jawa dumadi saka masarakat padesan lan masarakat kutha gedhe sing isih nduweni watak lan sipat kayadene masarakat padesan. Tata panguripan prasaja, gegayuhan prasaja, guyup, rukun, lan ora neka-neka.

Watak utawa karakteristik masarakat Jawa kang kaya mangkono mau tundhone banget nem- tokake jinise wacan sing dipilih. Yakuwi wacan sing prasaja, ora adoh saka gegambaraning urip lan panguripan sadina-dina. Wacan sing sipate realis, sing bisa nglelipur manah nanging ngandhut pitutur lan pituduh kang migunani. Becik ketitik-ala ketara, sapa kang salah bakal seleh, sapa sing nandur bakal ngundhuh, lan sapiturute.

Sugeng Wiyadi, dhosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS Unesa) - Sugeng Wiyadi

Solopos

Monday, August 10, 2009

Lampahipun Nyi Roro Kidul ing Kabudayan Jawi

Kaaturaken dening Arswendo Atmowiloto

Kagem sutresna basa tuwin sastra Jawi, keparenga kawula sumela atur sawetawis. Nyuwun gunging samodra pangaksami menawi wonten atur kawula ingkang mboten mranani penggalih, utawi natoni manah panjenengan sedaya. Sejatosipun sastra Jawi sampun lengser duk nalika,aksara Jawi mboten dipun ginaaken malih, lan kasalin aksara Latin. Ing mriku, dados wonten ingkang ewah, ingkang ical. Kadosta ungelipun “o”, “-a”, “a”, dados kisruh. Luntur ugi, filosofi ingkang ngrengku aksara kalawau. Mboten wonten pangku ingkang mateni.


Nalika samanten tasih wonten pangajeng-ajeng bilih sastra Jawi mawi aksara Latin bakal ngrembaka. Lumintu saking lan dening majalah, buku, tuwin sesrawungan utawi piwulang ing sekolahan. Nanging saya dangu kahananipun inggih saya nglangut kadidene “susuhing angin”, kadidene “dog amun-amun.” Katon wonten ing panyawang, nanging ilang sak nalika dipun cedhaki.

Manawi sakpunika tasih wonten sutresna ingkang prihatos, ingkang nandang luh cintraka, inggih punika priyantun ingkang ngugemi saestu dhateng sastra Jawi, inggih punika priyantun ingkang linuwih ing kasetyan. Pejah gesang ndherek sastra Jawi. Kawula ngaturaken sungkem, ngurmati panjenengan ingkang linangkung ing zaman. Kedah wonten ingkang makaten.

Panci mrihatosaken, nanging sejatosipun “Kabudayan Jawi” mboten namung wonten ing basa, ing aksara, ing pocapan kemawon. “Kabudayan Jawi” langkung ageng, langkung wiyar tebanipun, langkung sekti mandraguna, langkung ajur-ajer tinimbang kaliyan basa utawi sastra, utawi keris, utawi keris, utawi blangkon tuwin selop, utawi gebyog, utawi kembang setaman. Sedaya kalawau punika namung woh, ron, utawi kembang. Ingkang saged ngrembaka ing sajroning zaman kelakone. Ingkang dados wos, ingkang ndadosaken sedaya ron, woh tuwin kembang punika inggih punika oyod kabudayan Jawi. Inggih punika ingkang katelah Kejawen, dening mbah buyut. Sejatosipun kejawen punika ingkang dados suksma sejati. Suksma ingkang bade ngrembaka, tuwuh lan tuwuh malih, najan to ketinggalipun malih rupa.

“Manuk Gusti”

Keparenga kawula ngunggak kabudayan sanes, ingkang dipun tengeri Kabudayan Semit. Punika budaya ingkang dipun agem bangsa-bangsa Semit wonten Timur Tengah. Sareng kaliyan wolak-waliking jaman sarta kasrambahan budaya sanes, budaya Semit katelah budaya Yahudi, lan salajengipun budaya Kristen, kalayan Islam.Kapitadosan—antawisipun—dateng Gusti Panguwasa Jagat ikang dipun wastani YHWH (amargi mboten kepareng dipun sebat, najan wonten ingkang nyebat Yahweh)—ingkang satunggal, dados kapitadosan meh sedaya umat ing donya. Kita nampi agami, nabi, Gusti, kitabipun, lumantar budaya Semit kala wau, ingkang mathok paugeran agami pinangka syarat-syaratipun.

Ing babagan punika, budaya Jawi gadhah paradigma ingkang benten, inggih punika ingkang kasebat “Manuk Gusti”, utawi “Manunggaling Kawula Gusti.” Punika konsep, filosofis, jejer, ingkang saestu benten—najan to mboten kedah dredrah lan mungsuhan. Benten, nanging mboten sulaya. Sedaya kala wau sampun dados sesanggeman, dados jejer ingkang ajur ajer, nalika srawung kaliyan agami utawi budaya Hindu, Buddha, utawi sanes-sanesipun, wiwit jaman ja-mbejuja ngantos dinten punika.

Kawula nginten bilih konsep agung “Manuk Gusti”, wewujudan Kedjawen ingkang jenius, ingkang kampiun, ingkang “mbrojol sela-selaning garu”, ingkang waskita , ingkang saged nggathukaken bab-bab ingkang suci, sakral, kalian kahanan urip saben dina. Kula kinten, dereng nate mireng, panyandra Gusti Kang Murbeng Jagad tuwin umat kadosdene , “curiga manjing warangka”, ingkang sumanak, enak, ruwin ngangeni.

Jumat Kliwon

Suksma sejati saking Kejawen punika sampun wiwit kina-makina, mawujud rikala paraga Panakawan melebet ing pawayangan. Saknalika, wayang—kathah ingkang mastani saking India—dados benten. Panakawan—saged Semar, Gareng, Petruk, Bagong, utawi Togog, Mbilung utawi katambahan Limbuk, Cangik, -- ndadosaken rakyat pidak pedarakan dados mulya. Ngungkuli para dewa-dewa ing Kahyangan Jonggring Saloka. Malah kepara lakung gecul, amargi dewaning-dewa Hindu, kenger dening—nuwun sewu—entutipun (ana jenenge ora ana rupane) Semar (ora lanang ora wadon).

Punika sanggit ingkang linangkung agung. Ingkang tasih “tumimbal lair” rikala Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma “ngrabekaken” petangan kalender Hindu, Jawi, Islam dados setunggal ing tanggal 1 Suro. Pananggalan sakdonya remek ical dening petungan pananggalan Masehi, nanging etungan pasaran Pon, (Wage, Kliwon, Paing,Legi) tasih sanget dipun ginaaken. Malah kepara pinunjul, amargi saged mbedakaken wigatinipun dinten Jumat setunggal kaliyan sanesipun.

Punika saestu sanggit ingkang nggegirisi, jer petungan Jawi tasih kasebat, saged urip bebarengan kalian pananggalan Masehi utawi petungan sanesipun.

Panginten kawula, sanggit ingkang sami maujud mbotenipun selop—sepatu Walanda ingkang iris wingkingipun, gampil dicopot kangge mlebet Keraton, surjan—jas ingkang krowok kangge ngetingalen keris, lan sapanunggalipun.

Nyi Roro Kidul

Manawi yektos makaten, punapa sejatinipun suksma sejati Kejawen punika?

Benten kaliyan pamanggih manca ingkang sarwa pratitis damel definisi, Kejawen mboten saged dipun watesi, mboten saged kinunjara : o, kuwi ngene, ora ngono. Amargi Kejawen punika suksma, ingkah tasih gesang. Ingkang tansah tumimbal lair, ingkang nitis lan nitis malih, ingkang tansah maujud malih lan malih lan malih. Ing pocapan, inggih punika ingkang kawastanan” ngono, ning ya aja ngono”.

Wonten conto ingkang nglegena. Upaminipun wonten—utawi mboten wontenipun,-- Nyi Roro Kidul, punapa kemawon sebabatanipun. Meh sedaya tlatah ing pinggir seganten, wonten mithos lan cariyos Nyi Roro Kidul. Nanging rumaos kawula, namung cariyos Nyi Roro Kidul ing Jawi ingkang luhur wiwit mula buka. Sawijining putri ingkang nedya lestantun, ngrewangi para raja kangge kamakmuran bangsa, malih rupi dados “lelembut”, dados “paraga lembut.” Amargi namung punika margi supados lestantun, salami-lamipun, sareng umuring jagad.

Punapa Nyi Roro Kidul, yektos wonten?

Utawi namung carios ngayawara?

Sedaya kalawau mboten wigatos malih, mboten kedah wonten wangsulan ingkang baku, utawi namung setunggal.

Semanten ugi Kejawen. Wonten utawi mboten wonten sastra utawi basa Jawi, keris, blangkon, selop, kembang setaman, macapatan, mboten wigatos malih. Sauger tasih wonten manungsa ingkang kempal sareng, ngrembag, nguri-uri, ngembakaken, tasih wonten ingkang saged nyawang wontenipun “dog amun-amun”. Saged ngraosaken wonten “susuhing angin”, saged ngraita “sangkan paraning dumadi”, saged “keplok tangan kiwa”, saged ngudarasa kaliyan sesame.
Nuwun.


*) cathetan mirunggan punika, jan-janipun kangge sedherek ing Trenggalek, Kediri ingkang ngawontenaken Festival Sastra Jawa, utawi patemon ing Bale Sudjatmoko, Solo, ing wulan Agustus 2009..

kapacak ing Suara Merdeka

Monday, August 3, 2009

Pergelaran

Oleh: Beni Setia

PADA peta dengan skala 1:10.000.000, Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, yang terletak di jalur antara Trenggalek-Pacitan, mungkin hanya titik seukuran mikron -tak perlu diterakan- tak terlihat ada. Tapi, dalam Festival Sastra Jawa (FSJ) 2009 yang akan diselenggarakan pada 3-4 Agustus besok, tempat itu akan menjadi sumber pembuktian bahwa sastra Jawa masih ada dan bisa bertriwikrama menyatakan diri sehat setelah selama ini hanya diam di majalah bahasa Jawa dan tradisi tutur macapat atau wayang kulit.


Bukan cuma menunjukkan masih ada kemauan buat meneruskan energi kreatif dengan melakukan eksplorasi demi pencapaian estetika serta ekspresi baru, seperti yang ditunjukkan banyak sastrawan Jawa modern di ranah sastra Jawa tulis. Yang lebih diakui dan dianggap sebagai representasi sastra Jawa adalah hadirnya geguritan, cerkak, dan roman di majalah bahasa Jawa dan buku sastra yang dianugerahi Rancage Award dan dipergelarkan di forum FSJ 2009. Tetapi, juga upaya sadar untuk melihat dan menghadirkan lagi sastra lama Jawa, sastra tradisional lisan, yang selama bertahun-tahun selalu dihadirkan dalam wujud pergelaran macapat atau pentas wayang kulit.

Selain itu, akan menjadi tetenger dari upaya untuk menunjukkan bahwa sastra Jawa masih layak ditengok dan sekaligus mempunyai pendukung yang menikmati, tapi tak pernah menyuarakan pengamatannya. Mereka adalah para kritikus bisu di pedesaan. Yang bukan priayi baru, para pangreh praja, yang mengasah budi pekerti dengan membaca sastra di majalah atau dalam wujud buku, tapi wong desa yang diam-diam ambil bagian, meski hanya dengan menyimak pergelaran wayang kulit di panggung, live di TV, atau dalam kemasan audio kaset atau audiovisual VCD dan DVD. Mereka masih nguri-nguri dan mengapresiasi sastra Jawa. Sayang, FSJ 2009 tak melangkah lebih jauh dengan menghadirkan revitalisasi wayang -yang versi teksnya selalu hadir di Jawa Pos Minggu dan kemudian dibukukan itu- yang dikolaborasikan dengan disiplin kesenian lain dalam wujud pentas wayang suket Slamet Gundono.

Sempat terpikir: alangkah indahnya kalau launching buku dan pentas wayang suket Slamet Gundono itu tak dilakukan di Taman Budaya Surakarta, 26 Juli lalu, melainkan dalam FSJ 2009 di Trenggalek, 3-4 Agustus besok. Kenapa? Sebab, ada kesan wayang suket itu pergelaran sastra pertunjukan yang dirancang sebagai eksplorasi personal dan cuma diperuntukkan bagi kalangan terdidik, yang terlatih menikmati ekspresi kreatif orisinal, tampilan alternatif yang untuk mengapresiasinya dibutuhkan limit referensi sastra dan seni tertentu. Dan wong desa, yang hanya pasif partisipatif menikmati sajian sastra pergelaran, tak akan mampu memaknai kehadiran yang menyimpang dari yang baku -''cakrawala harapan'' dalam termin estetika resepsi- dan karena itu tak boleh atau belum waktunya untuk diberi sajian eksperimental. Ini pendekatan yang muncul dari sindrom priayi anyar (kaum terdidik), yang menulis sastra Jawa baru dan dipublikasikan dalam bentuk teks di majalah atau buku, yang harus diapresiasi secara personal.

Penyepelean yang muncul dari fakta: sastra Jawa bagi wong desa dan seperti yang tampak dalam fenomena sastra Jawa tradisional, senantiasa tampil dalam wujud pergelaran sastra pertunjukan -macapat, wayang, atau dongeng/babad/hikayat- meski ada yang berbentuk teks dan disimpan sebagai pusaka keraton. Ketika sastra hanya tampil dalam pergelaran, penontonnya cukup datang untuk duduk manis tanpa harus membayar karcis atau membeli teks, tanpa perlu membawa referensi seni dan sastra apa pun karena semua penafsiran dan kelihaian untuk menghidupkannya menjadi tanggung jawab si penampil, dalang atau the story teller. Modalnya cuma ada waktu senggang atau berani menyisihkan kegiatan lain demi untuk menonton dan terhibur. Tertawa, keplok-keplok.

Sastra modern tertulis tak bisa mengambil alih fungsi inklusif sastra tradisional lisan (Jawa). Karena itu, mereka jadi pekerjaan serius di antara kelompok eksklusif kaum terdidik, yang malah minoritas di tengah kaum terdidik lain yang lebih peduli pada lifestyle hidup konsumtif perkotaan. Lantas, mereka menafsirkan sastra tradisional Jawa dan menganggapnya bukan pencapaian personal. Secara penulisan teks, memang tak ada eksplorasi. Tapi dalam penampilannya sebagai sastra pergelaran, para dalang atau the story teller itu -seperti Slamert Gundono atau Jayus Pete- adalah eksplorator yang gigih dan terbukti bisa menemukan alternatif pementasan dan sangat peka-lihai saat memanipulasi suasana dengan improvisasi genial yang menyebabkan pergelaran lebih memikat-orisinal dari tampilan teks.



Pada faktanya, para sastrawan Jawa modern yang rancak melakukan eksplorasi fantasi dan imajinasi teks selalu terbata-bata bila menampilkan teks itu dalam disiplin happening art, kecuali Slamet Gundono atau Jayus Pete. Bagi saya, itu merupakan indikasi bahwa sastra Jawa hadir dalam dua wajah. Pertama, yang tekstual di media massa cetak dan karena itu menuntut kemampuan membelinya dan mengapresiasinya dengan referensi yang cocok dengan niat menulis si kreator. Kedua, yang live bersifat pergelaran (happening art), bergantung pada kemampuan si dalang untuk menghidupkan teks di panggung supaya memuaskan penonton yang datang tanpa beli karcis dan perlengkapan apresiasi referensi dakik-dakik.

Entah bagaimana kita fokus pada yang pertama. Mulai subsidi menerbitkan buku sastra, hadiah buku sastra tahunan, hingga gerakan resmi menyebarkan ke daerah dengan mendirikan banyak perpustakaan daerah dan sekolah.

Tapi, kenapa tidak ada yang tertarik menyelenggarakan lomba macapat tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional, seperti Festival Gamelan Internasional yang dirintis almarhum Sapto Rahardjo di Jogjakarta? Sementara itu, festival wayang disederhanakan jadi lomba mendalang, cenderung dipadatkan dan direduksi jadi hanya penilaian pada aspek-aspek elementer dari mendalang. Sehingga, hakikat pergelaran wayang sebagai sebuah pergelaran sastra pertunjukan yang sangat mengandalkan kemampuan seni pertunjukan sesuai kaidah happening art dilupakan. Aspek kenyamanan menonton, keterikatan penonton pada pergelaran, serta derajat keterhiburan menonton jadi acuan. Kita jadi tidak bisa fokus menilai sampai sejauh mana penonton (baca: kritikus, juri) mengapresiasi dan menarik makna dari pergelaran, yang bermula dari disiplin sastra tertulis yang butuh derajat keterdidikan tinggi dan inisiatif meluaskan wawasan personal itu.

Dengan kata lain, menghidupkan sastra Jawa itu bermakna berusaha agar kita menyadari adanya proporsi, menjadi bijak, dan proporsional dengan tidak memakai kaidah sastra tertulis -yang diakomodasi dan diadaptasi dari sastra modern Barat dan Indonesia- untuk menghakimi representasi sastra tradisional lisan Jawa yang selalu tampil dan ditampilkan dalam kaidah happening art seni pertunjukan. Dengan itu, kita menjadikan sastra tradisional lisan Jawa terpinggirkan, dimarginalkan sebagai yang tidak menantang, yang tak memungkinkan eksplorasi kreatif demi sesuatu yang orisinal. Dengan kaidah seni pertunjukan yang menghadirkan teks sastra sebagai sastra pertunjukan, tantangan untuk melakukan eksplorasi tetap ada. Celakanya, kita abai sejak memilih menghadirkan sastra Jawa modern tertulis. Memang. (*)

*) Beni Setia, pengarang

[Jawa Pos, Minggu, 02 Agustus 2009 ]

Jawa

Oleh D. Zawawi Imron*

Bahasa Jawa telah ba¬nyak berjasa sebagai bahasa ''tarja¬mah'' di pesantren-pesantren di luar Ja¬wa. Bahasa Jawa pesantren itu dise¬but ''Jawa Kitabi". Malang malam hari. Pada perte¬ngan Juli itu dingin sangat menusuk. Apa¬lagi tempat sarasehan bulanan ter¬sebut di halaman terbuka kampus Uni¬versitas Brawijaya. Bukan di dalam ruangan. Di antara penerima tamu ada Ibu Francien Tomasoa yang ramah. Sarasehan dilaksanakan oleh Pu¬sat Pemberdayaan Kebudayaan Nu¬santara Unibraw. Ada pergelaran mu¬sik dan pembacaan puisi oleh do¬sen dan mahasiswa. Lebih asyik lagi yang jadi mode¬rator Mas Riyanto yang kocak dan Taufan Baskoro yang hangat.