Wednesday, February 29, 2012

Banjaran sari: ”Dedalanan Dawa”

@DH Abadinar

Wuyung angreridhu
Nasak gunung-gunung
Ngendi enering dalan?






Adreng angudhari
Sasmitaning laku
Nora ana pungkase

Lungit kang sinedya
Jer osiking manah
Anggayuh gegadhangan

Nglangut tyas andulu
Margi linakonan
Kebak uter-uteran

Jumangkah sesuk
Maneka pepalang
Seser ndeder dalane

Wis binacut lungkrah
Sempoyongan mlaku
Baya suk kapan leren?

Kadya pinecutan
Mung jumangkah kudu
Medhar tangising suksma

Lir mung impen wingi
Angranggehi sesuk
Nyata kanteb saiki

Ngenthak-enthak garing
Tansaya wancine
Daya-daya mungkasi

Banyu kang tumetes
Tan nglegani ngorong
Menggah-menggeh anapas

Lamating wirama
Bening sing dak gadhang
Pupuh perwita sari

Rumambah ing wening
Amiyaki pedhut
Ngunguning pitakonan

Cedhak sinandhingan
Lir sigra cinandhak
Ndeder keplas nggegana

Lungkrah nglokro bali
Lunga teka sarwi
Apa ya kaleksanan?

Baya apa mengko
Ambegan sih lodhang
Sumunar padhanging tyas?

Angudi wedharing bun
Wis lumingsir wanci
Sisih ngendi dalane?

Lemahdhuwur, 28/01/12

Kapacak ing Kalawarti Jaya Baya No 24 Minggu II-2012

Monday, February 27, 2012

Rapat OPSJ TBS, 25 Februari 2012




1. Tindak lanjut KSJ, OPSJ optimalkan penerbitan buku sastra.
2. Untuk melakukan penerbitan, OPSJ telah memiliki modal rupiah.
3. Penerbitan mencakupi segala karya sastra Jawa masa kini: gurit, cerkak, novel, drama, dll.

4. Penerbitan buku sastra Jawa sebisa mungkin mempertimbangkan prinsip regenerasi, di samping apresiasi terhadap mereka yang telah memiliki pergumulan lama di jagat kreasi sastra Jawa.
5. Tidak berhenti pada penerbitan, kegiatan juga berlanjut pada publikasi dan pemasaran buku.
6. Publikasi dan pemasaran, di samping memanfaatkan media cetak dan elektronik, juga mengoptimalkan jejaring sosial (FB, twitter) dan jaringan komunitas/kampus/MGMP dll.

7. Setiap buku yang diterbitkan diupayakan untuk diikuti kegiatan peluncuran/bedah buku di kampus/MGMP.
8. Pengelolaan dilakukan oleh sebuah badan pekerja, sedangkan penetapan kelayakan naskah ditentukan oleh sebuah tim kuratorial.
9. Dalam hal pemasaran, dibutuhkan beberapa alamat sebagai semacam agen (Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Bojonegoro, Tulungagung, Malang, Tegal, dll)

10. Program jangka pendek seperti apa?
- Parade Gurit Kampus Pitu
- Gurit/Cerita .... (kolaborasi dg kampus tertentu)
- Drama Jawa (bisa transformasi cerkak)
- Antologi dari Sanggar
- Sastra dialek

13. Pengembangan Website dan e-book sastra Jawa
14. Penyusunan AD/ART dan Badan Hukum OPSJ
15. Membangun laman/kacamaya untuk memuat karya bahasa/sastra Jawa modern
16. Tim Kurator dikoordinasi Dhanu Priyo Prabowo
17. Tim Penerbitan Buku dikoordinasi Bonari Nabonenr
18. Tim Pembangunan Laman dikoordinasi Dhoni Zustiyantoro

** foto: Dhoni Zustiyantoro

MARANG

@Amie Williams

Marang kelap-keliping kartika
Aku mara lan sanja
Blaka suta aku kandha
Gelema dadya sumitra


Marang samirana
Daktitipaké bekti lan sih tresna
Lumarapa menyang kana
Muga rahayu bisa katampa

Marang petengé wengi
Dakkanthi marak sumiwi
Ngabyantara mring Hyang Widhi
Muga tansah kasdhu hangayomi

Palereman, 26022012

Friday, February 24, 2012

Pemerintah belum Berterima Kasih

Wis 24 Tahun Hadiah Rancage

Yusuf Susilo Hartono lan Sucipto Hadi Purnomo

Sejak Zaman Kerajaan, Singasari, Majapahit dll, raja sebagai presentasi kerajaan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para pujangga/kawi (pengarang/penyair), tidak hanya berupa peralatan menulis, rumah, tanah, tetapi juga hak-hak istimewa secara khusus.

”Restu raja yang demikian itu didambakan (oleh penyair/kawi) serta diterima sebagai suatu anugerah. Restu itu pasti memberikan dorongan yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dan menyelesaikannnya dengan memuaskan. Restu itu mungkin juga meliputi dukungan material berupa hadiah-hadiah yang mungkin lebih daripada ’papan tulis dan tanah’ semata-mata. Simpati sang raja juga merupakan berkat yang menyuburkan karya seorang penyair/kawi. Kesaktian yang berpusat pada dan memancar dari raja mempengaruhi karya penyair dan menambah suksesnya.” (Zoetmulder dalam Kalangwan: 1983).

Kritik terhadapa model pemberian hadiaah kepada sastrawan oleh raja seperti itu adalah: sastrawan/pujangga lalu seperti terkooptasi oleh kepentingan (kekuasaan) kerajaan. Tetapi, esensi pemberian hadiah atau penghargaan kepada sastrawan sebagai salah satu sumber wacana kearifan, setidaknya sebagai ”praktisi gerakan literasi” tetap sangatlah penting. Itu yang agaknya dilupakan oleh pemerintah kita sekarang ini.

Hadiah Sastra Rancage, selanjutnya disebut Rancage, adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang didirikan budayawan Ajip Rosidi, Erry Riyana Harjapamekas, Edi S. Ekajati, dan beberapa tokoh lain sejak 1989. Artinya, hingga sekarang tradisi pemberian penghargaan untuk buku dan tokoh yang dipandang berjasa terhadap pengembangan bahasa dan sastra daerah itu telah berjalan 23 tahun. Konsistensi semacam ini patut mendapatkan apresiasi dan dukungan, untuk menyelalamatkan bahasa-bahasa ibu dari kepunahan.

Sejak 1994, Yayasan Rancage diberikan untuk buku sastra Jawa (antologi cerkak/cerpen, guritan/puisi, novel). Tahun ini antologi geguritan Ombak Wengi (2012) karya Yusuf Susilo Hartono terpilih untuk mendapatkannya. Hanya ada satu tahun kosong (1995) karena tidak ada buku karya sastra Jawa yang terbit pada tahun tersebut. Untuk kategori tokoh berjasa dalam bidang pengembangan bahasa dan sastra Jawa, tahun ini terpilih Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) yang juga dosesn Unnes.

Saya merasa beruntung dapat terlibat obrolan santai di rumah makan milik keluarga Ayip Rosidi (Magelang, 2010) sebelum acara penyerahan hadiah keesokan harinya di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Dari obrolan itulah saya tahu, betapa kerasnya upaya untuk mempertahankan tradisi yang sangat mulia tersebut. Sangat mulia, karena selain menjadi pilar upaya menumbuhkan tradisi literasi dalam rangka ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, Hadiah Rancage sekaligus menjadi pilar pelestari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pak Ayip pun bercerita, pernah suatu kali, rekeningnya kosong padahal hanya dalam beberapa hari hadiah (piagam dan uang) harus diserahkan kepada para pemenang. Sampai pada saat paling genting (sebelum hari H), tiba-tiba ada uang masuk sejumlah yang dibutuhkan, dari pihak yang tidak bisa diketahui.

Melihat apa yang dilakukan Ayip Rosidi bersama Yayasan Rancage-nya, kita lalu tergelitik pula untuk bertanya, ”Apakah yang sudah dilakukan oleh Pemerintah di bidang literasi, satu hal yang diyakini sebagai kunci utama untuk meningkatkan ”kecerdasan bangsa” ini? Tradisi pemberian hadiah, dalam sastra Indonesia pun tidak ada bukan? Kalaulah ada, paling-paling hanya rog-rog asem, berjalan setahun dua tahun, setelah itu lenyap entah ke mana. Beberapa versi hadiah untuk Sastra Indonesia pun, yang nilainya tergolong besar justru diselenggarakan oleh lembaga nonpemerintah.

Harus diakui, dampak penganugerahan Hadiah Rancage untuk buku Sastra Jawa sangat signifikan. Sebelum tahun 1994 banyak tahun kosong penerbitan buku sastra Jawa. Atau jika ada pun, biasanya adalah buku ”stensilan”, berupa antologi bersama, dan tidak ber-ISBN. Setelah ada Rancage untuk Sastra Jawa, hingga taun ini hanya 1995 saja yang tidak ditandai dengan adanya buku karya sastra Jawa yang terbit. Dengan gambaran tersebut saya tidak ingin mengatakan bahwa Rancage adalah satu-satunya pendorong semangat untuk menerbitkan buku karya sastra Jawa.

Bahkan, ketika geliat penerbitan buku karya sastra Jawa sudah mulai membaik seperti sekarang, dan pada saat mengalami masa-masa yang subur kelak (jika itu akan terjadi) pemberian penghargaan untuk karya”terbaik” seperti dilakukan Yayasan Rancage semakin penting, sebagai bagian dari kritik dan sekaligus pengawal kualitas karya sastra berbahasa daerah. Dalam kaitannya dengan perkembangan Sastra Jawa Modern, Rancage seolah juga mengisi ruang kosong kritik setelah ditinggalkan Suripan Sadi Hutomo, Poer Adhie Prawoto, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan beberapa nama (kritikus) lain.

Pemerintah (daerah), sesungguhnya sangat terbantu oleh Rancage. Dalam urusan penyediaan buku-buku bacaan berbahasa daerah di sekolah, setidaknya setiap tahun ada buku-buku terpilih. Dengan ini saya juga tidak sedang mengatakan bahwa Rancage adalah satu-satunya saringan untuk meloloskan buku-buku bacaan berkualitas untuk perpustakaan di sekolah-sekolah. Adalah sangat pantas jika buku-buku karya sastra Jawa yang telah mendapatkan Rancage itu kemudian juga disambut oleh pemerintah (daerah) melalui Dinas Pendidikan. Sambutan yang baik adalah dengan membelinya untuk disebarkan ke sekolah-sekolah.

Alih-alih memberikan sambutan yang baik terhadap buku-buku sastra berbahasa Jawa terpilih (oleh Yayasan Rancage), saya malah mendapat kabar dari beberapa pengarang sastra Jawa yang didesak-desak oleh penerbit untuk menyetor naskah agar nantinya bisa diterbitkan setelah mendapat persetujuan Dinas Pendidikan. Artinya, setelah keuntungan dapat dihitung secara pasti. Tidak akan jadi masalah jika cara begitu hanya sebagai varian. Tetapi, tidak mengacuhkan buku-buku ”Rancage” dan memilih buku-buku yang diseleksi secara terburu-buru adalah tindakan degsiya alias semena-mena. Padahal, buku-buku sastra Jawa di luar ”pesanan” Dinas Pendidikan pada umumnya diterbitkan dengan tidak mengejar keuntungan finansial. Karena itulah, cara memberikan dukungan kepada Yayasan Rancage, menurut Ayip Rosidi, selain memasukkan bantuan dana ke rekening (Yayasan Rancage) adalah dengan menjadikan buku-buku pemenang Rancage sebagai bahan bacaan di sekolah-sekolah di wilayah masing-masing: Sunda, Jawa, Bali, Lampung.

Sekarang ini sangat tampak bahwa pemerintah (daerah), agaknya kecuali Jawa Barat, tidak tahu (-menahu) persoalan seperti itu. Maka, mendesak-desak agar pemerintah (daerah) menciptakan tradisi pemberian hadiah tersendiri kepada orang-orang yang dipandang berjasa terhadap pengembangan bahasa dan sastra daerah (dengan karya buku maupun aktivitas lainnya) menjadi agak lucu. Dan akan sangat potensial mengacaukan keadaan, jika yang dibayangkan adalah bentuk/sistem seperti yang sudah dilakukan Yayasan Rancage. Walaupun, dulu saya pernah juga meneriakkan hal seperti itu. Sekarang saya tahu, para pengarang sastra Jawa masih harus bersabar. Pemerintah (daerah) pancen durung jawa, kok!

Sudah 24 tahun Rancage mendorong dan mengawal perkembangan bahasa dan sastra daerah (Sunda, Jawa, Bali, Lampung). Walau belum menjangkau daerah-daerah lain di seluruh wilayah negri ini, sesungguhnya Rancage telah dengan suka-rela mengambil alih tugas negara yang seharusnya dilakukan pemerintah. Sedangkan pemerintah, seperti belum tahu caranya berterima kasih.

[Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, mendapatkan Hadiah Rancage untuk kategori ”jasa” 2010]

Tau kapacak ing Jawa Pos, Minggu, 5 Februari 2012

Wednesday, February 22, 2012

Langit sing Tansah Nunggu Samodra

@Titik Kartitiani


Sliramu nate crita
Menawa getihmu banyu samodra
Sing jembare ngluwihi angen angen
Angen angenku lan angen angenmu
Sing nyatane beda asale


Kandhamu,
Samodra iku kaca benggalaning langit
Sing ndadekake langit duwe rupa
Nadyan ora nate bebarengan
Apa maneh gegandhengan
Nanging sesandhingan
Jroning ati suci

Duh satria..
Aku dudu sawenehing pujangga
Kang ngagungake mulyanging aksara
Cakap cukup reh budhaya
Nanging aku tansah ndonga
Muga - muga banyu samodra
Mampir sakedheping netra
Kanggo panglipuring ati langit
Kang setya nunggu
Saka kadohan

(KASMARAN effect of Didi Kempot :D...sugeng enjang para sedherek)

Tuesday, February 21, 2012

JAPA MANTRANE WONG OLAH-OLAH

Ibu-ibu Desa Jono lagi masak dhaharane peserta KSJ 3. Pojok kiwa buri, ngagem jilbab, Bu Lurah.

Salah siji bab sing banget gawe kegi (kagum)-ku sasuwene melu Kongres Sastra Jawa 3 ing Jono, Bojonegoro, perkara suguhane. Panganan desa, tapi prasaku kabeh kok nyamleng-nyamleng. Masakan kelas restoran. Tenan. Mula kawetu guyonku marang Pak Lurah, "Pak, Pak, nuwun sewu, punapa ibu-ibu ngriki niku boten saged masak ingkang boten sedhep? Ket wingi sedaya masakane kok suedhep-sedhepp!!" Pak Lurah mung nggujeng.

Jejer wong wedok sing saben dina utheg ana pawon masak kanggo anak-bojo, mesthi wae aku pengin ngerti kepriye carane bisa masak sing sedhep kaya ngono. Mula nalika arep pipis menyang jedhing cedhak pawon aku merlokake takon marang ibu-ibu sing lagi masak bareng:

"Nuwun sewu Bu, panjenengan masak kok saged sedhep-sedhep niku rahasiane napa?"

"Napa ta, nggih biasa mawon niku," saweneh ibu mangsuli.

"Pripun? Bumbune ngresep nggih?" ibu liyane nrambul.

"Nggih, mresep sanget. Kok saged ngaten, mangka sedaya rak masakan enggal?"

"Woo... enten japane niku," saweneh ibu, sing ing tembe takngerteni jebul Bu Lurah, melu mangsuli.

"Enggih ta Bu? Napa japane?"

"Woo... rahasia!!" ngendikane karo nggujeng.

Aku melu ngguyu, merga pikiranku wiwit nerka-nerka.

"Dospundi ta Bu? Mbok kula diparingi ngertos..."

"Rahasia niku Bu," jawabe Bu Lurah karo nglirik kanca-kancane.

"Napa sing saru nika ta Bu?" Aku ndumuk langsung, karepku ben ibu-ibu kuwi ilang sungkane. Krungu kandhaku ibu-ibu nggligik bareng. "Kula nate dipundhawuhi Mbah Brintik, ungelipun saru... napa sing ngoten niku?"

"Pun njenengan nyuwun pirsa Mbah Brintik mawon."

"Lha bokmenawi benten ungelipun? Mangke raosipun rak nggih benten?" aku isih ngrapek-ngrapek.

"Sami, sami. Pun njenengan nyuwun pirsa Mbah Brintik mawon...."

"Woo... aku biyen sik prawan karo embahku diwarahi japa kuwi, lehku ngguyu nganti kaku wetengku!" saweneh ibu cluluk.

Wis jelas. Iki mesthi japa saru sing tau dibeber Mbah Brintik ana kantor Jaya Baya kae. Nek ngono Mbah Brintik kudu takdhedhes maneh. Soale aku wis lali unine.

Jangan entut gedhang

Ing sesi candhake, sesine Mas Yusuf Susilo Hartono, aku sengaja lungguh jejer Mbah Brintik. Tak ulungi notesku karo bisik-bisik, "Mbah, tulung njenengan seratne dongane wong masak ben sedhep nika Mbah..."

Jangan terong, jangan iwak panggang, jangan tempe

"Donga sing piye ta?"

"Halah nika lho, dongane wong kuna, sing saru nika lho...!"

"Wo, iya, iya." Panjenengane banjur urek-urek nulis. "Ning nek maca iki kudu manteb, ngandel tenan lho."

"Njur pripun carane ngrapal Mbah?"


Sega jagung lan sega beras

"Ya, masakane dicidhuk sithik neng irus, terus dongane diwaca ping telu, nek uwis njur disebulne masakan neng irus mau, terus diudheg maneh awor kancane. Ra usah nganggo micin, pokoke manteb tenan mesthi sedhep," ngendikane karo mbalekne notesku.

Tak waca sedhela, ing batin niyat arep tak amalne tenan neng omah.

Tenan. Suk embene, pas nyang pasar ndilalah aku kok weruh tomat enom karo pete. Langsung taktuku, takjangkepi pindhang, lombok ijo, godhong brambang. Niyatku niru salah sijine masakan neng Jono kae, mesisan sak japane. Batinku iki mengko mesthi sedhep, anak-bojoku sing pancen penggemar masakan desa mesthi dha seneng.


Mbah Brintik lan Mbak Yunani

Bumbu wis diracik, pindhang wis digoreng. Bumbu-bumbu taktumis sedhela, rada alum pindhang tak jegurake, takwenehi banyu sethithik kanggo ngresepake bumbu. Bareng banyu umob takcidhuk sithik, tak rapali japamantra paringane Mbah Brintik.... ya Allah, atiku ra tekan! Senajan japa takwaca ping telu, ning atiku ra isa manteb. Lha wong unine japa jan saru tenan kae. Dadine masakanku tetep cemplang! :-)

[tulisan lan foto-foto: TITAH RAHAYU]

Aja Kaya Wong Ora Ngreti Cara

(Nanggapi Tulisane Sunarko Budiman: Eling Poma Dipuneling, Dulur)


Tulisane Kang Narko (Sunarko Budiman) krasa lumayan provokatif. Irah-irahane, ”Eling Poma Dipuneling, Dulur”, ditambahi: (Nanggapi Sumono SA lan Bonari Nabonenar) –apa ora luwih trep mengkene: (Nanggapi Bonari Nabonenar, Mbelani Sumono SA)--? Nanging, saka andharane, cetha yen satemene Kang Narko luwih, utawa saora-orane, ya: padha laline!


Utawa, yen wegah diarani lali, ateges dheweke sengaja nyebar pratelan kang nyempyok kana-nyempyok kene. Iku kena diarani nambah cacahe ”mungsuh” senajan tembung ”mungsuh” kuwi ora kudu tansah ditegesi kadidene memungsuhan lair-batin. --Nganti saiki aku isih nganggep manawa tukar-padu lumantar tulisan ing kalawarti/ariwarti kuwi kejaba bisa kanggo latihan nggunakake ukara basa Jawa tumrap kang nglakoni, bisa dadi suguhan memper "talkshow" tumrap kang para maos. Uga kasurung saka panemu kang kaya mangkono iku andharan iki katur.

[1] Desa Jono

Ujare Kang Narko, ”KBJ manggon ing hotel berbintang kuwi mbuktekake yen wis wayahe basa Jawa lan pawongan kang sandhung jegluge karo basa Jawa kuwi pantes layak mapan ing panggonan kang kinurmat. Ora panggah mapan ing sadhengah papan kanthi pawadan ”halah kadak mung basa Jawa ae lho, sing penting rak niyate.” Pawadan ngono kuwi kuno! Ketara yen wis ora ngajeni karo basa ibune, basa Jawa.” 



--Pak H Dasuki, Kepala Desa Jono (ngagem bathik) FOTO: DHANU PRIYO PRABOWO


Ing bab milih papan, KSJ ora tau nyirik kutha utawa desa. KSJ I ing Taman Budaya Surakarta, KSJ II ing Sanggar Paramesthi (Kompleks Kampus Unnes), KSJ III lagi ing Desa Jono. Mung, yen aku wenang milih, desa kuwi malah dadi pilihan nomer siji, ora merga cupete prabeya. Sangsaya akeh prabeya, saka swasta utawa pamarentah bisa ditanjakake ing desa, kuwi luwih becik pangaribawane, luwih jembar tebane, ora ngemungake tumrap Sastra Jawa, nanging uga ing bab seni lan kabudayan. Tur maneh, buktine ya akeh priyantun, saka Jakarta, Semarang, Banjarnegara, Tegal, Cirebon, Surakarta, kang rumangsa seneng lan ora getun nekani KSJ III ing Desa Jono.

Mapan ing desa utawa ing kutha, ing gubug apadene ing hotel bintang lima, bisa padha mulyane. Kang dibiji aja (mung) wadhahe. Kejaba yen ing kandhang pitik, kandhang wedhus, utawa ing kakus, senajan ta kakuse rega Rp 2 milyar. Mula, nganggep yen hotel lan gagah-gumebyare kutha iku ”pisungsung” kang paling murwat kanggo ngurmati para priyantun kang wus ketara nyata labuh-labete marang Sastra Jawa, iku malah kleru. Bisa kanggo salah sijine pawadan (-e Panitia KBJ V), iya. Bisa ditampa. Nanging, yen KBJ V mapanake para pesertane ing hotel bintang lima kuwi mung saka kepingine aweh pakurmatan marang para priyantun kang pantes ingajenan amarga labuh-labete kanggo basa lan sastra Jawa: aku babarpisan ora precaya.

Panemune Sunarko Budiman manawa milih ing desa iku kuno, uga kosokbalen karo panemune: Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, Halim Hade, Dr Teguh Supriyanto, Arswendo Atmowiloto, lan liya-liyane.

Nganggep yen Sanggar Anugerah ing Desa (Wisata) Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro kuwi mung kayadene ”sadhengah” papan, iku nyepelekake banget. Apamaneh mbiwarakake lumantar andharan ing kalawarti ngene iki, istingarah bakal nyempyok rasa-pangrasane Pak H Dasuki (Kepala Desa Jono kang uga mengkoni Sanggar Anugerah) saandhahane lan kabeh para warga Desa Jono? Lali, apa sengaja?

[2] Sugih lan Sekeng

”Yen prasasat angger obah (nulis) metung dhuwite mbokmenawa loro badhene, pengarang professional nanging matadhuwiten, utawa pancen sekeng tenan,” mengkono ukaraku kang agawe binggete pangrasane Sunarko Budiman. Miturut panemuku, pancen mengkono angger disarujuki manawa sugih-mlarat kuwi mapan ing rasa lan pamikir. Ing desa kuwi ya ana wong nesu merga diarani mlarat, nanging yen ora keduman raskin utawa ora kebageyan BLT ya ngamuk.

Sunarko Budiman banjur mbeber andharan kang miturut panemuku ora magepokan karo prekarane. Dikandhakake manawa sastrawan Jawa akeh kang sekeng, kang nganggep dhuwit satus-rong atus ewu rupiyah kuwi dhuwit gedhe. Sakjane sapa sing nyecamah lan nyepelekake sastrawan Jawa: sing duwe panganggep manawa para sastrawan Jawa kuwi akeh sing sekeng, apa sing nganggep yen sastrawan Jawa kuwi padha sugih?

[3] Suparto Brata lan Tamsir AS

Yen aku nyebut Pak Parto kadidene paraga kang ora wedi torog kanggo Sastra Jawa, kuwi mung kanggo conto, senajan banjur didukani. ”Mas, mbok aja bola-bali nyebut jenengku ngono kuwi, aku malah dadi ora kepenak,” ngendikane Pak Parto ing pasamuan warga Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (ing daleme Bu Trinil, Sedati, 29 Januari 2012). Yen disebutke kabeh jeneng lan katrangan ngenani sapa wae kang wis nuduhake labuh-labet kanggo Sastra Jawa, ya Panjebar Semangat bisa dibabar ajeg sajroning setaun apa rong taun tanpa rubrik liyane. Nggih, ta?

Kang Narko kandha, ”Eling, sanajan Pak Parto kuwi dadi patuladhan becik mungguh gelem cucule dhuwit (ana gandheng-ceneng karo bisnis buku-bukune?) beda karo Pak Tamsir AS sing mligi kanggo organisasi, nasibe ing donyane sastra isih ”resik” Pak Tamsir AS.” Cetha lamon iku ora matrap yen digunakake kanggo mbantah panemuku. Aku mung ngandhakake manawa Pak Parto kuwi klebu wong kang gelem cucul, wani tombok kanggo sastra Jawa. Ora ngandhakake manawa liyane Pak Parto ora ana. Lho, ngono kuwi rak kejaba ora patitis, malah nambahi ”mungsuh.” Takkira Pak Parto ya rumangsa kesempyok dening pratelan kang mangkono mau. Kang Narko malah lali utawa ora mikir nganti tekan semono, apa pancen niyat njarag?

Mangkono uga tumrap Pak Tamsir AS. Upama panjenengane isih sugeng, takkira ora bakal malah seneng maca tulisane anak buah-e kang saiki nglengser kalungguhane kadidene Ketua Sanggar Triwida kuwi, kepara malah bakal duka. Aku rumangsa begja dene bisa urip saomah ing Sala lawase setaun (1993) karo Pak Tamsir apadene Pak Parto nalika nggarap tabloid Jawa Anyar. Ya ing kana aku ngreti yen sesambungan antarane Pak Parto lan Pak Tamsir kaya sedulur tunggal yayah-wibi. Anehe, Pak Parto ngundang ”Kangmas” marang Pak Tamsir, mengkono uga Pak Tamsir ngundang ”Kangmas” marang Pak Parto. Lho, kaya ngono kuwi, coba, saka ngendi olehe mikir amrih ketemu nalar: Pak Tamsir lila Pak Parto ”diasorake” senajan kanthi ngumbulake panjenengane? Apa Kang Narko ora mikir nganti tekan semono, apa lali, apa pancen niyat njarag?

[4] Balung Pisah

Kang Narko uga kandha, ”Mbokmenawa aku klebu salah sijine “wong sekeng” bisa uga ”matadhuwiten”. Awit kanggoku dhuwit satus ewu kuwi uakeh…” (lan sateruse). Kuwi malah nuwuhake pitakon: Geneya yen kabotan kok ora nempuh laku kaya Sumono: wegah ngirimake karyane marang Panitia KSJ III? Lha, kok lagi saiki olehe ngandhakke?

Lho, yen ngono rak ora eklas tenan tibake olehe urunan karya lan dhuwite kae? Ing bab iki, patrape Sumono iku luwih becik. Tegese, yen iya ya iya, yen ora ya ora. Lha, iki kok ana, ibarate wong buwuh, dhuwite wis dicemplungke kothak, senajan embuh piye wujude brekate ya wis digawa mulih, mbareng tekan ngomah kok ngunek-unekke ”sohibul kajat” kang duwe gawe kanthi nampa buwuhan?

Sumono SA tau kirim SMS marang Sunarko Budiman, mengkene, ’’Bos, aku seneng nek ana wong sing gelem mikir nasibe sastra, tapi nek kosok baline ethok-ethok mikir sastra Jawa jebul mung kanggo ngumbulake jenenge dhewe aku ora trima. Sastra Jawa mung dianggo ajang kasus, kaya polahe selibritis sing surut pamore ben terkenal maneh. Manut petungku sasuwene iki KBJ – KSJ padha, mung kanggo mbukak kasus beberapa gelintir wong supaya ketok duwe pamor maneh, sawetara iku sastra Jawane tetep mbegegeg ora ana sing gelem ngobah-obah.’’ (Sunarko Budiman: Mapag KBJ V, Markus Basa Jawa, Sumono Gugat, ing Panjebar Semangat No 18, April, Tahun 2010)




Mbah Brintik | Sunarko Budiman | Sumono Sandy Asmoro | Bonari Nabonenar

Saupama dhek semana ana ulem kang kumleyang saka Panitia KSJ III marang Sumono SA apadene Sunarko Budiman, iku uga sinartan pangarep-arep mbokmanawa kanthi mangkono bakal ana kumpule balung psah. Lha, piye ta, wong panemune kaya ngono kuwi? Sumono cetha ora aweh wangsulan, senajan banjur ngaton ing acara KSJ III. Dene Sunarko Budiman, mung sawatara dina sadurunge entek wektu kanggo ngumpulake karya guritan utawa crita cekak kuwi, lagi ngirimake karyane, disusuli SMS, mratelakake manawa karyane wus kakirim lumantar layang setrum kanggo buku kembang setaman kang bakal dibabar dening KSJ III.

Tur maneh, ing antarane wong atusan cacahe sing komplain prekara mbayar Rp 100.000-an malah mung wong loro kuwi. Pripun ngoten niku?

[5] Pengadilan Sastra Jawa

Aku sepisanan ngreti bab arep digelare Pengadilan Sastra Jawa (PSJ) ing Surabaya (30 Agustus 2002) kuwi nalika sawijining wektu ing plataran Wisma Seni (Taman Budaya Surabaya) nimbrung wawan rembug antarane Keliek SW karo Prof Setya Yuwana Sudikan (dhek semana durung ”Prof.”). Embuh sapa sing sepisanan munculake gagasan kuwi, nanging nalika dikandhani bab kuwi, angen-angenku banjur mlumpat menyang Pengadilan Puisi ing Bandung kang dipandhegani Slamet Sukirnanto (1974). Senajan kedadeyan ing Bandung kuwi marakake saperangan wong (penyair) padha kebrongot, nanging iku becik kadidene pletik kanggo uwal saka kahanan njendhel.

Aku duwe pangarep-arep, kanthi acara PSJ kuwi mengko banjur akeh pihak kang maune ora nglirik Sastra Jawa dadi nglirik, sokur malah banjur gelem njingglengi. Saka panampaku, PSJ bisa dadi saweneh talk-show kang gayeng. Lan kebukten, swasana pagelaran PSJ kuwi luwih akeh ”ger-geran” (guyon)-ne, senajan sok ana kalane padha methentheng. Suparto Brata kadidene ”terdakwa” ora nekani sidhang, nanging malah nulis sairip ”pledoi” kang gamblang lan banget migunani, bisa dadi dokumen sejarah-e Sastra Jawa Gagrag Anyar.

Babarpisan PSJ ora digelar kanggo nyerang Yayasan Rancage. Kadidene saweneh ”talk show” takkira iku cara kang becik, senajan tujuane ora bisa karanggeh sawutuhe, nanging malah ana ”terdakwa” kang banjur njering karo hakim-e, ngono wae pilih-pilih, ora padha tangkepe marang kabeh hakim. Pak Ayip Rosidi wae ya rawuh nalika kuwi, lan saka rumangsaku apresiatif banget marang lumakune PSJ.

Prelu kawuningan, PSJ iku ginelar ing rerangken acara Pekan Budaya Jawa kang ing sajrone iku uga ana acara Masrahake Hadiah Rancage, saiyeg antarane Pemprov Jawa Timur, Unesa, lan Yayasan Rancage. Sangretiku ubat-ubete ngono kuwi. Lha, ngretine Kang Narko piye?

Iki uga ukarane Sunarko Budiman, ”Kersane Gusti Allah, taun 2010 Bonari Nabonenar nampa hadiyah Rancage uga. Critane piye, mung juri sing padha ngerti.” Sadurunge Sunarko Budiman kandha mengkono, ing saweneh kalodhangan wis ana wong liya kang mratelakake kanthi ukara kang luwih cetha, lan sawise bab iku dakcritakake dadi perangane artikelku kang uga kapacak ing Panjebar Semangat iki, aku banjur nampa tilpun saka Juri kang piniji nintingi sapa-sapa kang pantes nampa Rancage saka donyane Sastra Jawa. Bakune rembug, pratelan kang daktulis mung dhapur nirokake pangucape saweneh pawongan kang uga tau nampa Rancage kuwi mau pranyata ndadekake ora kepenake penggalihe ”Panitia.” Nalika nulis kuwi pikiranku ora nganti tekan kono, mbokmanawa kuwi tandha manawa gampang cupet nalare wong yen lagi emosional. Lan aku wis nyuwun ngapura. Lha, kok iki malah dibaleni maneh dening Kang Narko?

”Hara, apa iya mantan ”hakim pengadilan sastra Jawa” bakal dilungguhake minangka ”terdakwa”? Sapa gelem dadi hakim lan jeksane?” kandhane Kang Narko sabanjure. Takkira aku wis ngaturi ulem, senajan mung lumantar SMS supaya lawange Sanggar Triwida binuka kanggo ”ngadili” aku kang ngrumangsani tau digulawentah ing kono. Nanging, nganti seprene ora tau ana wangsulan.

[6] Buku Pasewakan


Ngenani buku Pasewakan, Kang Narko takon, ”Wragad saka ngendi panitia KSJ III nyithak buku atusan cacahe kanggo KBJ V? Apa ora cengkah karo ature Mas Bonari, ketua Panitia KSJ III mau sing jare mung kanggo nggrengsengake gumelare KSJ III ora kanggo souvenir KBJ V?”



Ngenani kepriye larah-larahe kok nganti buku Pasewakan uga dadi souvenir kanggo para peserta KBJ V, sajak bakal kedawan yen dijlentrehake nganti gamblang tenan. Nanging, amrih ringkese, ngene: Panitia KSJ III gawe proposal nyuwun bantuan prabeya marang Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kang ndilalah uga bakal nggelar kongres, aran Kongres Basa Jawa V. Nganti naskah Pasewakan wis tekan kamar percetakan, saelingku mung lagi nampa wangsulan lisan manawa KSJ III bakal entuk prabeya panyengkuyung saka Pemprov Jatim. Durung kawruhan pira gedhene prabeya panyengkuyung kuwi. Mula, sawise dadi buku, senajan ora kasebut ing atur ater-aterku ing samake ana logo Pemprov Jatim lan logo KBJ V. Iku dhapur atur panuwune Panitia KSJ III marang Pemprov Jatim. Kang luwih baku maneh, layang perjanjian kontrak kerja sama-ne wae ya ora ana. Dene ana paraga-paraga upamane aku kang ndilalah Ketua Panitia KSJ III uga melu dadi anggota Panitia KBJ V, iku Bonari-ne, dudu Ketua KSJ III. Mulane ora trep yen diarani ana ”kerja sama” ing antarane Panitia KSJ III karo Panitia KBJ V.

Nalare, yen diarani kerjasama Panitia KBJ V karo Panitia KSJ III, kudu ana paragatama, kaya ta: Keliek SW, Daniel Tito, Sucipto Hadi Purnomo kang kudune uga dadi perangane Panitia KBJ V. Lho, para paragatama KSJ kang kasebut kuwi mau (senajan Mas Keliek SW wis arang ngaton) aja maneh dikatutake dadi Panitia KBJ V, diulemi supaya dadi peserta wae ora, lho! Ing prekara iki, eman dene Kang Narko ora tau takon, nlesih, apa nyarawidekake langsung marang Sumber A-1 sakdurunge mbabar andharane. Apa ngono kuwi ora klebu ngremehake Panjebar Semangat kang dibabar kanggo sesuluh lan tuntunane rakyat iki?

Kanthi data cumpen tur ora akurat kuwi malah Kang Narko gawe rumus matematika barang. Walah! Rumus kuwi rak ya padha karo teori. Teori kuwi digawe saka data kang cukup, kang kudu ditata lan diwaca kanthi becik. Lha, bali maneh, Kang Narko sajake ora mentingake akurasi kuwi. Kamangka, arepa diaranana pengarang kuwi rak ya ora angger samubarang cukup dikarang, ta?

Nganti saiki, saka cathetanku, kang nutuh utawa komplain marang Panitia KSJ III gegandhengan karo buku Pasewakan ora luwih saka wong lima. Ana kang merga salah paham lan banjur bisa nampa kahanan, ana kang mutung, ana kang aran Mbah Brintik. Eloke, kang olehe alok paling sora lan magepokan karo anane iyuran Rp 100.000-an malah Sumono Sandy Asmoro (kang ora melu urun karya amarga ora ora cocog karo program mbabar buku-ne KSJ III) karo Sunarko Budiman (kang wis kadhung mbayar).

[7] Bothekane KSJ III

Ing rumus matematikane Kang Narko, di-nak-nik sesambungane buku Pasewakan lan dhuwit kang ditampa dening Panitia KSJ III. Yen diwangsuli nganggo ukara cekak, Panitia KSJ III entuk dhuwit akeh. Nanging wragate KSJ III kuwi ya ora sethithik. Jelase, angkane kepriye? Lha, iki Panitia KSJ III wae durung ditutup/dibubarake. Tur takkira ora ana aturan kaya perusahaan go public kang kudu mbiwarakake Prospektus-e lumantar ariwarti/kalawarti umum. Ana sistem pertanggungjawaban kang sangretiku ora dilanggar dening Panitia KSJ III.

Dene Kang Narko kepengin ngreti larah-larahe dhuwit mlebu menyang lan metu saka Panitia KSJ III, Bonari kuwi sapa, JFX Hoeri kuwi sapa? Apa abote kirim SMS, utawa nilpun, utawa kirim layang setrum? Kuwi yen Kang Narko isih gelem tenan ngaku sedulur. Isih nganggep Panitia KSJ III kuwi dudu ”mungsuh.” Nanging, ya embuh wae lamon sanyatane kepengin nlesih mengkono nanging rumangsa ora kepenak amarga eling yen tau kabotan lan ora nglilani logo-ne Triwida (miturut katrangan saka Pak Hoeri) kapasang kanggo ngombyongi logo-logo liyane ing buku Pasewakan kuwi. 





Iki ana cara maneh kang wus ana preseden-e. Ngadhepi tumapake KBJ IV ing Semarang (2006), dipandhegani dening Sucipto Hadi Purnomo, Jurusan Basa Jawa Unnes gawe acara Sarasehan ”Menakar Akuntabilitas KBJ V” (muga-muga ora salah tembung mbaka tembung-e). Kudune Triwida, Sanggar Triwida utawa Yayasan Triwida, bisa gawe acara ”Naker Akuntabilitase KSJ III.” Ngono kuwi kang pantes diarani cerdas. –Aja nganti mengko banjur ana wangsulan, ”Iya pancen aku mendho…” mirip olehe nanggapi sebutan ”sugih” lan “sekeng” kae. Ora kaya ngono kuwi carane wong tukar padu ngudi wudharing nalar. Sumono, eh sumangga, aja kaya wong ora ngreti cara!*

[Bonari Nabonenar, Ketua KSJ III]


--Panjebar Semangat Nomer 7, 18 Februari 2012

Militansi yang Menghidupi Sastra Jawa

Ichwan Prasetyo


Hari Sabtu, 29 Oktober 2011, saya datang di acara Kongres Sastra Jawa (KSJ) III di Desa Wisata Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saya mendapat jatah berbicara di sesi tentang media massa berbahasa Jawa di tengah perkembangan media massa berbahasa Indonesia. KSJ III diselenggarakan tiga hari, Jumat-Minggu, 28-30 Oktober 2011.


Lokasi acara adalah sebuah desa berjarak 22 kilometer ke arah barat dari ibukota Kabupaten Bojonegoro. Sebuah desa yang sepi tapi bersih dan asri. Untuk menuju ke lokasi acara, panitia KSJ III menyediakan fasilitas penjemputan. Peserta datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sarana transportasi umum menuju lokasi acara dari ibukota Kabupaten Bojonegoro hanya bus 3/4 jurusan Bojonegoro-Nganjuk PP yang kebetulan milik Kepala Desa Jono.

Namun, bus yang hanya beberapa unit itu jeda kedatangan dan keberangkatannya sangat lama, bisa lebih dari satu jam. Angkutan yang paling cepat adalah ojek, sekali jalan Rp 20.000-Rp 25.000 tergantung negosiasi dengan pengemudinya. Dari Solo saya sengaja memilih numpang bus angkutan umum, sekalian bernostalgia zaman muda dulu ketika sering beravonturir ditemani ransel, selembar kaus cadangan, sikat gigi, handuk kecil dan buku bacaan. Saya sampai di Terminal Bus Rajekwesi Bojonegoro pukul 11.30 WIB dan jatah sesi saya adalah pukul 13.30 WIB. Demi memburu waktu, saya memutuskan menyewa ojek.

Pak Sarno, tukang ojek itu, saya temui saat salat Duhur berjemaah di musala terminal bus itu. Orangnya sederhana. Dia sebenarnya petani. Saya dikenalkan dengan Pak Sarno oleh imam musala terminal itu. “Kalau mau ngojek dengan tukang ojek yang biasa salat di sini saja,” kata imam musala yang akrab disapa Pak Mardi itu.

Di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 20 menit, Pak Sarno bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Dia sebenarnya petani dan peternak. Dia punya lahan di dekat Terminal Bus Rajekwesi. Dia punya beberapa ekor sapi. Ngojek dia sebut sebagai hiburan semata. “Yah, alhamdulillah, Mas, ada hiburan. Hari ini saya bersyukur setelah salat ketemu panjenengan, dengan diawali ibadah insya Allah rezeki saya barokah,” kata dia.

Pak Sarno memang sangat ramah, khas orang Jawa. Kami berboncengan sepeda motor Honda produksi tahun ‘90-an menyusuri jalan beraspal nanmulus menuju Desa Jono, sebuah desa wisata di kawasan Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Satu kilometer sebelum lokasi acara, kami kehujanan.

Kami berteduh di sebuah toko batik khas Bojonegoro yang belakangan saya ketahui ternyata juga milik Kepala Desa Jono. Beberapa orang yang berada di toko itu, laki-laki dan perempuan, remaja dan tua, mempersilakan kami masuk ke dalam, namun kami tolak. Saya merasakan kembali keramahan khas wong Jawa.

Dan sebagaimana jamaknya wong Jawa, kami berdua sudah cukup puas diizinkan berteduh di tritisan toko batik itu. Sesekali, mereka mengajak ngobrol kami yang kedinginan berteduh di tritisan tokok itu. Sekitar 20 menit kami berteduh.
Setelah pamit kepada penunggu toko itu, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi acara. Pak Sarnolah yang bertanya-tanya rute menuju tempat KSJ III. Sekitar 300 meter dari lokasi acara terlihat spanduk dan umbul-umbul yang memandu arah menuju lokasi acara, sebuah rumah berdesain joglo yang sederhana, tak jauh dari rumah Kepala Desa Jono.

Tiba di lokasi acara pas makan siang. Saya yang sudah kelaparan langsung ikut antre makan di belakang pendapa bangunan joglo itu. Di sana, saya melihat sastrawan dan budayawan Arswendo Atmowiloto dan begawan sastra Jawa Suparto Broto berbaur dengan peserta lain, bersama-sama makan siang di tempat yang sederhana itu.
Mereka berdua tak diistimewakan. Ikut antre mengambil makanan, kemudian memilih tempat sendiri untuk duduk. Mereka akrab berbaur dan berbincang-bincang dengan komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang sangat beragam itu, laki-laki perempuan, tua muda, bahkan ada beberapa remaja.

Bangunan joglo itu berdinding setengah batako dan setengah kayu. Lantainya hanya plesteran semen yang kasar. Menu makan siang yang disajikan adalah menu khas masakan desa di kawasan Bojonegoro. Semua serba pedas, tapi saya suka. Benar-benar masakah khas desa. Ada gudangan, sayur tewel atau gudek dengan kuah yang pedas rasanya, ada bothok, tempe goreng, nasi jagung, nasi liwet, nasi tiwul dan berbagai jenis masakan khas pedesaan lainnya.

Di acara itu saya juga bertemu Diah Hadaning, perempuan yang sudah berpuluh-puluh tahun menggeluti sastra Jawa. Ketemu pula dengan sastrawan Jawa Bambang Nursinggih dari Jogja yang masih produktif menulis cerita cekak (Cerkak). Dari kalangan muda ada Sucipto Hadi Purnomo, esais dan dosen sastra Jawa di Universitas Negeri semarang (Unnes). Saya lihat pula wajah-wajah yang tak asing di dunia sastra Jawa.

Sayang, saya tak ketemu Daniel Tito, mantan wartawan yang kini konsisten menggeluti sastra Jawa dan nyambi jadi kontraktor di Sragen. Dia datang hari Jumat. Saya juga tak ketemu dengan Ki Demang Sokowaten yang nama aslinya Sudharto yang kini punya website khusus tentang sastra dan budaya Jawa. Website milik Ki Demang asal Jogja ini diakses dari seluruh penjuru dunia, tingkat kunjungannya cukup tinggi. Situs ini selalu diperbarui dan lumayan menyediakan banyak referensi tentang budaya dan sastra Jawa.

Saya merasa mendapatkan sesuatu yang luar biasa di forum yang begitu cair. Kejawaan sangat terasa di acara itu. Semua orang ramah. Saling bertegur sapa walau tak kenal. Seorang lelaki separuh baya yang sempat menyapa saya, langsung memuji-muji dan menepuk pundak saya begitu saya memperkenalkan diri dari Harian Umum SOLOPOS. Laki-laki itu adalah dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang beberapa kali membaca suplemen berbahasa Jawa Jagad Jawa di SOLOPOS yang terbit tiap kamis.
“Wah, njenengan sing kerep nulis ning Jagad Jawa ya. Wah apik tenan, Mas. Apik banget,” kata dia sembari antre untuk mengambil nasi. Saya merasa senang karena ternyata media tempat saya bekerja dikenal banyak sastrawan Jawa. Dan memang tak hanya laki-laki itu yang langsung berbinar matanya ketika saya mengenalkan diri sebagai jurnalis SOLOPOS. Begitu mendengar kata SOLOPOS, mereka langsung menyebut Jagad Jawa.

Forum KSJ III memang sungguh luar biasa. Itu kesan saya. KSJ berasal dari ide para sastrawan Jawa yang merasa jengah dengan rutinitas Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang difasilitasi pemerintah, namun hingga kini tak kuasa membangkitkan budaya, bahasa dan sastra Jawa agar menjadi kuncara lagi. Sebagaimana dua KSJ sebelumnya, KSJ III juga diselenggarakan berbekal militansi murni.

Semua peserta, narasumber dan panitia urunan minimal Rp 100.000 untuk membiayai acara yang dihadiri kurang lebih 200 orang selama tiga hari itu. Menurut Ali Syafaat, salah seorang anggota panitia KSJ III, Pemkab Bojonegoro memberikan bantuan Rp 15 juta yang habis untuk biaya konsumsi. Pemprov Jatim punya komitmen memberi bantuan, tapi sampai acara terselenggara, uangnya belum cair.

Ketua KSJ III Bonari Nabonenar mengatakan KSJ memang terselenggara dengan bekal militansi. Semua peserta dan pembicara yang tergolong sastrawan Jawa senior, sastrawan Jawa yunior, pencinta sastra Jawa, guru dan dosen Bahasa Jawa, pengamat sastra Jawa dan lainnya, datang atas biaya sendiri, bahkan urunan untuk mendukung acara itu.

Tapi, menurut saya, justru itulah semangat yang sampai kini sanggup menghidupi dunia sastra Jawa. Dalam salah satu sesi diskusi, Diah Hadaning mengatakan sastrawan Jawa harus menjadi seniman sastra Jawa, bukan tukang sastra Jawa. Seniman sastra Jawa hadir dan berkarya karena panggilan nurani untuk melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa. Sedangkan tukang sastra Jawa berkarya demi mendapatkan honor, bayaran atau keuntungan materi lainnya. Di dunia sastra Jawa–saat ini,kata Diah, tukang sastra Jawa takkan bertahan hidup.

“Tapi kondisi seperti ini memang tak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah tetap harus berperan serta, bahkan berada di garis depan, untuk menghidupkan, memberdayakan dan mengembangkan sastra Jawa,” kata Yusuf Susilo Hartono, sastrawan Jawa dari Jakarta, dalam salah satu sesi diskusi.

Menurut Bonari, strategi jangka panjang KSJ memang untuk mengangkat harkat dan martabat sastra Jawa–dan tentu saja dengan demikian juga budaya Jawa. Tiga kali KSJ diselenggarakan memang belum menunjukkan efek nyata atas kehidupan sastra Jawa. Sastra Jawa hingga kini tetap termarginalkan, terpinggirkan dari arus besar kebudayaan di negeri ini. Tetapi, militansi itu, kata Bonari, dia pastikan takkan luntur. Sastra Jawa yang tengah sakit terbukti tetap melahirkan sastrawan-sastrawan Jawa generasi muda.

JFX Hoeri, seorang laki-laki tua motor penggerak Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) dan juga menjadi anggota panitia KSJ III, adalah salah satu tokoh senior sastra Jawa yang hingga kini tak kenal lelah menularkan kecintaannya pada sastra Jawa. Di PSJB, dia bersama Ali Syafaat dan pengurus lainnya tak pernah lelah menyelenggarakan workshop kecil-kecilan bagi generasi muda yang berminat dan tertarik dengan sastra Jawa. PSJB juga rutin menyelenggarakan lomba menulis geguritan dan Cerkak yang kemudian secara swadaya diterbitkan menjadi buku antologi.

Dalam KSJ III, Halim HD, pekerja jaringan kebudayaan dari Solo, mengingatkan bahwa narasi besar cita-cita menghidupkan dan memberdayakan sastra Jawa tak boleh lepas dari kebudayaan Jawa. Halim mengemukakan contoh keberhasilan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa mengembangkan kebudayaan Jawa. Menurut Halim, dengan mencontoh Ki Hajar Dewantara, narasi besar cita-cita menghidupkan dan mengembangkan sastra Jawa akan berhasil ketika kebudayaan Jawa hidup dan dihidupi dalam keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat luas.

Saya sepakat dengan lontaran Halim ini. Dan saya juga sepakat bahwa kini sastra Jawa tetap hidup karena militansi para pencintanya. Militansi ini yang perlu dikembangkan guna menciptakan budaya literasi kejawaan. Sebenarnya, jika melihat sejarah, wong Jawa sesungguhnya masyarakat yang menjunjung tinggi budaya literasi. Karya-karya besar sastra Jawa era dulu adalah bukti tingginya budaya literasi wong Jawa.Sayangnya, kini budaya literasi itu semakin menipis.

Kini, generasi muda Jawa, memilih membelanjakan uang demi HP terbaru, atau gadget teknologi informasi dan komunikasi lainnya, daripada untuk membeli dan membaca buku–apalagi untuk bacaan berbahasa Jawa. Kesimpulan sementara saya, militansi para pencinta sastra Jawa itulah yang sampai kini menghidupi sastra Jawa. Militansi itu tak boleh surut. Sampai kapan pun selama masih ada wong Jawa. Militansi itu yang menjadi benteng terakhir budaya dan sastra Jawa dari gempuran globalisasi yang antikebudayaan dan kemanusiaan itu.*

Saka cathetan ing Facebook-e Mas Ichwan Prasetyo [31 October 2011 | 17:13]

Sunday, February 19, 2012

Kulawarga Sumber Kabudayan

Dening: Ki Jlitheng Suparman




asor-sore ngaurip puniki
ora liya anyingkur ing rasa
... rasa rumangsane dhewe
anggepe asalipun
dudu saking bangsa trah Jawi
kasusu ingaranan
wasis pinter maju
uwohe ngrusak budaya
swuh budine kang luhur miwah utami
temah dadi urakan

(Macapat Dhandhanggula, Paku Buwono IX)



Saderengipun, kula ngaturaken panuwun awit lumantar pirembagan prasaja menika kula dipunparingi wekdal caos atur ngengingi sangu bab kabudayan ingkang prayogi dipunparingaken dhateng para putra ing salebeting lingkungan kulawarga.

Ing pirembagan padintenan kita asring mireng pangresula: “Bocah saiki wis padha ora ngerti unggah-ungguh lan tata karma, wis padha ora ngerti marang budayane dhewe”. Pancen kaprahipun lare samenika sampun boten mangertos bab subasita; tatasusila lan tatakrama. Tandang-tanduk pakartinipun sampun boten nggambaraken watak-wantuning tiyang Jawi. Kaprahipun para putra sami nyengkok utawi ngiblat dhateng tandang-tanduk utawi pakarti ingkang sumberipun saking kabudayan manca ingkang dereng kantenan trep kaliyan jiwa-pribadinipun. Pakarti ingkang geseh kaliyan watak-wantuning kabudayan Jawi.

Kawontenan gesangipun lare samenika ingkang kados makaten kalawau kenging menapa ndadak nuwuhaken raos prihatos? Menapa ingkang dipun kuwatosaken?

Suraos tembang Dhandhanggula ing nginggil paring wewarah dhateng kita ngengingi sabab-musababipun lare utawi tiyang ngemohi dhateng kabudayanipun lan kados pundi temahanipun. Inggih awit kasurung manah kepengin dipunwastani tiyang ingkang wasis, pinter tuwin maju (modern). Mila lajeng samukawis ingkang lami dipunanggep kuna, kabudayan manca dipunanggep langkung modern, lajeng agahan nilaraken samukawis bab ingkang lami utawi kabudayanipun piyambak. Boten nglegewa (sadar) bilih pakarti ingkang mekaten ngrisak budaya (kapribaden). Amargi boten purun malih ngugemi budi-pakarti ingkang luhur miwah utami wekasanipun dados urakan (liar). Mila boten lepat menawi para sepuh sami kuwatos ndulu dhateng kawontenanipun para putra ingkang kados dene kecalan kiblat paugeran gesang, inggih punika nilai-nilai etika wohing kabudayan Jawi, satemah kawistingal tilar tatanan (urakan). Tiyang urakan utawi nilar tatanan tartamtu uwohipun boten badhe sae tumrap dhiri-pribadinipun menapa dene tumrap gesang lan panggesangan ingkang langkung wiyar.

Kanthi mekaten kula remen saha nyengkuyung sanget dene samangke tuwuh greget saking para ibu ingkang kepengin paring sangu kabudayan Jawi dhumateng para putra murih boten kecalan kiblat budi lan pakarti.

Saderengipun kula matur ngengingi sangu bab kabudayan ingkang prayogi kangge alaming putra ingkang taksih timur ing salebeting kulawarga, langkung rumiyin kanthi reringkesan kula matur ngengingi: kabudayan menika menapa; tuk sumber ilining kabudayan menika mapan wonten pundi, sinten ingkang dados wadhahing sumber menika?

Kabudayan

Tarkadhang kita asring ngrembag bab kabudayan. Namung kemawon, kaprahipun menawi ngrembag kabudayan lajeng namung tumuju dhateng kesenian. Menika kirang trep. Kesenian namung perangan alit saking kabudayan. Ingkang dipun wastani kabudayan menika jembar tebanipun. Kabudayan menika tegesipun: sedaya pambudidayaning manungsa ingkang awujud kapitadosan, kawruh, basa, pakarti ‘tingkah laku’, tatacara, pirantos-pirantos saha barang wewangunan ingkang tumanjanipun kangge ngrampungi sedaya prekawis lan kapreluwan gesanging manungsa. Mila kabudayan menika wujudipun sakelangkung kathah, kados ta: ‘kapitadosan’ kangge ngrampungi kapreluwanipun manungsa sesambetan kaliyan Gusti Allah; basa, tatasusila lan tatakrama kangge ngrampungi kapreluwan pasrawunganipun manungsa kaliyan manungsa; teknologi wohing kabudayan kangge nggampilaken pakaryan; griya kangge ngrampungi kapreluwanipun manungsa murih boten kodanan lan kepanasen; resep masakan wohing kabudayan kangge ngrampungi kapreluwanipun ibu-ibu ngladosi dhaharan ingkang miraos kangge kulawarga; lan sapanunggilanipun.

Kabudayan sayektosipun mbekta watak-kapribaden tumrap manungsa utawi tetiyang ingkang nggadhahi kabudayan menika. Kabudayan ingkang sae badhe ndayani watak-kapribaden tetiyangipun sae. Kabudayan ingkang awon inggih badhe ndayani watak-kapribaden tetiyangipun awon. Awon-saenipun kabudayan menika ukuranipun menapa? Ukuranipun mapan wonten ing manfaat ‘tumanjaning’ kabudayan menika tumrap gesang lan panggesanganipun manungsa. Namung sampun ngantos kesupen, ingkang dipunwastani gesang lan panggesanganipun manungsa menika kalebet alam raya saisinipun. Kabudayan ingkang tumanjanipun sae tumrap manungsa nanging awon tumrap lingkungan alam, menika kalebet kabudayan ingkang awon.

Wos utawi inti kabudayan menika awujud subasita (etika), inggih menika pranatan ingkang ngatur dhateng tingkah-laku utawi pakartinipun manungsa. Anut kabudayan Jawi, etika tumrap manungsa kaperang dados tiga, inggih punika: etika sesambetanipun manungsa kaliyan manungsa; etika sesambetanipun manungsa kaliyan Gusti Allah; saha etika sesambetanipun manungsa kaliyan alam raya saisinipun. Etika menika daya mupangatipun murih nebihaken manungsa saking pakarti ingkang nuwuhaken samubarang ingkang awon tumrap gesang lan panggesangan.

Kulawarga Sumber Kabudayan

Kabudayan badhe gesang mecaki jaman menawi dipun-gulawenthah murih lestantun lan ngrembaka. Panggulawenthahing kabudayan menika sayektosipun wiwitanipun boten saking pundi-pundi, boten saking pamarentah, boten saking lembaga pendidikan, nanging saking kulawarga. Kekempalaning kulawarga-kulawarga punika ingkang sayektosipun dipunsebat masyarakat. Lestarining kabudayan ing masyarakat kawiwitan saking lestarining kabudayan ing kulawarga-kulawarga anggota masyarakat punika. Mila saged dipunwastani bilih kulawarga minangka sumber kabudayan, ingkang tegesipun lumunturing budaya sakin generasi setunggal dhumateng generasi salajengipun kawiwitan saking lingkungan kulawarga.

Lare nampi warisan budaya sepisanan inggih punika saking kulawarganipun, mliginipun saking tiyang sepuhipun, rama-ibu. Ing ngajeng kula sebataken, budaya menika wangunipun maneka-warna: basa, tingkah-laku, kapitadosan, kesenian lan sapanunggilanipun. Bayi lahir ceprot rumagang dados lare, wiwitan sinahu wicanten saking sinten? Saking rama-ibu! Sinau wicanten menika boten namung sinau mungel, nanging wiwit alit sampun sinau ngecakaken basa ingkang leres saha trep unggah-ungguhipun. Semanten ugi nalika dipun kudang ngangge tetembangan, lare menika inggih wiwit sinau bab nembang utawi kesenian tataran dhasar.

Kathah pakartining rama ibu ingkang nggulawenthah lare wiwit bayi ngemu suraos marisaken kabudayan dhateng putra. Mila tiyang sepuh, rama-ibu, ingkang nggadhahi kawruh lan kesagedan bab kabudayan ingkang pepak tartamtu badhe saged maringi warisan kabudayan dhateng putranipun langkung jangkep.

Warisan kabudayan ingkang kawarisaken saking rama-ibu dhateng putra punika saged dipunwastani taksih tataran dhasar. Nanging sampun klentu ing panampi, tataran dhasar menika tataran ingkang langkung wigatos amargi dados landhesan tumrap watak-wantunipun lare ing tembe wingkingipun nalika diwasa. Pramila tiyang Jawi rumiyin sanget wanti-wanti, nggulawenthah putra kedah ngatos-atos lan premati. Lepat panggulawenthahipun badhe awon tumanjanipun tumrap wataking lare, kosok wangsulipun leres panggulawenthahipun inggih badhe sae tumanjanipun tumrap wataking lare ing tembe wingkingipun. Nggulawenthah, mulang-muruk dhateng lare boten benten kados tiyang olah-olah. Bebakalanipun (bahan baku) pepak, bumbunipun jangkep, tur ingkang olah-olah prigel-pinter anggenipun ngracik, tartamtu dhaharan ingkang dipunasilaken inggih miraos saestu.

Ibu Minangka Guru Bakal

Miturut kawruh Jawi, tiyang gesang menika sinau dhateng guru cacah tiga, inggih punika: guru bakal, guru dadi lan guru sejati. Guru bakal inggih punika guru ingkang mucal dhasar-dhasaring kawruh lan kesagedan. Guru dadi ingkang mangun kawruh lan kesagedaning siswa langkung inggil lan wiyar. Guru sejati ingkang nedahaken bab kawicaksanan anggenipun ngecakaken kawruh lan kesagedanipun saengga tumanja tumrap gesang lan panggesangan. Lha lajeng guru tetiga punika mapanipun wonten sinten utawi wonten pundi? Guru bakal menika kulawarga mliginipun ibu, guru dadi inggih punika lembaga pendidikan lan lingkungan, guru sejati inggih menika pengalamanipun manungsa piyambak salebetipun nglampahi gesang.

Kados pundi leregipun dene ibu dipunlenggahaken minangka guru bakal? Amargi kaprahipun ingkang kelangkung caket kaliyan putra wiwit bayi menika sanes sinten-sinten kejawi namung ibu. Pramila ibu minangka paraga utami ingkang mucal dhateng putra bab dhasar-dhasar kawruh lan kesagedan. Ngibarat inggih ibu ingkang mbebakali kawruh saha ngelmi dhateng para putra. Ngibarat wiwit saking ngobahaken lathi, asta miwah suku kawiwitan saking ibu ingkang anuntun. Inggih hakekat obahing lathi, asta miwah suku ingkang sae punika ingkang mangkenipun dipunwastani kabudayan.

Mila dhawah leres menawi ing kalodhangan menika ibu-ibu ingkang kagungan greget rerembagan bab kabudayan ingkang prayogi kawarisaken dhateng para putra, inggih awit saking lenggahipun minangka guru bakal. Mliginipun ibu-ibu mudha ketingalipun kedah wiwit sinau bab kabudayan boten ketang ingkang prasaja tataran dhasar, awit inggih wonten ing astanipun ibu-ibu punika kados pundi wangun kapribadening putra ing tembe wingking. Kerata basa utawi jarwa dhosokipun guru ‘digugu lan ditiru’. Ingkang dipun-gugu tembungipun, ingkang dipuntiru pakartinipun. Mila menawi kepengin para putra mangke tetep ngregem kapribaden Jawi, purun boten purun ibu-ibu kedah saged ngendikan saha tumindak-makarti ingkang sae lan leres miturut paugeran lan jiwa budaya Jawi.

Lha ing mangke, kawruh kesagedan dhasar ingkang prayogi kaparingaken dhateng putra murih boten singlar utawi menceng saking jiwa-kapribaden budaya Jawi menika menapa kemawon?

Sumangga kita wangsulaken dhateng sanepan obahing lathi, asta, miwah suku. Obahing lathi ateges sesambetan kaliyan patrap-pangucap, obahing asta sesambetan kaliyan kaprigelan lan kawasisan, obahing suku ateges sesambetan kaliyan tumindak-pakarti ingkang luhur lan utami.

Basa Sumber Kapribaden

Wonten ungel-ungelan “ajining dhiri saka lathi, ajining sarira saka busana”, menika tegesipun menapa? Ajining dhiri mapanipun wonten ing kapribaden (kharakter). Tiyang ingkang kapribadenipun sae utawi luhur tartamtu dipunkormati dening akathah. Kosok wangsulipun menawi tiyang kabribadenipun awon utawi asor inggih tartamtu dipunasoraken utawi boten dipunajeni dening tiyang sanes.

Kapribadenipun tiyang saged dipuntingali kawiwitan saking pangandikanipun: kedaling lathi nalika wicanten, suraosipun wicanten, sarta patrapipun nalika wicanten. Kedaling lathi inggih punika nyakup babagan mranata suwanten saha wijangipun tembung. Nalika ngendikan suwantenipun dipuntata sora-lirihipun, wonten wiramanipun, lan tembung-tembung ingkang dipunucapaken kapireng cetha.

Suraosipun micara anyakup pamilihing tembung, panataning ukara, wos isining pangandikan. Pamilihing tembung, kados pundi migunakaken tembung-tembung ingkang sae, boten kasar utawi saru, trep undha-usuking basa. Panataning ukara, inggih punika racikaning tembung runtut boten kewalik-walik. Suraosing pangandikan tansah tumuju dhateng kesaenan sarta saged nedahaken wiyaring kawruh sarta nguwaosi prekawis ingkang dipun ngendikakaken.

Patrap nalika wicanten inggih menika solah-bawa utawi patraping raga. Kados pundi nalika ngendikan tansah anedahaken patrap ingkang anoraga (santun), boten ketingal sumongah (sombong) nanging ugi boten ketingal mringkus (rendah diri). Raga jenjem, polatan tajem, saengga boten ketingal rongeh.

Lha sapunika ngengingi mucal lare babagan basa kados pundi? Mesthinipun boten lajeng mbujung paugeran etik kados katerangan ing nginggil, nanging dipunjumbuhaken kaliyan alaming lare. Wondene ingkang prayogi dipunwigatosaken: (1) nglatih wicanten ingkang leres; (2) nglatih patrap ingkang leres; (3) pakulinan pangetraping basa ing lingkungan kulawarga.

Nglatih wicanten ingkang leres kawiwitan saking tembung-tembung ingkang prasaja nanging trep undha-usuking basa saha wijang kedaling lathi. Undha usuking basa, upaminipun pangetraping tembung ngoko, madya, lan krama inggil. Sampun ngantos kangge diri-pribadinipun dipunkramakaken, upaminipun: “kula badhe siram”. Kangge diri-pribadi ingkang trep inggih “kula badhe adus”. Makaten salajengipun. Wonten ing tembung-tembung jawi kedah cetha anggenipun mbentenaken pekecapan swanten: kadosta ‘ā’ kaliyan ‘å’, lan sapanunggilanipun. Semanten ugi kedal ‘t’, ‘th’, ‘d’, lan ‘dh’.

Kejawi mapanaken tembung ingkang leres, salebetipun wicanten inggih kagladhi patrap ingkang leres utawi sae. Patrap ngapurancang menawi wicanten ing ngajengipun piyantun ingkang langkung sepuh, patrap mendhak menawi mlampah nglangkungi ngajengipun tiyang, lan sapanunggulanipun.

Basa ambekta patrap ‘bahasa membawa sikap’. Basa Jawi sayektosipun satunggaling basa ingkang mbekta watak kebak subasita. Menawi wiwit alit kagladhi basa Jawi kanthi leres, kula pitados mangkenipun lare punika badhe gadhah kapribaden ingkang nengenaken dhateng tatakrami lan tatasusila. Mila tiyang Jawi, mliginipun tiyang Surakarta, ing pundi papan dipunkondhangaken alus patrapipun. Menika kabekta saking wataking basanipun. Basa Indonesia mbekta watak piyambak, basa Inggris mbekta watak piyambak, semanten ugi basa-basa bangsa sanesipun. Mila ngantos ing basa Indonesia wonten saloka ‘pepatah’; “bahasa menunjukkan bangsa”.

Pramila sumangga, menawi pancen kepengin generasi mudha kita salajengipun boten uwal saking kapribadenipun, purun boten purun kulawarga kedah mulang putra babagan basa. Menika baken sanget tumrap pambudidaya mangun kapribadenipun lare. Murih para putra saged ngecakaken basa kanthi saestu, kejawi dipunwucal paugeran ingkang leres, ingkang langkung baken lingkungan kulawarga ugi kedah ngulinakaken rerembagan padintenan ngginakaken basa Jawi.

Panggulawenthahing kabudayan tumrap lare, wonten ungel-ungelan: ngertine kelawan tetakon, bisane kelawan tetiron, sampurnane kelawan kulina. Menawi kulawarga-kulawarga setya migunakaken basa Jawi kangge sesambetan rerembagan padintenan ing lingkungan kulawarga, tartamtu para putra badhe saged ngecakaken basa Jawi kanthi langkung sempurna.

Kejawi pakulinan ngginakaken basa Jawi ing kulawarga, murih langkung sempurna sinaunipun lare, ugi prelu penyengkuyung sarana-sarana minangka jangkepipun buku-buku waosan abasa Jawi. Ingkang boten saged dipuntilaraken ugi inggih menika wiwit alit dipuntepangaken dhateng kagunan utawi kesenian Jawi, kawiwitan saking tembang-tembang dolanan, cariyos-cariyos, dongeng-dongeng, lan sapanunggilanipun ingkang sumberipun saking Jawi.

Dolanan Sumbering Kawasisan lan Kaprigelan

Wataking pawiyatan ‘sistem pendidikan formal’ ingkang lumampah ing jaman sapunika pancen boten saged dipunpaiben ndadosaken lare saya pinter. Ananging menawi dipunwawas kanthi premati, lare samenika namung kandheg wonten pinter. Bab wasis (cerdas) lan prigel (trampil) sayektosipun ringkih sanget utawi kirang. Awit ingkang dipun-gulawenthah namung ‘ngelmu apalan’. Kamangka ingkang dipunperlokaken dening manungsa menika pangertosan, boten namung “pinter” nanging “ngerti” utawi “wasis”. Satunggaling conto: satunggaling lare pinter sanget etung-etungan matematika. Nanging nalika dipunparingi cangkriman: wonten laler cacah sedasa mencok ing meja, dipun gebug pejah gangsal lajeng dipunbucal. Pitakenipun, taksih pinten laler ingkang kantun ing meja? Lare ingkang pinter matematika kalawau tartamtu mak ceg mangsuli taksih gangsal. Etung-etungan leres, nanging ngelmu kanyatan lepat. Jawaban ingkang leres inggih telas, jalaran ingkang gangsal sisanipun lajeng miber. Lha menika satunggaling canto prasaja mbentenaken antawis pinter kaliyan wasis utawi cerdas.

Semanten ugi bab kaprigelan “skill”, lare samenika kathah-katahipun ringkih. Jalaran samukawisipun sampun sarwa cumawis kanthi gampil (instan) lan kaprahipun keladuk dipunugung (dimanja), lare boten dipunkulinaken latihan rekaos kangge nyekapi kabetahanipun piyambak. Satunggaling conto babagan kabetahan dolanan. Dolananipun lare samenika langkung pepak lan sae. Namung wonten dalil anyar: saya pepak dolanane saya kethul kaprigelane saya gedhe srakahe. Lare menawi dipun uja dolanan tukon wedalan pabrik tartamtu boten gadhah pengalaman damel dolanan piyambak, mila lajeng kethul ketrampilanipun. Gandheng rumaos gampil anggenipun angsal dolanan, waton gadhah arta saged tumbas, lare menika boten gadhah raos pangeman. Anggenipun ngangge dolanan sak sekecanipun piyambak lan boten ajrih rusak jalaran menawi risak saged tumbas malih. Kajawi menika, gandheng jinising dolanan ing took menika pepak kathah sanget, lare boten gadhah pemarem. Kepenginipun sedaya dipuntumbas, namung kantun nari dhuwite, mila saya “gedhe srakahe”.

Kanyatan ing nginggil asring uwal saking kawigatosanipun para sepuh. Nguja dedolanan instan menika kathah awonipun tumrap ngrembakaning wataking lare. Mila prayogi wiwit alit dipunkulinakaken damel dolanan piyambak. Damel dolanan piyambak menika sakelangkung kathah mupangatipun. Kejawi lare dados prigel, ugi lare menika ngulinakaken gadhah raos marem, raos eman satemah ngopeni.

Wonten tigang mupangat ageng sesambetan kaliyan damel dolanan piyambak, inggih menika ngasah kaprigelan, ngasah kewasisan (kecerdasan), saha sinau ngendhaleni napsu. Ngasah kaprigelan, sampun cetha amargi kulina ngginakaken tanganipun ngrakit dolanan. Ngasah kewasisan, saged ngertos saestu makartining satunggaling barang, “ban montor bisa ngglindhing amarga wangune bunder lan diwenehi as”.

Nglatih ngendhaleni napsu, tiyang damel dolanan tartamtu ngginakaken kesabaran. Damel dolanan menawi boten sabar tartamtu boten dados, upami dados inggih awon. Nanging awon kados menapa menawi dolanan rakitanipun piyambak temtu langkung marem, dipunopeni amargi ajrih menawi risak, lan boten badhe gampil melik dolanan sanes amargi kulina boten marem menawi boten damel piyambak. Taksih kathah mupangat asipat kajiwan sanesipun tumrap lare sesambetan kaliyan damel dolanan piyambak punika, mbok bilih boten cekap wekdalipun kaandharaken wonten ing ngriki. Ingkang cetha, kanthi damel dolanan piyambak lare dados prigel, cerdas saha kreatif.

Tumrap Jawi, dolanan kabage dados kalih wujud inggih punika dolanan wujud barang lan dolanan wujud pakarti. Dolanan ingkang awujud pakarti kaprahipun boten namung katindakaken lare setunggal piyambakan, ananging katindakaken dening langkung saking setunggal lare. Ing kabudayan Jawi kathah dolanan awujud pakarti menika: kadosta engklek, dhakon, soyang, jamuran, njuk tali njuk emping, cublak suweng, gotri legendri, lan sapanunggilanipun.

Dolanan awujud pakarti menika ageng sanget mupangatipun tumrap mangun kapribadening lare. Wiwit alit sampun sinau srawung, rukun, sayuk lan panunggalan. Kanthi dolanan menika lare dipunlatih boten egois, awit sampun sinau nggatosaken hak-hak saha raos-pangraosipun rencang sanesipun sapadolanan. Upamia boten saged dolanan kaliyan rencang sanjawining griya, lare saged kaajak dolanan kaliyan tetiyang salebeting kulawarga.

Sayektosipun taksih kathah ingkang saged dipunrembag sesambetan kaliyan kabudayan Jawi ingkang prayogi kaparingaken dhateng lare salebeting lingkungan kulawarga kanthi cara wantah menapa dene samudana. Namung kawengku ing wekdal ingkang winates, mbok bilih menika rumiyin ingkang saged kawula aturaken, mugi piguna.

Matur nuwun.

Kaaturaken ing Sarasehan PKK Kecamatan Banjarsari, Surakarta
Kamis, 30 Juni 2011

--Foto lan seratan saking Grup "Sastra Jawa Gagrag Anyar" lan "Facebook"-ipun Ki Jlitheng Suparman

Saturday, February 18, 2012

Eling Poma Dipuneling, Dulur*

(Nanggapi Sumono SA lan Bonari Nabonenar)

Dening : Narko “Sodrun” Budiman **)



Pangiraku tumus temenan, prasasat nggugah kremi turu, andharane dhimas Sumono Sandy Asmoro ngenani “Sing Isih kececer saka Lumakune Gerbong KBJ-KSJ” (PS No.2- 14 Januari 2012 kaca 25). Ing PS No 5 (4 Februari 2012) dhimas Bonari Nabonenar jejere Ketua Panitia KSJ III nyoba mbeberake kanyatan kang beda kanthi “Urunan Mbabar Buku Iku Ibarate Wong Nandur.” Dudu bab gebyar lan lumaku-rancage kongres kalorone. Dudu bab honor pemakalah ing Kongres Basa Jawa (KBJ) V Surabaya. Awit ing Kongres Sastra Jawa (KSJ) III Bojonegoro ora ana honor. Uga dudu mapane KBJ ing hotel lan KSJ ing omahe pendhudhuk.


Yen mapane kongres mau wis karan “garis” saka sing kawogan. Tandha yekti sepira kawigaten mirunggan saka “wong Jawa” tumrap basa lan sastra Jawa. KBJ manggon ing hotel berbintang kuwi mbuktekake yen wis wayahe basa Jawa lan pawongan kang sandhung jegluge karo basa Jawa kuwi pantes layak mapan ing panggonan kang kinurmat. Ora panggah mapan ing sadhengah papan kanthi pawadan “halah kadak mung basa Jawa ae lho, sing penting rak niyate.” Pawadan ngono kuwi kuno! Ketara yen wis ora ngajeni karo basa ibune, basa Jawa.

Wondene kok KSJ mapan ing pomahan padunung kanthi mangan lan turu sak-anane kuwi uga krana wis ginaris yen kekarepane sing kawogan (panitia?) ya mung gaduk pamikire sakmono kuwi. Sastra (wong) Jawa iku nedha nrima (awit yen ra nedha ya kaliren?). Sastra Jawa iku “identik” karo kesederhanaan hidup (?). Sak-anane. 0ra usah neka-neka. Aja ngaya. Anane iki ya iki, duwene iki yen kurang ya… embuh piye eguh pratikele kalebu golek bantuwan lan sponsor. Apa ngono tenan?

Samubarang gawe iku pancen ora luput saka “plus-minus” luwih lan kurang, kang tundhone dadi pro-kontra tumuju ing seneng apa ora seneng (like or dislike). Ngladeni karepe wong akeh kuwi uga ora gampang, ya ora angel. Lire, arep dikayangapa, karepe gawe senenge ngakeh tan wurunga ya dicacat, lan dipaido. Sejatine yen tumrap pangangan ngono wong-wong kuwi seneng “dolu” dipaido ning diulu. Ora diulu kuwi kepriye kadhung dimamah, ora diulu kuwi kok gorokane simpangan angin kepingin maido. Kurang ngene, kurang ngono, kurang legi lan kurang asem! Nganti sok keladuk “kurang gawe”?

Melik Nggendhong Lali

Ngrantes rasane atiku yen ngrasakake andharane sedulur lanangku dhimas Bonari. Sajak kepenak dhimas Bonari gawe dudutan, “Yen prasasat angger obah (nulis) metung dhuwite mbokmenawa loro badhene, pengarang professional nanging matadhuwiten, utawa pancen sekeng tenan (PS No.5 kaca 26 klm 1). Dhuuh..dhuuh Gusti Allah kula nyuwun sedherek kula kaparingana sami emut…. Durung entheng anggonku unjal ambegan banjur ukarane dhimas Bonari maneh ngene, “Yen dietung dhuwit, olehe cucul Pak Parto (Suparto Brata, NSB) kuwi ora mung sakyuta-rong yuta nanging puluhan, kepara malah atusan yuta rupiayh lho! Lha kok sing lagi kelangan satus-rong atus ewu wae wis nggrundel mengkono niku pripun, jal?”

Mbokmenawa aku klebu salah sijine “wong sekeng” bisa uga “matadhuwiten”. Awit kanggoku dhuwit satus ewu kuwi uakeh. Kena takanggo nyangoni kuliah anakku neng Malang kanggo telung ndina. Minangka ketua sanggar sastra aku uga ora bisa kaya Pak Parto sing lila legawa cucul dhuwit atusan yuta rupiyah kanggo nggayuh kuncarane sastra Jawa. Semono uga dhimas Sumono SA, sing jejere pengarang sastra Jawa “nyumbang” (kelangan : istilahe dhimas Bonari) wis nggrundel. Kiraku meh kabeh sastrawan Jawa wis ngalami, pana, ngrasakake legi lan gurihe honor paling paling akeh yaiku cerkak sing antarane Rp 75.000 (pitung puluh lima ewu repis) nganti Rp 100.000,- (satus ewu repis). Mula mbok aja ngremehake dhuwit satus ewu ta ya? Apa sastrawan Jawa kuwi wis padha koceh dhuwit saengga satus-rong atus ewu klebu camah? Upama kabeh sastrawan kuwi kaya Pak Parto sing “loma” mau, lan kaya dhimas Bonari sing ora matadhuwiten tur ora sekeng (saiki wis karoban dhuwit? aku ra ngerti) kiraku kongres sastra Jawa kuwi ora usah golek sponsor, mangan turu ora sambat Pak Lurah Njono, lan nyithak buku ora ndadak urunan.

Pak Parto Brata pancen ora mung saiki wae anggone gelem cucul pangorbanan, tahun 1980-an karo para sastrawan senior (Esmiet, Muryo Lelono, Tamsir AS lan liyane) ngadani Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah ing Bojonegoro nganti nggadhekne sepeda motore. Pak Tamsir AS kanggo menehi hadiah sastrawan ing ulang taune sanggar Triwida direwangi ngentekake dhuwit dodolan tebu kebun sak-hektar. Lha apa para sastrawan Jawa sing saiki greget gelem tumandang ngadani kegiyatan kanggo ngranggeh kuncarane sastra Jawa kuwi gelem kaya Pak Parto lan Pak Tamsir AS? Ana apa ora jaman saiki? Wani apa ora? Jawabe maton: ORA!

Eling, sanajan Pak Parto kuwi dadi patuladhan becik mungguh gelem cucule dhuwit (ana gandheng-ceneng karo bisnis buku-bukune?) beda karo Pak Tamsir AS sing mligi kanggo organisasi, nasibe ing donyane sastra isih “resik” Pak Tamsir AS. Aku isih kelingan, dina Jumat, 30 Agustus 2002 ing Hall Sawunggaling, Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Jl Gentengkali 85 Surabaya diadili ing Pengadilan Sastra Jawa amerga Pak Parto nampa hadiyah Rancage saka Yayasan Rancage duweke Pak Ayip Rosyidi, minangka sastrawan (kumpulan cerkak Trem, 2001) lan tokoh basa Jawa

Bebarengan karo 7 sastrawan Jawa yaiku FC Pamudji (novele Sumpahmu Sumpahku, 1994), Satim Kadaryono ( novele Timbreng, 1996), Djaimin K (kumpulan guritane Siter Gadhing, 1997), Esmiet (novele Nalika Langite Obah, 1998), Suharmono Kasiyun (novele Pupus kang Pepes, 1999), Widodo Basuki (kumpulan guritane Layang saka Paran, 2000), lan Djayus Pete (kumpulan crita cekake Kreteg Emas Jurang Gupit, 2002) dinakwa KN (Kolusi lan Nepotisme = KKN) karo Juri kanggo nggayuh hadiyah Rancage mau. Lha sapa hakime? Salah sijine yaiku dhimas Bonari Nabonenar. Dene hakim ketuane Rama Sudiyatmana (Semarang) kanthi anggota Bagus Putu Parto (Blitar).

Pak Ayip Rosyidi sing teka minangka Saksi Ahli ngandharake yen hadhiyah Rancage diwenehake awit pengaji-aji tumrap karya sastra daerah (Sunda, Jawa, lan Bali) minim banget saka pemerintah utawa lembaga-lembaga liya. Dadi Pak Ayip "Prihatin marang sastra daerah, kalebu honorarium kang ditampa sastrawane klebu sithik. Dadi, kaluwihan rezeki taksisihake kanggo mbiyantu sastra daerah,"

Ing persidangan sing dideleng para sastrawan lan diliput wartawan mau sing gelem lungguh ing kursi “pesakitan” mung Suharmono K lan Widodo Basuki. Kersane Gusti Allah, taun 2010 Bonari Nabonenar nampa hadiyah Rancage uga. Critane piye, mung juri sing padha ngerti. Hara, apa iya mantan “hakim pengadilan sastra Jawa” bakal dilungguhake minangka “terdakwa”? Sapa gelem dadi hakim lan jeksane?

Crita persidangan iki takdhudhah maneh awit dhimas Bonari sajak nyecamah dhimas Sumono sing jare sadurunge KBJ V kae ginelar wis nguneni entek-amek marang Panitia KBJ V bareng Balai Bahasa Surabaya ngepyakake kumpulan guritane mesisan mapag KBJ V kok dhimas Sumono SA semrinthil wae? Kuwi Adhipati Karna, Resi Bisma, apa malah Sengkuni? Lha yen dhimas Bonari biyen nate “menghakimi” para panampa hadiyah Rancage kok iya semrinthil wae nekani undhangan, nampa dhuwit 5 yuta repis lan piagam Rancage? Ngono kuwi Sengkuni, Resi Bisma apa Adhipati Karna?

Pasewakan manut rumus matematika

Bab KBJ, sakweruhku pancen kabeh peserta KBJ V dewenehi buku kumpulan cerkak lan gurit “Pasewakan” weton KSJ III. Ateges Panitia KBJ V nuku buku sing cacahe meh 1000 eksemplar mau saka Panitia KSJ III. Lha yen buku mau upama diregani Rp 50.000,-(seket ewu repis) ateges Panitia KSJ III nampa dhuwit Rp 50.000.000,-(seket yuta repis). Kuwi yen sewu eksemplar dene yen 800 eksemplar ya 40 juta. Biyuuuh uakehe?!

Kamangka sing dakalami karo kanca-kanca sing melu nulis ngisi antologi Pasewakan kudu kirim 1 cerkak utawa 5 guritan mau minangka syarat pamacake kudu mbayar Rp 100.000,- (Satus ewu repis) kanggo ongkos cetak. Kamangka ing Pasewakan mau kapacak 40 pengarang cerkak lan 74 penggurit total 114 sastrawan. Yen dietung matematika 114 ping Rp 100.000 wis ketemu dhuwit Rp 11.400.000,- Dhuwit samono mau cukup klebu turah yen kanggo nyithak buku 150-an eksemplar kanthi kandel 522 kaca + sampul ( xxiv + 498 kaca). Sisane kanggo biaya operasional KSJ? Kira-kira ae ngono sanajan uga entuk bantuan saka Pak Kades Njono, Pemprov Jatim, Yayasan Saworo Tino Triatno, Telkomsel, PT Matera Publishing, lan (manut ature dhimas Bonari) uga saka Yayasan Karmel, lan sing pungkasan PT Jamu lan Industri Farmasi Sidomuncul.

Nalika Panitia KSJ III ngulemi calon peserta KSJ III lan ngabari bab prabeya yen kepingin karangane kapacak ing Antologi Pasewakan ora nyebutake yen kumpulan cerita cekak lan geguritan mau mengkone bakal dadi “souvenir” mlebu tas sing diedum ing KBJ V. Ketoke uga ora ana gandheng cenenge karo KBJ V. Ketua Panitia KSJ III, Mas Bonari ing Kembang Setaman Crita Cekak lan Guritan Pasewakan KSJ III (kaca v lan samak mburi) mratelakake yen “Buku kembang setaman guritan lan crita cekak iki kababar kanggo ngregengake gumelare Kongres Sastra Jawa (KSJ) III (Bojonegoro, 28-30 Oktober 2011). Mula, kabeh guritan lan crita cekak kapacak sajroning buku iki ora adhedhasar tintingan utawa seleksi, nanging adhedhasar uleman lan sok sapaa wae kang rumangsa kegugah dening kegiyatan (KSJ III) iki.” Kamangka sangertiku anane KSJ III uga kanggo mahargya lan salah sijine rangkaian kegiatan KBJ V nitik saka anane logo KBJ V ing sampul buku kembang setaman Pasewakan mau.

Lha yen sabanjure buku antologi Pasewakan iki “diedol” ing KBJ V banjur piye “petunge” karo para penulise? Ana apa ora? Manut pamawase sawetara kanca sastrawan sing melu urun tulisan lan dana, gandheng antologi mau uga kanggo souvenir KBJ V ora mungkin yen gratis, mesthi ana sembulih saka panitia KBJ V kaya etung-etungan matematika ing ndhuwur. Yen pamawas mau bener, apa penulis Pasewakan bakal entuk royalty? Dene yen etung-etungan mau salah, wragad saka ngendi panitia KSJ III nyithak buku atusan cacahe kanggo KBJ V? Apa ora cengkah karo ature Mas Bonari, ketua Panitia KSJ III mau sing jare mung kanggo nggrengsengake gumelare KSJ III ora kanggo souvenir KBJ V?

Panitia KSJ III jelas wis “nalisir” saka etika paseduluran antar sastrawan. Ajak-ajak gawe antologi guritan lan cerkak terus didhanani bebarengan kanggo KSJ III kok tundhone kanggo KBJ V barang. Kamangka ing pengantare Ketua Panitia sajrone antologi Pasewakan kaca v kaya wis mesthekake yen KSJ III kuwi ora ana gandheng cenenge KBJ V kanthi ukarane, “Buku kembang setaman guritan lan crita cekak iki kababar kanggo ngregengake gumelare Kongres Sastra Jawa (KSJ) III (Bojonegoro, 28-30 Oktober 2011)…” ora ana sakukara wae ing pengantare kang nyebutake yen buku mau kanggo mahargya utawa ngramekake KBJ. Lho, apa iya ngono kuwi cak-cakane?


*) Saka:
Panjebar Semangat No 6, 11 Februari 2012 (sampun dipuntanggapi dening Bonari Nabonenar ing Panjebar Semangat No 7, 18 Februari 2012 kanthi irah-irahan: ”Aja kaya Wong Ora Ngreti Cara”

**) Salah sijine peserta KSJ III lan KBJ V

KSJ III: Urunan Mbabar Buku Iku Ibarate Wong Tandur


Sastra Jawa saiki lagi lara. Kuwi panemune Yusuf Susilo Hartono. Mula, andharane ing Konggres Sastra Jawa (KSJ) III sesirah, ”Sastra Jawa Golek Tamba.” Mbokmanawa uga malah ana sing kandha manawa satemene Sastra Jawa kuwi wis tilar donya, dene kang dianggep ”Sastra Jawa” dening wong-wong saiki kuwi ora liya kajaba ”Sastra Indonesia” utawa malah sastra bangsa seje maneh, kang mung dhapur nggunakake basa Jawa.

Mesthine ya ana kang duwe panemu manawa Sastra Jawa saiki ora kurang sawiji apa, wis pancen kaya ngono kahanane, nut ing jaman kelakone. Embuh endi kang bener, nanging sauger padha dikantheni andharan kang trep, kabeh panemu kuwi bisa tinemu nalar.

Kanthi lelandhesan panemu kang beda-beda kaya kaaturake kuwi mau, sok sapaa wae entuk nindakake ayahan kanggo ngudi amrih kahanane sangsaya becik. Apa arep gawe sarasehan, konggres, kursus pranatacara, adeg paguyuban, adeg sanggar, mbabar buku: kanthi mbayar utawa dibayar, iku ora ana alane. Iki jaman demokrasi. Sawijining ayahan bisa dadi becik waton wis disarujuki kabeh kang padha nindakake. Ora ana kang rumangsa kepeksa utawa dipeksa.

Apa bener mbabar buku karya sastra abasa Jawa kanthi urunan kuwi bakal njlomprongake Sastra Jawa marang jurang kang luwih jero (yen dicethakake mbokmanawa: …marang jurang kanisthan) kaya kang diandharake dening Sumono Sandy Asmoro (Panjebar Semangat Nomer 2, 14 Januari 2012) kanthi irah-irahan ”Sing Isih Kececer saka Luimakune Gerbong KBJ-KSJ”? Ing kene, Bonari Nabonenar, Ketua Panitia KSJ III, nyoba mbeberake kanyatan kang beda, mbokmanawa malah kosokbalen, karo kang diandharake Sumono.

Greget kang nguripake KSJ kuwi thukul saka ngisor. KSJ bisa kelakon ora amarga saweneh pawongan, nanging saka cancute wong akeh sing padha gelem tumandang. Ing KSJ I (Taman Budaya Surakarta, 6-7 Juli 2001), Arswendo Atmowiloto ngarani KSJ kuwi becik kadidene gimmick, sawijine ”cara” utawa ”trekah” utawa ”akal-akalan” kanggo ngranggeh saweneh gegayuhan. Dadi, sing dituju, sing digayuh, dudu KSJ-ne. KSJ kuwi mung sarana.

Prekara urunan, wiwit KSJ I nganti KSJ III, para peserta kuwi olehe niyat gelem urunan ya tenanan. Dene ing KSJ I lan KSJ II dibalekake, kok ing KSJ III ora dibalekake, kuwi rak kudu dideleng tumanjane. Panitia KSJ III uga entuk dana saka kana-kene, lan cacahe cetha luwih akeh tinimbang KSJ I apadene KSJ II. Mbokmanawa, malahan, yen digunggung utawa dijumlahake, dana KSJ I lan KSJ II isih kalah akeh yen dibandhingke karo dana kang kasil kaimpun dening KSJ III. Iku salah sawijine titikan manawa uwal saka akehe kekurangane, KSJ nuduhake kemajuane. Lha, terus saiki arep kepriye? Apa arep ngenteni payu, tanggapan, sinambi tenguk-thgenguk?

Prekara olehe mbesut naskah (buku Pasewakan kang kababar dening KSJ III kanthi urunan) kuwi kurang becik amarga kesusu-susu, kuwi ya pancen klebu kekurangane. Nanging olehe tanpa seleksi, pancen dijarag. Yen nggunakake basa ”agamis” mbokmanawa kuwi kang diarani syi’iar. Pangajabe, supaya pengarang/penggurit anyaran rumangsa bombong merga bisa ”sabuku” karo para pengarang/penggurit gamben. Dene ana pengarang/penggurit gamben kang banjur rumangsa anjlog martabate amarga disabukokake karo para pengarang/penggurit anyaran, banjur nutuh Panitia, ya kuwi risikone.

Beda pawongan beda pamawas kuwi wis lumrah. Miturut Sumono Sandy Asmoro angger tulisan kang digawe dening penulis profesional kuwi kudu payu, kudu dikenceng jreng. Nanging, ya ana wong liya kang duwe panemu manawa senajan ta diaranana profesional, ora saben-saben ngerta-aji nganggo dhuwit. Mula ana unen-unen, ”Tuna satak bathi sanak.” Ing donyaning sastra Indonesia, ana saweneh pengarang, sastrawan, kang ora mung kelas Indonesia, nanging wis kelas dunia, angger diundang kanggo medhar-sabda dening lembaga-lembaga ringkih, luwih-luwih lembaga non-profit, panjenengane semrinthil senajan ta tanpa dibayar. Nanging, yen kang ngundang lembaga profit, upamane perusahaan media (abasa Indonesia) kang sugih, mesthi ditlesih, apa kang kudu dicepakake, prelu makalah apa ora, lan mengko kepriye bab sembulihe. Yen prasasat angger obah (nulis) metung dhuwite, mbokmanawa loro badhene, pengarang profesional nanging matadhuwiten, utawa pancen sekeng tenan.

Sadurunge KBJ V kagelar, ana siaran ing TVRI Jawa Timur, Suparto Brata ngendika, ”Malah aku kerep wae mbayari wong-wong kang maca bukuku.” Lho, nyatane rak kanthi mangkono Pak Parto njunjung drajate Sastra Jawa, Sastrawan Jawa. Kanthi mangkono kacihna lamon Sastrawan Jawa kuwi sugih tur wani ”nggetih” (ora mung kemringet) kanggo nggayuh kuncarane Sastra Jawa. Nyatane Pak Parto ora banjur keplorot drajate kadidene sastrawan Jawa. Kepara salah siji saka piagam Rancage kang ditampa ya awit saka ”trekahe” kang mangkono iku. Yen dietung dhuwit, olehe cucul Pak Parto kuwi ora mung sakyuta-rong yuta, nanging puluhan, kepara malah atusan yuta rupiyah, lho! Lha, kok sing lagi kelangan satus-rong atus ewu wis nggrundel mengkono niku pripun, jal?

Sawise nyecamah prekara iuran kanggo mbabar buku (Pasewakan) kuwi mau, Sumono banjur ngalem tumindake Griya Jawi kang wus mbabar buku critane, lan Balai Bahasa Surabaya kang wus padha mbabar buku guritane. Sadurunge mbabar buku crita cekake Sumono, Griya Jawi uga mbabar novel basa Jawa-ne Siti Aminah, Singkar. Apa Sumono lali, yen ing samburine Griya Jawi kuwi ana paraga Sucipto Hadi Purnomo? Kamangka Sucipto Hadi Purnomo iku Ketua OPSJ kang uga dadi aktivis-e KSJ. Bisa wae kanthi dalan utawa lelakon seje buku-buku kuwi uga banjur kababar dening Griya Jawi. Nanging, embuh sepira takere, cetha banget ana greget mangun Griya Jawi kuwi kang ora bisa dipisahake karo greget mangun KSJ/OPSJ.

Pancene, seje pawongan bisa wae seje pamawas. Mung, ing bab iki nalare Sumono katon yen durung luwih jembar tinimbang nalare Mbah Brintik, kang ngalembana JFX Hoeri, nanging maido Bonari (Panjebar Semangat, Nomer 49). Mbah Brintik ngarani Bonari bisa mancala putra mancala putri. Bisa dadi ketua KSJ III lan uga dadi perangane Panitia KBJ V. Kamangka, yen ana paraga kaya Pak Hoeri apadene Sucipto Hadi Purnomo kang kandha sakecap wae, ”Bonari, yen KSJ ya KSJ, utawa yen arep melu KBJ melua KBJ kareben KSJ dicekel wong seje!” genah Bonari bakal milih salah siji. Lan pilihan kuwi wis cetha: KSJ. Lha, apa arep nggatekake pamrayogane Sumono utawa Mbah Brintik? Kamangka ing tulisane adoh sadurunge KBJ V tumapak, Sumono wis nguneni entek-ngamek, kaya-kaya marang KBJ V kuwi dadia godhong emoh nyuwek, dadia banyu emoh nyidhuk. Nanging, bareng Balai Bahasa Surabaya ngepyakake buku guritane mesisan kanggo mapag tumapake KBJ V kok Sumono semrinthil wae? Apa ora malah bingung, kuwi Adipati Karna, Resi Bisma, apa Sengkuni?

Bar nyecamah dumadine buku Pasewakan kang dadi merga urunane para penulis-e, Sumono uga ngalembana Balai Bahasa Surabaya. Lho, kok OPSJ utawa KSJ, utawa PSJB lan sapiturute dibandhingake karo bebadan resmi-ne negara kaya Balai Bahasa Surabaya kang malah entuk anggaran saka Pusat? Kuwi gek piye nalare? Ha rak dadi guyon tenan yen Balai Bahasa Surabaya mung bisa mbabar buku kanthi narik urunan saka penulis-e kaya kang ditindakake dening Panitia KSJ III?

Kadidene gimmick, KSJ wis bisa nggandheng akeh pihak. Ana Yayasan Karmel, Yayasan Saworo Tino Triatmo, Telkomsel, lan kang pungkasan PT Jamu lan Industri Farmasi Sidomuncul ya wis aweh panyengkuyung amrih gerakan swadaya-ne para pengarang lan aktivis sastra Jawa kuwi bisa sangsaya ngrembaka lan aweh sumbang-surung marang ajune Sastra Jawa. Ibarate wong nandur, kudune mengko bakal tiba mangsa kalane methik utawa panen. Iku pangangkahe. Saiki sing blondrah endhut (senajan diolok-olok) ya rumangsa seneng atine, merga rumangsa manawa mangsa (iklim) arep tansah sabela.

[Bonari Nabonenar, Ketua Panitia KSJ III]

---saka Panjebar Semangat, No 5 (4 Februari 2012)