Tuesday, October 28, 2008

Kongres Bahasa Jawa IV : Dicinta di Tanah Seberang, Dibuang di Tanah Sendiri

Pengantar:
Modernisasi dan globalisasi telah menggilas tiang-tiang penyangga budaya leluhur, termasuk bahasa dan budaya Jawa. Akankah bahasa dan budaya ini bertahan? Bagaimana menyelamatkannya? Inilah sejumlah pertanyaan yang lebih mengarah pada refleksi akan kelanjutan bahasa dan budaya Jawa. Laporan khusus kali ini mengupas persoalan penting ini, terutama berangkat dari Kongres Bahasa Jawa IV yang telah digelar di Semarang dan berakhir pekan lalu.




Oleh
SU Herdjoko

SEMARANG-Jangan membayangkan semua orang yang hadir dan menjadi pembicara Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, 10-14 September lalu, semuanya berbahasa Jawa. Kenyataannya, kita menjumpai semua pejabat, pemakalah, maupun peserta berbahasa Indonesia. Kelucuan–boleh disebut begitu–sudah muncul ketika laporan Ketua Umum Panitia Pelaksana Mardjijono pada acara pembukaan kongres pada Senin (11/9).
Mardjijono melaporkan kesiapan hingga terlaksananya kongres dalam bahasa Indonesia. Kendati ia meminta maaf terlebih dulu karena menggunakan bahasa Indonesia, toh, permintaan maaf itu jelas tidak berlaku bagi lima orang keturunan Jawa asal Suriname yang jauh-jauh datang ke arena kongres.

“Saya sama sekali tidak tahu apa yang mereka ucapkan. Bagi kami, bahasa Indonesia merupakan bahasa asing yang belum kami pelajari,” kata Salimin Pawirodinomo, salah satu warga keturunan Jawa di Suriname itu.

Ungkapan dengan bahasa Indonesia itu masih dilakukan oleh Gubernur Mardiyanto maupun Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Lagi-lagi mereka meminta maaf. Mendiknas Bambang Sudibyo bahkan dengan terus terang mengaku sudah lupa menulis aksara Jawa yang ketika sekolah dulu pernah ia kuasai.

Hanya Gubenur Mardiyanto yang akhirnya mampu menghapus “kesalahannya” menggunakan bahasa Indonesia di arena kongres bahasa Jawa ketika tampil menyampaikan makalahnya. Secara elegan, ia membawakan makalah berjudul “Bahasa Jawa: Basa Jawi Prelu Nut ing Jaman Kalakone” (Bahasa Jawa Perlu Mengikuti Perkembangan Zaman).
Lalu pejabat yang lain yang diundang? Gubernur Jawa Timur Imam Utomo tidak hadir, ia hanya mewakilkan pejabat di bawahnya untuk membacakan makalahnya. Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X pun yang datang terpaksa menyampaikan makalahnya dalam bahasa Indonesia.

Sebenarnya kehadiran Sultan sangat diharapkan menyampaikan makalah itu dalam bahasa Jawa. Selain jabatan gubernur, ada jabatan budaya yang sangat lekat menempel pada dirinya: seorang Raja dari Kasultanan Yogyakarta yang dianggap sebagai sumber budaya dan bahasa Jawa.

Kemudian ada sembilan bupati/wali kota yang diundang untuk menyampaikan makalah. Mereka adalah Bupati Bantul, Wonogiri, Banyumas, Kebumen, Blora, Ponorogo, Banyuwangi, dan Wali Kota Surabaya serta Tegal. Namun semuanya tidak hadir.

“Dari puluhan pemakalah pun, hanya enam pemakalah yang menggunakan bahasa Jawa. Mereka adalah empat orang dari Jawa Timur, dan dua orang dari Jawa Tengah. Saya tidak mengerti mengapa ini terjadi. Mungkin panitia tidak memberi tahu sebelumnya kepada para pejabat dan pemakalah agar menyampaikan makalahnya dalam bahasa Jawa,” kata JFX Hoery, salah seorang penulis cerita Jawa dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Kejanggalan komunikasi bahasa Indonesia yang digunakan dalam kongres bahasa Jawa itu sebenarnya tidak perlu terjadi bila panitia belajar dari tiga kongres bahasa Jawa yang telah digelar sebelumnya.

Kongres Bahasa Jawa I digelar di Semarang pada tahun 1991, kemudian kongres kedua di Batu, Malang, pada tahun 1996, menyusul kongres ketiga di Yogyakarta tahun 2001, dan yang terbaru di Semarang ini.

Ada upaya komunikasi dari panitia dengan menerbitkan jurnal pada kongres keempat ini. Lagi-lagi, jurnal itu pun berbahasa Indonesia. Apakah disengaja atau tidak, bisa juga lupa bahwa semua peserta kongres sebenarnya memahami bahasa Jawa sehingga bila jurnal itu diterbitkan dalam bahasa Jawa pun tetap terbaca dan bisa dimengerti isinya.

Kerinduan Berbuah Kecewa

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Pardi Suratno yang hadir di Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, Selasa (12/9) mengaku, kehidupan masyarakat dan budaya Jawa di Kalimantan Timur memiliki keunikan dibandingkan dengan kehidupan masyarakat dan budaya Jawa di daerah Jawa sendiri maupun daerah lain.

“Ekspresi kejawaan penduduk Kalimantan Timur melebihi mereka yang tinggal di Jawa, baik di Yogyakarta maupun di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujar Pardi.

Di Kaltim, masyarakat Jawa membentuk paguyuban Ika Pakarti. Paguyuban itu bertujuan mempertahankan nilai-nilai budaya leluhur mereka. Dari Ika Pakarti itu kemudian lahir lembaga penyiaran swasta dalam bentuk radio siaran bernuansa Jawa. Beberapa sajian pokok antara lain karawitan, ludruk, kethoprak, dan wayang kulit, bahkan ada televisi lokal yang sebagian besar acaranya bernuansa Jawa.

Mendengar keluhan Pardi seakan tiada habisnya. Ia juga menceritakan, budaya Jawa juga berpengaruh pada politik. Beberapa tokoh berusaha mengadopsi bahasa Jawa untuk kampanye politiknya. Bahasa yang ditulis maupun diucapkan sering tidak memenuhi tata bahasa Jawa. Namun dari sana tampak sekali adanya kerinduan terhadap budaya Jawa.

Napak Tilas Sejarah

Soal kerinduan mendalam akan budaya Jawa–yang berarti termasuk Bahasa Jawa itu–juga diungkapkan oleh Johan J Sarmo, Kepala Institut Javanologi Suriname, yang juga menjabat sebagai Direksi TV Garuda di Suriname.

“Di negara saya, Pemerintah Suriname berusaha menggalang persatuan budaya dan bahasa khas sana. Akan tetapi, saya sebagai keturunan orang Jawa yang jumlahnya hampir 100.000 dan merupakan seperlima penduduk negara itu, berusaha untuk melestarikan dan makin menghidupkan budaya Jawa. Itu adalah hak kami,” ujar Sarmo.

Oleh karena itulah lewat Stasiun TV Garuda, sebagian siarannya berisikan budaya Jawa dan berbahasa Jawa. “Kami bahkan berusaha menurunkan kemampuan berbahasa Jawa kepada anak cucu kami. Saya sudah sangat senang ketika anak saya menawari saya makan dengan bahasa Jawa ‘ngoko’ yang kasar. Yang penting itu bahasa Jawa,” ujar Sarmo.

Lima orang Suriname yang datang ke arena kongres bahasa Jawa di Semarang adalah Ketua Parlemen Suriname Salam Paul Somohardjo, Tatap Kliwon Pawirodinomo, Jules R Amatsoerdi (anggota parlemen), Johan J Sarmo, dan Salimin Pawirodinomo. Lima orang itu sangat fasih berbahasa Jawa karena mereka masih menggunakannya dalam percakapan sehari-hari di kalangan etnis Jawa.

“Saya datang ke sini ingin melihat dengan mata kepala sendiri tempat asal nenek moyang kami,” kata Tatap Kliwon jujur.

Beruntung, panitia kongres bahasa Jawa di Semarang ini memiliki gubernur yang pandai berbahasa Jawa. Mardiyanto tampil habis-habisan dan seolah menjadi dewa penyelamat Kongres Bahasa Jawa IV yang lebih sarat menggunakan bahasa Indonesia itu.
Mardiyanto selain membacakan makalah dalam bahasa Jawa juga mampu melantunkan tembang “Caping Gunung”. Kemudian pada acara penutupan masih tampil dengan lagu campursari “Ngidam Sari”. Setidaknya lima orang Suriname itu dibuat “marem” (puas) akan penampilan Mardiyanto.

“Wah, kalau Pak Mardiyanto itu selain jadi gubernur ternyata pandai bahasa Jawa, pinter nggandhang (menyanyi). Kalau mau tinggal di Suriname saya bisa menjadikan dia presiden,” kata Ketua Parlemen Suriname , Salam Paul Somohardjo sembari tertawa.
Suasana kongres dan keseriusan panitia untuk membuat hajatan yang sebenarnya sangat luar biasa ini harus menjadi pelajaran penting bagi kongres berikut. Pertanyaannya, masihkah kita ingin mewariskan bahasa dan budaya Jawa ini pada generasi berikut?
sumber: sinarharapan

Kongres Bahasa Indonesia Kembali Digelar Akhir Oktober 2008

KESRA-- 10 OKTOBER: Pusat Bahasa akan menyelenggarakan Kongres IX Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober—1 November 2008 di Jakarta. Kongres itu akan membahas tiga persoalan utama yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan penggunaan bahasa asing.


Kongres ini digelar dalam rangka peringatan 60 tahun Pusat Bahasa, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Seperti diketahui, lahirnya Boedi Oetomo, organisasi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, mampu menumbuhkan kesadaran berorganisasi dalam memperjuangkan kemerdekaan.
"Dua puluh tahun kemudian lahirlah pernyataan sikap politik pemuda Indonesia, pengakuan terhadap satu tanah air (walau 17.508 pulau), satu bangsa (walau ratusan kelompok etnis), dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia (walau 746 bahasa di Indonesia)," ungkap siaran pers Pusat Bahasa, Selasa (9/10).
Sepuluh tahun kemudian, Kongres Bahasa Indonesia Pertama diselenggarakan di Surakarta yang merekomendasikan perlunya penciptaan istilah dalam bahasa Indonesia. "Tujuh tahun kemudian proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan sehari berikutnya ditetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara," tulis Pusat Bahasa.
Atas keperluan penanganan masalah bahasa secara terencana dan berkelanjutan didirikanlah Instituute voor Taal en Cultuur Onderzoek yang bertugas menangani masalah bahasa dan kebudayaan. Lembaga itulah yang kini bernama Pusat Bahasa.
Peminat dapat mengirimkan abstrak makalah sekitar 250 kata selambat-lambatnya diterima panitia pada minggu pertama bulan Mei 2008 untuk diseleksi. Abstrak yang terpilih untuk disajikan akan diumumkan akhir bulan Mei 2008, dan makalah lengkap dikirimkan kepada panitia selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli 2008.
Rencananya, Kongres IX Bahasa Indonesia akan disemarakkan dengan peluncuran peta bahasa-bahasa daerah di Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, Tesaurus Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Sastra di Indonesia, Buku ”Enam Puluh Tahun Penanganan Bahasa dan Sastra di Indonesia". Di samping itu, akan digelar pentas sastra/seni dan pameran kebahasaan dan kesastraan.[]

Sumber: Kesra

Masa Depan Sastra Jawa

Oleh Ribut Wijoto

Sastra Jawa di Jawa Timur menunjukkan gejala yang unik. Tidak ada perkembangan yang pesat namun juga tidak macet. Situasinya cukup sehat-sehat saja. Beberapa karya baru baru bermunculan, dipublikasikan, dan diterbitkan. Tapi, lompatan estetika nyaris tidak ada. Bisa dikata, sastra Jawa sedang adem ayem. Kondisi ini ditegaskan dengan tiadanya tema atau perdebatan yang bersifat luas atau mendalam. Ke depan, jika situasi ini terus berlanjut, sastra Jawa sedang dalam kondisi ambang. Bisa lantas berkembang bisa juga lantas tenggelam. Agar bisa mengarah ke perkembangan, ada beberapa problem yang musti diurai dan diselesaikan



Sampai saat ini, sastrawan Jawa di Jawa Timur masih patut berbangga. Mampu selangkah lebih maju dibanding kompetitornya di Jawa Tengah maupun Yogyakarta. Lihat saja, dua peraih penghargaan Rancage tahun ini berasal dari provinsi paling timur di pulau Jawa ini. Yakni, Turiyo Ragilputra melalui kumpulan gurit Bledheg Segara Kidul untuk kategori karya sastra dan Sriyono, redaktur majalah Jaya Baya, untuk kategori pengembangan bahasa dan sastera Jawa.

Prestasi prestisius itu tidak lepas dari kinerja ulet dua tokoh besar yang telah almarhum. Suripan Sadi Hutomo dan Tamsir AS. Kedua tokoh ini seakan saling melengkapi. Suripan bergerak di wilayah pusat, Surabaya dan sekitarnya. Ketika itu, mobilitas sastra Jawa di Surabaya tidak ada yang tidak lepas dari campur tangannya. Di beberapa even, dia ikut menggagas. Memberi masukan ataupun menjadi konseptornya.
Tak hanya soal even, Suripan terkenal sebagai apresiator yang tajam serta tekun. Dia mampu mendedahkan peta sastra Jawa di Jawa Timur. Perihal tokoh-tokohnya, perihal karya-karyanya, karakteristik estetika masing-masing pengarang. Pun juga, tokoh kelahiran Blora 5 Februari 1940 ini bisa merunut kesejarahan sastra Jawa. Mulai zaman sebelum merdeka sampai menjelang meninggal dunia. Banyak yang mengultuskan, Suripan adalah HB Jassinnya sastra Jawa. Sebuah pengkultusan yang bukannya kosong fakta. Berkat Suripan, sastra Jawa memperoleh arah-tuju yang terprogram.

Sedangkan Tamsir AS, maestro ini lebih bergerak di wilayah pinggiran. Melalui Sanggar Triwida, pria kelahiran Tulungagung (1936-1997) mampu menaikkan pamor sastrawan-sastrawan di pinggiran. Kegiatan sastra Jawa tidak hanya berpusat di Surabaya. Kabupaten, kecamatan, maupun desa pun sanggup menciptakan kegiatan sastra Jawa. Pernah suatu kali, sekitar tahun 1985, ada acara macapatan di rumah seorang warga di desa Gandong Kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung. Pesertanya warga sekitar dan beberapa sastrawan Jawa dari Trenggalek dan Kediri.

Penulis sebanyak 286 cerkak ini memang tak bosan-bosannya memompa semangat sastrawan daerah (baca: desa) untuk berproses. Saling berinteraksi maupun mengonsepkan gerakan sastra Jawa di daerah Mataraman. Meliputi Blitar, Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Madiun, Ponorogo, dan sekitarnya. Kadang dia tak hanya menjadi konseptor, dia juga keluar banyak uang untuk mendanai. Kecuali itu, Tamsir juga seorang penulis buku yang tekun. Lihat saja, dia telah menuliskan puluhan buku tentang sastra Jawa.

Sampai saat ini, peran dua maestro sastra Jawa di Jawa Timur tersebut belum tergantikan. Keberadaan sastra Jawa di Jawa Timur juga berkat kontribusi dua media, mingguan Jaya Baya dan mingguan Panjebar Semangat. Rutinitas kedua media ini dalam menyediakan halaman sastra berbahasa Jawa sanggup menjadi ruang ekplorasi para pengarang. Tak hanya pengarang generasi tua, beberapa pengarang muda pun bermunculan. Apalagi, segala berita juga disajikan dalam bahasa Jawa. Peran ini secara dahsyat mampu selalu mengaktualkan bahasa Jawa dalam lingkup kekinian dan perkembangan pengetahuan.

Hanya saja, kehidupan sastra yang berbasis media memiliki risiko cukup riskan. Sastra menjadi elitis. Terpisah dari kehidupan riil masyarakat. Keintiman antara sastrawan dengan warga yang dulu dibangun oleh Tamsir AS dan kawan-kawan menjadi luntur. Hal itu diperpaah dengan rendahnya interaksi para pengarang. Mereka lebih bergerak sendiri-sendiri. Tujuan pokok proses kreatif terfokus pada publikasi media dan penerbitan. Gerakan maupun perkumpulan yang gayeng jadi sulit didapat. Jika ini terus berlanjut, dalam 10 tahun ke depan, sastra Jawa akan semakin elit dan semakin dijauhi oleh masyarakat. Ia berubah jadi wacana yang iseng sendiri.

Melihat problem ketiadaan tokoh penggerak (pengganti Suripan dan Tamsir AS) dan merujuk pada risiko sastra media massa, sastra Jawa butuh pola baru. Kebergantungan pada sosok atau tokoh perlu dipangkas. Peran tokoh harus diganti dengan peran struktur. Dalam pola ini, peran Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) harus dimaksimalkan.

PPSJS musti menciptakan program realistis, pembagian tugas, koordinasi antardaerah, dan memaksimalkan segala potensi yang telah ada. Semisal terhadap sanggar Triwida yang digagas oleh Tamsir AS. Sanggar meski kurang berkembang tapi juga tidak mati. Pengurusnya masih ada. PPSJ harus memompanya agar kembali berkembang seperti zaman Tamsir dulu.

Sama seperti Dewan Kesenian, PPSJ perlu membentuk paguyupan-paguyupan sejenis di tiap kabupaten. Tujuannya agar koordinasi lebih terjaga. Bila ada pengurusnya otomatis ada orang yang bisa diserahi tanggung jawab mengadakan kegiatan.
Berkaca pada pengurus PPSJS lima tahun lalu, di mana Bonari Nabonenar sebagai ketuanya, yang dianggap banyak kalangan kurang maksimal. Hal itu perlu dijadikan bahan evaluasi. Kesalahan mendasarnya adalah tiadanya kerja tim. Bonari seakan berjalan sendirian. Ketika dia sibuk dengan kegiatan lain, PPSJS menjadi terlantarkan. Dan sebaliknya, pengurus lain seakan kelewat berharap terhadap Bonari. Pengaruhnya, kinerja organisasi alias terstruktur menjadi kurang teraplikasi.

Pada kepengurusan yang baru ini, di mana Bonari kembali terpilih, dia harus benar-benar menaruh kepercayaan terhadap kabinetnya. Setelah pembagian seksi dibentuk. Tiap orang dalam seksi perlu diberi wewenang dan tugas yang sesuai dengan wilayah garapannya. Jangan sampai terpusat pada ketua. Biarlah masing-masing tokoh menjalani perannya sendiri. Bonari cukup melakukan fungsi kontrol dan manajerial.
Sastra Jawa belum hancur. Hanya dalam situasi tiarap. Tidak mundur ataupun tidak berkembang. Pada titik ini pun, sastrawan Jawa di Jawa Timur masih lebih bagus dibanding kompetitornya di Yogyakarta maupun Jawa Tengah. Hanya saja, ini sebuah kondisi stagnan. Semua potensi yang sedang tiarap musti dibangunkan kembali. Bila tidak segera disadari dan disikapi, sastra Jawa di Jawa Timur sangat mungkin tinggal kenangan. []

Biodata:

Ribut Wijoto, lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya dan anggota Komunitas Teater Gapus Surabaya. Lulusan Fakultas Sastra Unair. Ketua Departemen Informasi dan Dokumentasi DK-Jatim.
Tahun 2001, esai sastranya dipilih sebagai juara 1 dan juara harapan 1 dalam sayembara esai sastra tingkat nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional (Pusat Bahasa). Bukunya yang telah terbit, Pengantar Menuju Sastra Bermanfaat (Gapus Press, 2002).
Pernah mengeditori buku puisi F Aziz Manna Ayang-Ayang (Gapus Press, 2003), Ijinkan Aku Mencintaimu (Gapus Press, 2006), Menguak Tanah Kering (Kumpulan puisi bersama Teater Gapus, 2001), Permohonan Hijau, Antologi Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2003), Rumah Pasir, Antologi 5 Penyair Terbaik Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2008). [ribut_wijoto@yahoo.com]

Sumber, Kompas Jatim [….]

Sunday, October 26, 2008

Laporan dari Beijing: Mahasiswi China Kritik Wong Jowo

Anwar KhumainidetikNews [Kamis, 23/10/2008 15:59 WIB]

Beijing - Salah satu agenda Presiden SBY di China adalah memberi kuliah umum mengenai Indonesia di Peking University. Salah satu pertanyaan kritis dalam kesempatan itu adalah kecenderungan muda-mudi etnis Jawa tidak bisa berbahasa Jawa yang baik dan benar.



Pertanyaan itu diajukan seorang mahasiswi China setelah 'dosen luar biasa' SBY menyampaikan materi kuliahnya. Karena pernah berkesempatan kuliah di UGM Yogyakarta, si mahasiswi mengajukan pertanyaannya dalam bahasa Indonesia dan kromo hinggil (bahasa Jawa halus).

"Pak, saya pernah belajar kromo hinggil di UGM, dados kulo saget boso Jawi. Tapi yang membuat saya heran, justru di Yogyakarta sendiri warganya jarang yang bisa bahasa Jawa halus, terutama anak mudanya," tanya dia.

Peserta kuliah yang bisa berbahasa Indonesia, spontan menyambungnya dengan tawa. Tidak terkecuali anggota rombongan kenegaraan yang nampaknya merasa 'agak tersindir' dengan pertanyaan menjurus kritik tersebut.

Sedangkan ratusan mahasiswa lainnya yang tidak paham bahasa Indonesia, tertawa beberapa saat kemudian. Tentu saja setelah pertanyaan itu diterjemahkan ke dalam bahasa China.

Presiden SBY juga tidak bisa menahan senyum atas pertanyaan mahasiswi China itu. Mungkin karena kesulitan menjelaskan fenomena sosial 'anak gaul' di Tanah Air, SBY tidak panjang lebar menjawabnya, selain selaku Kepala Negara dia berkewajiban melestarikan kekayaan budaya Indonesia yang salah satunya adalah bahasa daerah.

(anw/lh)

Tuesday, October 21, 2008

Jeruk Sing*

Crita Cekake: Siti Aminah


Klek. Lampu diuripake nalika Windrati mungkasi guneme. Sanalika ruangan patemon Rasa Tunggal ing Jeruk Sing bali padhang. Gambar omah rusak merga kajugrugan lemah ing tembok ngarep kang kasentrong saka LCD kari lamat-lamat.



Udan kang ora ana enteke wiwit awan. Ndilalah listrik mati sisan. Mula bubar magrib, warga padha kuncen lawang. Hrrrrreeeg. Harjito nglilir, banjur ngelekake mripate. Lamat-lamat dheweke krungu suwara kang rada nyalawadi. Ing wayah wengi kathik udan lan listrik mati pisan, kok keprungu suwara mesin pemotong kayu diunekake. Ah, ngayawara. Ngimpi mbokmenawa, utawa rungon-rungonen, batine. Nom-noman kuwi bali ngeremake mripate, mbacutake turune. Nanging durung nganti turune kepati suwara horeg kuwi bali keprungu. Harjito menyat. Mudhun saka dhipan. Atine krasa sumelang. Embuh suwara apa kang nembe keprungu, nanging dheweke rumangsa menawa iku mujudake saweneh pertandha. Mbuh pertandha apa.

Sawise nyandhak lilin kang mung kari sadriji dawane, Harjito marani lawang, arep metu saka kamar. Ora kaya padatan, lawang angel diwengakake. Kaya-kaya gawangane mungkret saengga inepe seseg. Kaya ana kang ngelingake, Harjito mbengoki wong tuwa lan mbakyune sinambi narik lawang sarosane. Nalika lawang kasil kawengakake, suwara horeg bali keprungu. Harjito bengok-bengok sinambi mlayu tumuju lawang metu. Lemah kang diidak sajak obah. Lindhu! Ing tengah kahanan iku dheweke ujug-ujug kelingan kandhane Windrati nalika semana. Mula pambengoke diserokake sakayange.

“Longsor! Tulung! Tulung!”

“Menika wau gambar ingkang kapendhet sekawan jam sasampunipun musibah longsor ing Nigasan lan dhusun sakiwa tengenipun. Dalu menika sesarengan kula, sowan ugi Mas Harjito minangka saksi lan korban longsor ing Nigasan,” tembunge Windrati mungkasi sesorahe sinambi ngacungake jempole marang nom-noman kang lungguh lesehan ing ngarepe. Sabanjure mike diulungake marang wong lanang ing sandhinge kang dadi moderator acara.

Sanjabaning papan patemonan, katon Nara nguncalake tegesan menyang latar kang teles dening udan. Atine goreh. Rasa lupute teka maneh. Luwih-luwih nalika Windrati masang gambar kahanan Nigasan ing ngarepan.

”Mung kowe sing bisa dakjagakake,” tembunge Windrati marang Nara ing telepon sawijining wektu. ”Liwat jalur struktural wis mental. Wiwit saka kabupaten nganti tekan desa dakparani. Ora ana sing gelem nanggapi, kuwatir pariwisata Nigasan mati.”

”Ya, dakusahakake,” wangsulane Nara setengah njanjeni. Sakeplasan dheweke wis maca laporan penelitian ngenani kahanan Nigasan kang dikirim Windrati liwat email. Miturut laporan iku Gunung Nigasan mujudake ancaman kanggo masarakat sangisore awit ing kono tinemu anakan gunung padha bengkah lan tekane udan ing mangsa rendheng bisa ndadekake jugruge lemah.

Harjito ora bisa ngampet luhe nalika jisime wong tuwa lan mbakyune katemokake sedina sawise jugruge Gunung Nigasan. Rasa keduwunge ora bisa kagambarake. Ora mung merga ora bisa tetulung nanging luwih saka kuwi merga dheweke ora maelu marang tembung Windrati sakanca nalika semana. Windrati sakanca teka, marani dheweke kang dadi tetuwane para mudha Nigasan, nalika upayane ngelingake pamong desa ora digape. Eman tangkepe Harjito ora beda karo para perangkat desa. Nigasan mujudake papan jujugan plesiran kang aman! Tembung aman iku kang kudu tansah kaucapake kanggo narik kawigatene wong-wong supaya plesir menyang Nigasan. Awit akeh warga njagakake panguripan saka tekane wong-wong plesiran. Mula ukara ”Nigasan aman” kudu tansah kabiwarakake. Amarga anane perkara ing Nigasan mesthi nggawa konsekuensi ekonomi.

”Sorry Win,” celathune Nara ing telepon, sedina sawise Windrati ngubungi. ”Laporanmu ora bisa kapacak,” mandheg sedhela, ngulu idu. ”Kowe ngerti dhewe sapa juragane koran iki.”

”Kenapa ndadak tekan juragan?” wangsulane Windrati. ”Kowe pemimpin redaksine!”

Nara ora gage wangsulan. Dheweke wis bisa mbayangake kepriye bakal tangkepe Windrati krungu bab mau. Bener pancen dheweke kang dadi pemimpin redaksi ing koran iki. Nanging dheweke rak ya mung buruh kang kudu manut kekarepane si Bos kang nduweni modal. Lan si Bos wis wanti-wanti, berita kang kababar ing korane kudu nyengkuyung program pemerintah. Sadurunge pilkada dileksanani, bab mau wis disepakati. Iku rega mati, menawa si Bos kepingin tetep dadi rekanan bisnise Bupati. Mula nalika Windrati menehi laporan penelitian ngenani Nigasan, Nara rumangsa prelu njaluk pretikele si Bos.

”Pemimpin redaksi ki ya mung buruh, Win,” sidane kawetu wangsulane Nara.

”Juraganmu rak ya ora nyeleksi berita ta? Saupama kowe nekad paling rak mung diseneni.”

Nara ora wangsulan, mung banjur unjal ambegan.
”Mekaten atur pangendikan saking Ibu Windrati Kaliman. Salajengipun kita bikak sessi diskusi...” keprungu celathune moderator sinambi nampa mike saka Windrati.

Durung nganti moderator mungkasi tembunge, saweneh pawongan ngangkat tangan ing ngarep lawang. Windrati kang wiwit mau nyawang ngarepan kaget meruhi pawongan iku. Nara. Senajan wis ngira menawa Nara bakal teka ing Sarasehan Peredaman Resiko Bencana iki, nanging meksa ana rasa kang banjur nyeseg ing dhadha. Wong wadon kuwi nggegem tangane kang wiwit krasa anyep merga gugupe.

” Kula sarujuk kaliyan ngendikakanipun Ibu Windrati bilih peredaman lan penanggulangan bencana dados tanggel jawab kita sedaya kalebet media. Pramila kula minangka pekerja media nyuwun pangapunten dhumateng para korban ing Nigasan awit peran media ing babagan pendidikan kebencanaan dereng maksimal,” celathune Nara nalika mike wis ana tangane.

Windrati nyalami wong-wong ing sakupenge sinambi pamitan. Mung siji pepinginane saiki, gage oncat saka papan patemonan. Nanging durung nganti sikil kiwane kalebokake ing sepatu, keprungu suwara ngundang jenenge. Nalika Windrati njengek, Nara wis ana ngarepe.

”Nginep ana ngendi?” pitakone.

”Eh, ASA Graha, cedhak prapatan.”

”Dakterake.”

Dumadakan Harjito kang teka ing acara iki merga diajak Windrati marani. ”Mobil ingkang badhe ndherekaken sampun siap, Bu.”

”Oh, iya,” wangsulane Windrati kang gage ditimpali dening Nara, ”Kula ingkang badhe ndherekaken Bu Win,” kandhane Nara marang Harjito.

Harjito nyawang Nara sedhela. Banjur marang Windrati, nanging kang disawang ora aweh wangsulan, mula setengah negesi dhewe apa kang kudu ditindakake, nom-noman kuwi pamitan.

Nganti sawetara Windrati lan Nara mung padha meneng-menengan sajeroning kendharaan kang nggawa kekarone tumuju tengah kutha. Jeruk Sing wis kliwat.

”Kowe isih nesu?” Nara mbukaki gunem.

Windrati gedheg. ”Kanggo apa nesu? Wis kedadeyan. Luwih penting mikirake apa kang bisa ditindakake sabanjure.”

Ora ana kang celathu sawise iku. Nganti Nara nginggirake kendharaane ing ngarep penginepan lan Windrati mbukak lawang, nembe tembunge keprungu, ”Matur nuwun ya.”

Nara nyawang wong wadon iku, sauntara. ”Ora ngajak aku mlebu?”

Windrati meksa lambene mesem, ”Wis bengi, aku arep turu,” tanpa ngenteni wangsulan wong wadon iku metu saka mobil lan bablas menyang lobby kang wis katon sepi.
Nara isih ana papane. Nyawang ilange Windrati saka pandulune kanthi rasa cuwa awit kang disawang bablas, sajak ora rumangsa.

Mlebu kamar lan mbanting awak ing dhipan. Windrati ngesok pangrasa kang wiwit mau wis nyeseg ing dhadha. Tetaunan dheweke ngyakinake menawa Nara mung cerita lawas sajeroning uripe. Pranyata ora bisa. Perih ing ati amarga cerita lawas kuwi, isih krasa tekan saiki.

Nanging ora suwe dheweke banjur tangi, kelingan menawa kajian daerah aliran sungai Brantas lan Bengawan Solo durung ditandangi.[]

*) nate kapacak ing majalah Jaya Baya

Sunday, October 19, 2008

Memetakan Sastra Jawa


Dilihat dari capaian estetik dan genre,sastra Jawa bisa disejajarkan dengan sastra dunia.Itu bisa dilihat dari karya Jawa Kuno hingga capaian Ronggowarsito. Namun, seiring laju waktu, ternyata sastra Jawa "terjun bebas".


Nilai estetikanya tak lagi bisa dijadikan patokan, ragam genre yang diusungnya pun terkesan stagnan. Pertanyaannya, apa penyebab mendasar dari kemerosotan ini? Jika kita menengok karya-karya Jawa kuno, banyak karya yang masih bisa ditemui, seperti pada masa Kahuripan, Singasari,Majapahit.Karyakarya seperti Pararaton, Sutasoma, Negarakertagama, Hariwangsa, dan lainnya adalah karya yang bernilai tinggi.

Pujangga Jawa pun melimpah, di antaranya Barada,Tanakung, Prapanca, dan Tantular. Mereka adalah kampium kawi (sebutan untuk ahli dan penulis sastra Jawa kuno). Untuk sastra Jawa pertengahan (setelah masuknya Islam), kita bisa menemukan banyak karya bernilai sastra tinggi, baik di perpustakaan keraton-keraton Jawa, Kasunanan Surakarta,Mangkunekaran,ataupun di Kasultanan Yogyakarta.

Kondisi yang gemilang itu ternyata menjadi kenangan manis saja karena awal abad 21, ketika kemerdekaan RI sudah sampai pada usia 63 tahun, kita menyaksikan stagnannya perkembangan sastra Jawa. Saat ini tak banyak dijumpai para penulis muda yang getol dan nggetih dalam menulis sastra Jawa.

Mungkin sebagian orang melihat bahwa meredupnya hidup sastra Jawa disebabkan sudah habisnya wahyu kapujaggan karena Ronggowarsito dianggap sebagai pujangga penutup Jawa.Namun, alasan ini sebenarnya hanya mencari-cari apologi dari keterpurukan. Mungkin yang perlu diubah adalah mainstream memahami kapujanggan serta bagaimana memperlakukan sastra Jawa dengan cerdas, kreatif, dan sesuai tuntunan zaman.

Artinya,ruh tradisi harus "dibaca" kembali dalam kekiniannya dengan pendekatan kritik struktur, kritik historis,dan ideologinya.Bagaimanapun, dalam era modern, sastra Jawa bukanlah pengabdi raja, penguasa, atau ngarso dalem.Kondisi itu terjadi pada masa Jawa kuno dan Jawa tengahan. Hanya pada masa Jawa tengahan akhir, sezaman dengan Ronggowarsito, muncul beberapa karya yang cukup "edan" dan tidak menghamba pada raja.

Bahkan, karya ini bisa dikatakan sebagai penentang teks-teks mapan yang terpusat pada otoritas raja. Dalam hal ini, bisa disebutkan contohnya Suluk Gotoloco, Serat Darmogandul, Suluk Syek Siti Jenar,dan Teks Kajen (tandingan Serat Cebolek). Di luar itu, sastra/tradisi lisan pun berkembang sedemikian rupa, elastis, dan tak menghamba pada pusat (kekuasaan). Dengan cara pandang yang progresif, sastra Jawa mengemban jiwa zamannya.

Bila kemudian berkembang guritan (puisi bebas) dan gancaran (prosa bebas), itu bisa dimaklumi. Namun, yang sering kali kurang terkontrol adalah adanya pemberontakan yang berbasis tradisi Jawa sendiri. Sebab, dalam masalah ini, seakanakan sastra Jawa mengekor sastra Indonesia. Dalam sastra Indonesia, pemberontakan itu diwakili Chairil Anwar lewat bahasa Melayu rendah dan membebaskan puisi dari metrum lama.

Di Jawa, tak ada pemberontakan yang dengan "gagah berani" memuat jargon mengubah atau mendobrak bentuk dan memperkaya isi yang sesuai tuntunan modernitas. Padahal, dalam sastra Jawa, konsep metrum atau bentuk sangat ketat. Sebenarnya, jika diukur dari tradisinya, sastra Jawa tidak lagi perlu bersoal tentang bentuk dan isi yang terkait masalah identitas kejawaan.

Keduanya sudah matang.Maka,yang perlu diperhatikan adalah kemampuan sastra Jawa untuk merespons perkembangan dan kemajuan. Jadi, sangatlah tidak produktif jika masih ada sastra Jawa yang mempersoalkan masalah jati diri kejawaan.Pokok persoalan yang utama adalah bagaimana orang Jawa sebagai manusia Indonesia menghadapi tentangan masa kini dan masa depan.

Untuk soal ini,sastra Jawa "kalah" dibandingkan sastra Indonesia, terutama dalam beberapa karya penulis sastra Indonesia, yang berlatar kultur Jawa, semisal Kuntowijoyo, Arswendo Atmowiloto, bahkan Umar Kayam. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah bukan berkutat pada eksistensi lokalitas, melainkan meletakkan eksistensi lokalitas itu dalam percaturan zaman dan dunia.

Dalam konteks sastra Jawa, seyogianya sastra tak hanya dipahami dalam kapasitas dulce et utile (indah dan berguna-seperti pendapat Horace). Terkait masalah tuntutan zaman ini, tentu sastra Jawa harus bisa beradaptasi dan melakukan regenerasi dengan canggih. Sekarang kondisi ini memang semakin membuat dada sesak.

Keterbukaan informasi dan percepatan teknologi telekomunikasi telah menjadikan tantangan terhadap lokalitas semakin tak terbendung dan tak terelakan. Globalisasi informasi memang rentan untuk penguatan lokal.Seharusnya,dengan semakin global, nalar lokalnya semakin kuat sebagai sebuah pijakan atau fondasi dalam menentukan koordinat diri dalam percaturan budaya dan interaksi dunia. Di sisi yang berbeda, telah terjadi bias budaya.

Hal-hal yang tabu, adiluhung, sakral, kitsch, konsumerisme, dan profan tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Dalam jagat sastra, terjadi peleburan antara selera sastra populer dan serius di masyarakat kita. Meski di kalangan tertentu sastra serius masih dipandang sebagai satu bentuk resistensi agar tidak jatuh pada keawaman dan selera massal yang sering dipermainkan pasar.

Agar sastra Jawa bisa hidup dan berkembang, ia harus bisa bersenyawa dengan perangkat zaman tanpa harus melacurkan diri. Ia bisa ikut bermain dalam kecanggihan teknologi. Misalnya, membuka homepage sastra Jawa di internet,ada SMS yang berisi guritan bahasa Jawa, serta modifikasi tembang-tembang sastra Jawa yang tentu saja memiliki kualitas sastrawi.

Lalu, bagaimana dengan lombalomba penulisan sastra Jawa? Lombalomba itu penting.Lomba itu bisa merangsang kreasi, terutama bagi generasi muda dan pegiat sastra Jawa. Namun,jika hanya berhenti pada lomba, tanpa ada penanganan lebih jauh, tentu yang diharapkan hanyalah omong kosong. Sebab, sering terjadi adanya keterbatasan ruang dan waktu menyangkut konsistensi dalam pembinaan. Bahkan,sering kali arah pembinaan itu tak jelas karena peta sastra Jawa sendiri masih cukup kabur saat ini.(*)

Mashuri
Staf pengkajian sastra Balai Bahasa Surabaya (sindo//fit)

Koran Sindo Minggu, 20 Juli 2008 - 06:34 wib

Pengarang Perempuan Pertama dalam Kesusastraan Jawa Modern

Bagi penikmat dan pengamat kesusatraan Jawa zaman kemerdekaan, St Iesmaniasita merupakan nama yang sudah tidak asing lagi. Banyak karyanya yang tersebar lewat majalah-majalah berbahasa Jawa, atau lewat kumpulan cerita pendek serta antologinya yang telah diterbitkan. Hasil karyanya berupa sajak (dalam sastra Jawa disebut geguritan atau guritan), cerita pendek (cerita cekak disingkat cekak).


Pada saat Kota Mojokerto merayakan HUT ke-90 pada 20 Juni lalu, nama Iesmaniasita sama sekali tak terdengar. Mungkin saja para pejabat di Kota Mojokerto ini tidak kenal, bahkan belum pernah mendengar namanya. Padahal, nama ini sudah tercatat sampai di mancanegara.

St Iesmaniasita memiliki nama lengkap Sulistyo Utami, lahir di Terusan, Mojokerto pada 18 Maret 1933. Terakhir menjadi guru di Kota Mojokerto.

Dari buku Wawasan Sastra Jawa Modern karya Poer Adhie Prawoto disebutkan bahwa Bu Is, panggilan akrab St Iesmaniasita, menghasilkan karya tak kurang dari 82 cerita pendek, 514 geguritan, serta beberapa esai yang membicarakan kesusastraan Jawa.

Adapun buku kumpulan hasil karyanya adalah, Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (Nyanyian Malam di Gunung Kapur) diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1958, memuat 8 cerita pendek, masing-masing berjudul Kembang Mlathi Sagagang, Wengi ing Pinggir Kali, Lagu kang Wekasan, Lingsir ing Pesisir, Jugrug, Gerimis, Ing Sunaring Rembulan, Ing Sawijining Wengi.

Saat wartawan koran ini datang ke rumah keluarganya di Jl Jokotole No 19 Mojokerto, beberapa buku ini masih tersimpan di perpustakaan keluarga. ”Masih ada buku-bukunya, meskipun Bu Is sudah tidak ada,” kata Lutvi, keponakan Bu Is.

Ia pun sempat menyebut sejumlah karyanya yang belum diterbitkan dan tersimpan rapi di perpustakaan keluarga. Karya-karya tersebut terhimpun dalam manuskrip berjudul Lintang Ketiga (Bintang di Musim Kemarau) memuat 6 cerita pendek yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1957-1963 dan 16 buah geguritan yang bertiti mangsa tahun 1955 sampai 1959. ”Adakah pihak yang bersedia menerbitkan menjadi sebuah buku?” tanya Lutvi balik.

Sedangkan beberpa karyanya yang sudah diterbitkan antara lain, buku kumpulan cerita pendek Kringet saka Tangan Prakosa (Keringat dari Tangan Perkasa) terbit tahun 1974 oleh Yayasan Penerbitan Jaya Baya, Surabaya, yang memuat cerita Tandure Ijo Kumlawe, Calon Ratu, Kringet saka Tangan Prakosa, Dinane Isih Riyaya, Atine Bocah. Buku Kalimput ing Pedhut (Tersaput Kabut) diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1976, memuat 3 buah cerita pendek, masing-masing Lagu Lingsir Wengi, Kalimput ing Pedhut, Rembulan Kalingan Mega dan 20 geguritan. Geguritan (Antologi Sajak-Sajak Jawa) diterbitkan Pustaka Sasanamulya, Surakarta tahun 1975. Merupakan kumpulan geguritan 13 orang penyair dengan 76 geguritan, termasuk 7 geguritan karya St Iesmaniasita. Mawar Mawar Ketiga, merupakan kumpulan geguritan yang diterbitkan Yayasan Penerbit Jaya Baya, Surabaya, tahun 1996, memuat 35 geguritan.

Perihal sosok St Iesmaniasita, ada catatan menarik datang dari Eko Edy Susanto, kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto. ”Setiap kali saya mengajukan pertanyaan kepada peserta Gus dan Yuk Kota Mojokerto, mereka selalu menjawab tidak mengenal sosok St Iesmaniasita,” kata Eko Edy Susanto.

Cukup ironis, mengingat St Iesmaniasita adalah sosok penting dalam khazanah sastra Jawa modern. Namanya pernah tercatat pada Dictionary of Oriental Literature (George Allen and Unwinn ltd., London, 1974), Javanese Literature since Independence (JJ Ras, 1979), dan menerima Hadiah Sastra Rancage tahun 1999 karena jasa-jasanya dalam pengembangan sastra Jawa. Sejak 1958 menjadi guru di SD Negeri Purwotengah 2, lalu pindah ke SDN Wates 6 sampai menjadi kepala sekolah dan pensiun.

Selanjutnya, Cak Edy Karya -panggilan akrabnya- mengungkapkan, Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto dan Pemerintah Kabupaten Mojokerto pada 11 Maret 2005 memberikan penghargaan kepada St Iesmaniasita berupa uang Rp 3 juta sebagai penghargaan pada karya-karyanya. ”Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Bapak Achmady, Bupati Mojokerto saat itu,” ujar dia.

Saiful Bakri, Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto dalam kesempatan lain memberikan kesannya. ”Pertama kali mengenal Bu Is ketika peluncuran Antologi Puisi Candi Terakota yang diterbitkan Forum Penyair Mojokerto. Orangnya pendiam, namun tegas,” ujarnya.

Abdul Malik, Redaksi Jurnal Kebudayaan Banyumili menambahkan, pada tahun 1998 Dewan Kesenian Mojokerto mengadakan Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional dan sepuluh 10 terbaik dibukukan. ”Jurinya waktu itu Ibu Is, Pak Hardjono WS dan Aming Aminoedhin. Adalah suatu kehormatan bagi panitia karena yang memilih judul Antologi Puisi Surat di Jalan Berdebu adalah Bu Is,” paparnya.

Malik pun bersyukur, Perpustakaan Umum Kota Mojokerto masih menyimpan koleksi 2 buku Bu Is. ”Masing-masing Kringet Saka Tangan Prakosa dan Kalimput ing Pedhut,” ungkap Malik yang saat ini juga menjadi sekretaris Redaksi Majalah Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur.

Dikatakannya, pada sebuah Seminar Sastra Modern di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 13-15 Desember 1988, Prapto Yuwono membawakan makalah setebal 13 halaman khusus mengulas karya-karya St Iesmaniasita. Berikut ini adalah sebagian tulisan dalam makalahnya,” Ada kesan yang cukup mendalam setiap kali saya mengadakan pertemuan dengan puisi-puisi penyair ini. Kesan ini berlaku untuk sebagian besar puisi-puisinya, bahwa puisi-puisi penyair ini pada umumnya memiliki warna dasar kesedihan. Kesedihan-kesedihan itu dapat berupa: Karena perpisahan dengan kekasih, sehingga menimbulkan rindu, dendam, benci, dsb, karena kenyataan-kenyataan sosial yang memprihatinkan, karena bencana-bencana alam atau iklim alam yang menyengsarakan manusia, karena keinginan atau cita-cita tak sampai, karena dosa-dosa yang diderita manusia dsb. Demikian menyeluruh kesedihan yang diungkapkannya itu, sehingga kesan suram, kusam dan bahkan gelap meliputi puisi-puisinya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa puisi-puisinya mengajak kita untuk juga turut bersedih, bahkan sebaliknya ada sikap-sikap yang selalu ingin ditampilkannya. Yakni, ketegaran, keangkuhan sekaligus kepasrahan, kerelaan dan rasa semangat untuk selalu bangkit dalam menghadapi kesedihan-kesedihannya itu. Dengan kata lain, tidak terasa sama sekali kesan ”cengeng” di dalam puisi-puisinya.” (*/nk)

Sumber, reporter : KHOIRUL INAYAH, Mojokerto (Radar Mojokerto).


Dikopipaste saking: Mojokerto

Mendongkrak "Sastra Jawa" Modern


Sapardi Djoko Damono,Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, Bentang Budaya Yogyakarta, 2000, xi + 434

CUKUP lama terjadi pertentangan pendapat di kalangan akademisi sastra Jawa mengenai keberadaan Sastra Jawa Modern (SJM), terutama dalam kajian atau studi.



Di satu pihak ada pengakuan dan anggapan pentingnya keberadaan sastra Jawa gagrak anyar itu, sehingga layak untuk bahan kajian. Di lain pihak enggan mengakui, dengan alasan SJM masih kurang bermutu.

Ada pula yang menyatakan SJM tidak beda dengan sastra Indonesia. Biasanya kalangan ini masih menumpukan sastra Jawa pada karya-karya klasik yang berbahasa Jawa kuno dan bahasa Jawa baru, umumnya sastra bermetrum macapat.

Jawaban atas persoalan itu datang dari Sapardi Djoko Damono. Ia ikut mempersoalkan sastra Jawa itu lewat disertasinya di Universitas Indonesia tahun 1993. Hasil studi Sapardi bersama-sama karya ilmiah lainnya, mendongkrak keberadaan SJM, khususnya di kalangan akademisi.

Kajian Sapardi tersebut memperkuat hasil kerja Suripan Sadi Hutomo (1975) lewat Telaah Kesusasteraan Jawa Modern, JJ Ras (1979) yang menyusun Sastra Jawa Mutakhir, dan disertasi George Quinn dari Australia (1984) berjudul The Novel in Javanese. Disertasi Sapardi itu berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur yang kini menjadi buku Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, diterbitkan Bentang Budaya Yogyakarta.

Meski semula Sapardi bukan akademisi sastra Jawa, tetapi sebagai penyair ketika masih di Solo dan Yogyakarta, ia bermula dari dunia sastra Jawa. Hampir semua pengarang yang novel-novelnya ia teliti adalah teman-temannya. Karena itu, lewat bukunya (disertasinya) tersebut ia membuka jerohan isi karya teman-temannya.

Buku berpengaruh dalam hal garapan sosiologi sastra, karena Sapardi-lah ilmuwan Indonesia terkemuka di bidang ini. Detail teori sosiologi sastranya, diterapkan secara menarik pada berbagai aspek 20 novel Jawa, pengarang, dan penerbitnya.

Sebagai contoh adalah gambaran pengarang Widi Widayat. Sapardi mengungkapkan keadaan pengarang tersebut, bahwa ia gelisah karena istrinya akan melahirkan sementara dirinya kena PHK.

Maka ceritanya berjudul Dawet Ayu yang dikirim ke majalah Bahasa Jawa Panyebar Semangat menjadi harapan satu-satunya. Tiga hari setelah kelahiran anaknya, tulisan itu dimuat, dan Widayat segera menelepon redaksi, meminta honor (hal 124).


[]

PENONJOLAN judul buku dengan frasa Priayi Abangan merupakan daya tarik kuat yang ditawarkan. Lewat 'kenyataan' dalam novel, Sapardi tampaknya ingin ikut 'memprotes' klasifikasi masyarakat Jawa dari Cliffort Geertz dalam The Religions of Java. Geertz di situ memilah masyarakat Jawa menjadi abangan, santri, dan priayi. Protes Sapardi itu mungkin juga disebabkan Geertz tidak menyinggung novel Jawa. Karena itu, bisa jadi Geertz dinilai kurang lengkap pengamatannya mengenai "pengelompokan" masyarakat.

Dunia novel-novel Jawa saat itu adalah dunia abangan, milik kaum priayi yang abangan. Padahal, priayi dan abangan bukan seperti klasifikasi yang diberikan oleh Geertz. Abangan dan santri merupakan aspek ketaatan religius masyarakat Jawa, sedangkan priayi merupakan status sosial.

Abangan adalah orang Islam yang tidak menjalankan rukun Islam kecuali syahadat. Santri adalah orang Islam yang patuh pada rukun Islam. Priayi, bisa jadi abangan tetapi bisa jadi juga santri.

Penelusuran Sapardi lewat novel-novel tersebut antara lain juga mendapati ada kiai tetapi abangan. Ini misalnya dalam Srikuning. Dalam novel itu, "tokoh Kiai Amadrawi digambarkan menjalankan sembahyang subuh, tetapi memberikan wejangan mengenai filsafat wayang dan kebatinan". (hal 291-292)

Analisis terhadap novel Gara-garane Karangan dari Any Asmara menyodorkan pengertian lain, yakni "gabungan" antara santri dan wayang itu aneh. Dalam novel lainnya, digambarkan bahwa wayang bagian tak terpisahkan dari kehidupan priayi. Seorang priayi ideal itu menguasai kesenian dan wayang.

Jika anggapan kombinasi santri dan wayang itu aneh, tentunya kombinasi antara priayi dan santri juga aneh. Jika berpegang pangertian itu, semua novel Jawa tahun 1950-an tidak menggambarkan dunia santri, sebab boleh dikatakan sepenuhnya dikuasai priayi dan wayang. Bahkan beberapa kiai yang ada di dalamnya pun menyampaikan pengetahuan dan nasihatnya lewat pewayangan.

Para priayi sendiri tampak berusaha melestarikan status priayinya. Ada yang berusaha menjadi priayi sebaik-baiknya, seperti tokoh-tokoh satria di pewayangan: halus, mengendalikan hawa nafsu, menjunjung kepribadian. Ada pula usaha rakyat kecil meraih status itu, tetapi setelah mendapatkannya, keberatan mengemban tugas kepriayian.

[]

PADA telaah sosiologi sastra, novel Jawa tahun 1950-an terlihat sebagai perpaduan antara pandangan romantik Balai Pustaka dan seni sebagai hiburan. Novelis Jawa berperan ganda: sebagai pendeta dan sebagai penghibur. Dalam pandangan romantik, sastrawan diharapkan untuk memimpin khalayaknya. Ia harus menciptakan karya yang dimaksudkan untuk merombak keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak beres.

Dengan demikian karya sastra harus mengandung anasir pembaruan sosial. Para novelis Jawa memang berperan sebagai pendeta. Berbagai kecenderungan dalam masyarakat seperti takhayul, kebodohan, dan fanatisme agama ditampilkan sebagai hal-hal negatif yang harus dirombak atau dihindari.

Pandangan seni sebagai hiburan sama sekali tidak dikesampingkan oleh para novelis Jawa. Tugas sebagai perombak dan pembaru tetap dipertahankan dengan cara menciptakan cerita bisa menghibur pembaca. Novel-novel Jawa itu berada di tengah-tengah, yakni antara novel-novel Balai Pustaka yang romantik dan gaya Panyebar Semangat yang lebih sebagai seni sebagai hiburan.

Cerita bersambung Uripe Kramalejo ing 5 Zaman karya Bambang Sudjiman merupakan kekecualian. Jika pengarang lain umumnya menghibur pembaca dengan memanfaatkan kecengengan dan menawarkan dunia pelarian, Bambang 'menghibur' dengan menyindir ketololan kita semua.

Hiburan semacam itu ternyata dianggap aneh oleh redaksi Penyebar Semangat. Hiburan yang wajar pada saat itu umumnya berupa kisah cinta dan cerita detektif. Ramuan keduanya menjadi kegemaran novelis Jawa.

Tak terelakkan, saat itu seni populer memang melanda. Seni populer ditandai dengan pemanfaatan perasaan berlebihan, menawarkan dunia pelarian (panglipur wuyung), dan mengharamkan makna ganda.

Untuk soal penerbitan, terlihat pemerintah kurang bersemangat. Dalam sepuluh tahun hanya menelurkan enam novel. Demikian halnya penerbit swasta. Dapat dilihat bahwa penerbit yang kebanyakan keturunan Cina lebih banyak mencetak bacaan karya klasik seperti primbon, kitab keagamaan, dan kebatinan. Yang paling besar adalah Tan Kun Swie, Kediri. Novel Jawa harus bersaing dengan bacaan klasik itu.

[]

TERLIHAT bahwa dunia novelis Jawa dasawarsa itu adalah dunia pewayangan. Pengarangnya sangat paham wayang. Dalam karyanya pengarang cenderung menjadi dalang, bercerita serba tahu, penyebar informasi, sehingga novel-novelnya seakan menjelma menjadi dunia pewayangan dan bukan sekadar cerita rekaan modern (h. 240).

Penyebutan nama-nama tokoh novel dan cara pengucapan narasi pun diperbandingkan dengan dunia pakeliran. Contoh paling gamblang dalam novel Srikuning. Semua itu karena pengaruh ke-adiluhung-an wayang yang punya kedudukan istimewa di masyarakat Jawa, sekaligus menjadi kesenian populer. Perlu dicatat, hal tersebut bukan usaha untuk kembali ke masa lampau, tetapi lebih sebagai upaya meyakinkan pembaca akan pentingnya fungsi cerita rekaan modern dalam masyarakat.

Untuk penggarapan cerita terlihat bahwa dunia novel Jawa saat itu sangat lekat dengan pewayangan, yakni adanya unsur banyol (humor, lucu), nges (membuat sedih), greget (menimbulkan ketegangan), dan sem (membangkitkan erotis). Unsur-unsur itu harus ada dalam setiap cerita. Lewat bagian-bagian greget, nges, banyol dan sem itulah pengarang Jawa menyampaikan pengetahuan dan nasihatnya.

Buku tersebut tentu saja amat berguna untuk menengok keadaan masyarakat Jawa tahun 1950-an. Sehingga, siapa pun yang berminat pada kajian tentang masyarakat Jawa, akan bisa memetik manfaatnya.

Karena buku itu dicetak persis dengan disertasi aslinya, maka terasa amat akademis, lengkap dengan catatan kaki, indeks, daftar kepustakaan. Tetapi tidak kaku formalistis. Gaya bahasanya luwes mengalir, alurnya lancar.

Sayangnya, beberapa kaidah dalam menulis judul karangan (novel) di sana-sini tidak dimiringkan (kursif), sehingga agak mengganggu mata.
( Winoto, penulis adalah lulusan Jurusan Sastra Jawa Fakultas Sastra UI, Depok).



Kompas Minggu, 13 Agustus 2000

Saturday, October 18, 2008

Mari Membunuh Sastra Jawa


Oleh Siti Aminah

Bunuh saja sastra Jawa! Demikian lontaran seorang sastrawan beberapa waktu lalu, yang kontan memicu emosi beberapa sastrawan Jawa. Lontaran itu tentu saja bukan tak berdasar. Menurut sastrawan tersebut, sastra Jawa sudah sekarat keadaannya. Dari pada membiarkannya dalam kondisi kritis berlama-lama, kenapa tidak dibunuh saja?
Wacana kematian sastra sudah berdengung sejak lama. Bahkan opini tentang hal itu sudah dapat ditemukan di media massa menjelang tahun 70-an. Meski sampai saat ini sastra Jawa tak juga mati, tetapi kehidupannya jauh dari menggembirakan. Tentu ada berbagai faktor yang menjadikannya demikian. Setidaknya terdapat tiga hal besar yang berkaitan langsung dengan kondisi tersebut, yaitu media, penulis atau sastrawannya, dan pembaca.



Dapat dikatakan bahwa kehidupan sastra Jawa bersandar pada media massa berbahasa Jawa. Ironisnya media massa berbahasa Jawa yang menjadi sandaran itu tak banyak jumlahnya. Barangkali saat ini hanya ada tiga media massa berbahasa Jawa (majalah) yang menjadi andalan para sastrawannya. Dua di antaranya terbit di Surabaya dan satu lagi di Yogyakarta.

Dalam hal konsistensi, tiga media tersebut tidak perlu diragukan lagi. Selama puluhan tahun ketiganya setia melestarikan bahasa Jawa meski secara finansial kurang menjanjikan. Sayangnya tak banyak perubahan pada media-media tersebut sejak awal terbitnya hingga sekarang. Sementara itu kondisi di luar terus mengalami perubahan, sehingga sesuatu yang konstan terasa ketinggalan jaman.

Perubahan memang bukan perkara ringan. Ada berbagai konsekuensi yang menyertai ketika niat untuk melakukan perubahan itu mulai disuarakan. Keterbukaan, kemauan untuk belajar, dan keinginan untuk mencoba hal baru menjadi hal yang mutlak dilakukan. Artinya pihak media perlu memfasilitasi stafnya meningkatkan kapasitas mereka sesuai kebutuhan. Namun dalam kondisi seperti saat ini, mungkin hal itu sulit dilakukan karena keterbatasan dana.

Jika demikian masalahnya, tampaknya media bahasa Jawa dapat mengadopsi sistem yang dipakai oleh lembaga-lembaga sosial, yaitu kerelawanan. Banyak lembaga sosial yang tidak memiliki cukup dana sementara mereka harus tetap menjalankan program untuk masyarakat. Dalam kondisi demikian, mereka mengundang masyarakat (utamanya mahasiswa) untuk bergabung menjadi relawan. Meski tidak mendapatkan bayaran berupan uang, namun relawan tetap mendapat keuntungan berupa kesempatan belajar di lembaga tersebut. Tentu ini hal yang sangat berharga karena apa yang mereka pelajari di lembaga sosial tidak didapatkan di lembaga pendidikan formal.

Sistem ini akan efektif bagi kedua belah pihak, media dan relawannya, jika media mau membuka diri. Para relawan tidak sekedar diposisikan sebagai “pesuruh”, tetapi juga dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dan tenaga, tentu para calon relawan ini diterima setelah melalui seleksi. Hanya mereka yang potensial saja yang dapat bergabung untuk menghasilkan suatu karya bersama.

Kedua, meski masa berganti dan sastrawan Jawa telah mengalami regenerasi, tetapi karya sastra Jawa ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini dapat kita lihat dari karya yang dimuat di media berbahasa Jawa yang terbit sejak lebih dari lima puluh tahun lalu. Tema-tema percintaan, kemiskinan, kepasrahan, atau kehidupan keseharian dengan mudah kita temui baik pada karya sastra tahun lima puluhan maupun dua ribuan. Meski berbeda masa, tetapi karya-karya tersebut hampir tidak berbeda kecuali pada ejaan dan pemilihan katanya. Sementara materi yang diangkat relatif sama, tanpa latar belakang peristiwa politik, sosial, maupun budaya yang dapat menandai kelahiran suatu karya.

Tak ada yang salah dengan tema-tema tersebut. Meski demikian tampaknya akan lebih mengena jika tema-tema tadi ditulis bukan sekedar memaparkan orang-perorang, melainkan juga mengaitkannya dengan kondisi umum yang sedang terjadi. Dengan demikian pembaca tidak hanya mendapatkan paparan tentang para tokoh cerita saja, tetapi juga mendapatkan gambaran keterkaitan tokoh cerita dengan kondisi sosial-politik maupun budaya yang melingkupinya.Sebagai contoh cerita tentang kemiskinan. Kita tahu bahwa terjadi pemiskinan secara sistematis di negeri kita.

Program pengentasan kemiskinan dalam implementasinya tak berarti banyak bagi kaum miskin. Bahkan berkali-kali pemerintah mengeluarkan kebijakan yang justru kontra produktif bagi rakyat kecil, seperti pemberian BLT, penyewaan hutan lindung, privatisasi berbagai perusahaan negara, dan sebagainya. Cerita yang mengaitkan kemiskinan dengan gejala yang tengah terjadi tentu akan lebih menarik dibanding cerita yang hanya memaparkan kemiskinan individual saja. Dengan demikian penikmat karya sastra Jawa tidak sekedar disuguhi cerita hiburan semata, tetapi juga diajak melihat dan mengkritisi apa yang terjadi.

Ini penting sebab sering kali orang menganggap suatu suatu peristiwa sebagai hal biasa karena pernah terjadi peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya peristiwa tersebut adalah bagian dari peminggiran dan ketidakadilan. Dalam kondisi seperti inilah karya sastra yang mampu mengaitkan satu gejala dengan gejala yang lain menjadi penting. Karya-karya ini akan menjadi anak jaman yang mancerminkan kondisi masyarakat pada saat karya tersebut dibuat.

Hal lain yang perlu dibincang di sini adalah apresiasi pembaca. Pembaca sebagai penikmat karya memiliki peran penting untuk turut menjaga kualitas suatu karya. Pembaca memiliki hak untuk menyuarakan penilaian mereka terhadap suatu karya. Tentu penilaian ini tidak akan ada artinya jika disimpan untuk diri sendiri. Penilaian atau apresiasi yang dikirimkan kepada media atau disampaikan langsung kepada para penulisnya akan menjadi sebuah kontrol. Anggapan bahwa apresiasi justru akan mematikan semangat berkarya penulisnya sudah saatnya dibuang. Sebab penulis yang berkeinginan agar karyanya bermanfaat bagi orang banyak, pasti akan senang hati menerima umpan balik dari masyarakat pembaca.(am)

saka kene

Sunday, October 12, 2008

Ketika Raffles Terpesona Jawa

Judul Buku: The History of Java

Penulis: Thomas Stamford Raffles
Penerjemah: Eko Prasetyaningrum, dkk
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xxxvi + 904 halaman



Terbit pertama kali pada tahun 1817, buku ini pantas disebut sebagai salah satu mahakarya abad ke-19. Penulisnya Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) sudah sangat terkenal. Dialah Letnan Gubernur Inggris di Indonesia pada 1811-1816. Pada 1965, Oxford University Press di Inggris menerbitkannya kembali dalam dua jilid, kemudian lagi pada 1978. Beberapa perpustakaan universitas di Indonesia menyimpan buku ini. Tetapi dari pengamatan, buku yang masuk di bagian referensi ini tampaknya jarang sekali disentuh. Mungkin karena berbahasa Inggris.

Oleh karena itu, apresiasi yang tinggi pantas diberikan kepada penerbit yang menerjemahkan dan menerbitkan buku sangat penting ini. Ada yang agak janggal memang. Satu di antaranya, yang muncul di internet: ''Tak terbayangkan karya sepenting ini butuh waktu hampir 200 tahun untuk diterjemahkan, dan bukan oleh (penerbit) major label (pula).''

Ketika baru terbit pada 1817, seorang pengkritik mengatakan, penulisan The History of Sumatra (1811) karya William Marsden lebih bagus dibanding buku ini. Mungkin ada benarnya. Para pembaca masa kini bisa membandingkan keduanya, karena karya Marsden juga telah diterbitkan tahun ini oleh Penerbit Komunitas Bambu. Tetapi, jelas, karya Raffles jauh lebih kaya sumber-sumbernya. Ia terjun langsung berbulan-bulan di berbagai daerah di Jawa dan Bali, sementara Marsden lebih bergantung pada referensi-referensi Portugis.

Sebagai mahakarya, buku ini memang sangat kaya informasi. Oleh karena itu, sebenarnya terlalu naif rasanya mencoba menjelaskan isi buku hampir 1.000 halaman ini hanya dalam kolom pendek di koran ini. Inilah ''buku babon Jawa'' yang luar biasa, yang merangkai semua hal tentang Jawa.

Dilengkapi gambar-gambar sketsa, Raffles yang terpesona eksotisme Jawa melukiskan beragam sudut kehidupan masyarakat Jawa di masanya. Tentang sejarah Jawa, ciri dan karakter orang Jawa, kebiasaan-kebiasaannya, agama, bahasa, seni, budaya, dan sebagainya. Dengan bantuan berbagai pihak, Raffles menerjemahkan beragam sumber seperti naskah Bharatayuda dan Babad Tanah Jawa.

Mengawali bukunya yang terdiri 11 bab, Raffles memaparkan situasi geografi Pulau Jawa, lengkap dengan kota pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, mineral, sayur-sayuran hingga binatang.

Raffles mengatakan, entah dari apa nama ''Jawa'' berasal. Tidak jelas. Ada yang menyebut nama itu berasal dari kata ''Jawa-wut'', suatu jenis padi-padian, yang mungkin menjadi bahan pangan pokok pada masa awal. Pada masa sebelumnya, ada juga istilah lain yakni Nusa hara-hara atau Nusa kendang.

Raffles mengungkapkan kekaguman atas suburnya sebagian besar tanah di Jawa. Ia menyatakan, hal itu mungkin karena banyak gunung di pulau ini. Berbagai tumbuhan dan hasil pertaniannya sangat beragam.

Bagaimana orang-orang Jawa menurut pandangan Raffles? Ia mengatakan, wajah kaum wanita tidaklah begitu bagus seperti kaum laki-laki Jawa. Dan, di mata orang-orang Eropa, banyak wanita yang ''buruk'' wajahnya, khususnya setelah usia tua. Tetapi dikatakan, itu semua tampaknya wanita Jawa yang bekerja berat.

Berbeda dengan penguasa Belanda, sikap Raffles cenderung positif dalam menilai orang-orang Jawa. Raffles menilai orang-orang Jawa sebagai ''orang-orang yang mudah bergaul dan sopan, penuh hormat dan bahkan cenderung malu-malu, tidak pernah kasar, tapi mereka lamban dalam gerak.''

Laki-laki Jawa umumnya mempunyai seorang istri. Tetapi banyak pejabat seperti lurah memiliki istri lebih dari satu. Para bupati biasa mempunyai tiga atau empat istri, sementara para raja bisa 8 hingga 10.

Tentang orang-orang asing yang tinggal di Jawa, Raffles mengatakan yang paling banyak adalah orang China (Tionghoa). Pada awal 1800-an, jumlah orang Tionghoa ada sekitar 100.000 orang, kebanyakan tinggal di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sebagian kecil lainnya tinggal di kota-kota kecil.

Struktur Sederhana

Di dalam bab IV, Raffles menjelaskan tentang pembuatan barang-barang hasil kerajian tangan, seperti tikar, pakaian, barang-barang ukiran, dan sebagainya. Letnan gubernur itu menggarisbawahi bahwa struktur masyarakat Jawa sederhana dan keinginan masyarakatnya tidak banyak. Akumulasi modal pun tidak ada, dan pembagian profesi tidak banyak. Oleh karena itu, katanya, perusahaan manufaktur tidak dapat diharapkan bisa didorong dalam batas tertentu.

Meskipun begitu, bahasa masyarakat Jawa waktu itu telah memiliki kata untuk menyebut sebagian besar jenis pekerja tangan. Contohnya, pandi (pande), tukang kayu, tukang werongko, tukang deluwang, dan tukang sulam.

Dalam usahanya menunjukkan para tukang itu, Raffles menyertakan pula gambar-gambar berbagai peralatannya. Ia tunjukkan, misalnya, gambar pacul, gergaji, sabit, linggis, dan alat tenun. Ia juga menurunkan contoh keris dan jenis-jenisnya secara lengkap.

Buku ini juga kaya informasi tentang sejarah raja-raja Jawa, lengkap dengan bumbu-bumbu intrik dan liku-liku kekuasaannya. Ada pelukisan rinci, misalnya, bagaimana Raja Mataram, Amangkurat I, menghukum mati Trunojoyo secara sadis disaksikan para pejabat kerajaan.

Sayang sekali, buku terjemahan karya Raffles ini menghilangkan tulisan pengantar Prof John Bastin, guru besar sejarah di School of Oriental and African History, University of London. Sebagai gantinya, disertakan pengantar yang ditulis Drs Syafruddin Azhar, redaktur Tabloid Mingguan PERLE. Cukup bagus memang, tetapi dalam tulisan Prof Bastin terdapat banyak penjelasan yang penting, antara lain bagaimana proses buku Raffles itu disusun.

Sebagai penulis, Raffles adalah pribadi yang tekun. Ia menulis hingga malam hari, sebagian besar di Cisarua, setelah berbulan-bulan berkeliling Jawa. Di sela-sela tugasnya, tentu saja. Meskipun kecewa karena dicopot, ia pulang dengan semangat tinggi untuk menulis bukunya. Ada penjelasan, siapa saja orang-orang yang membantunya mengumpulkan bahan dan menulis. Tak kurang 30 ton bagasinya yang dibawa pulang ke London. Berbulan-bulan barangnya ditahan aparat pabean.

Tak percuma memang perjuangan Raffles. Mahakaryanya abadi di dalam jutaan sanubari. (*)

Djoko Pitono, Jurnalis dan Editor Buku.

Jawa Pos, [Minggu, 12 Oktober 2008]