Friday, February 29, 2008

Kontroversi Jagad Jawa Borobudur

Oleh: Pudjo Koeswhoro

KONTROVERSI Jagad Jawa masih terus berlanjut. Bahkan dibumbui dengan aksi demo segala. Jagad Jawa sendiri mengandung makna sebagai simbolisasi kesemestaan bhuwana, adanya kesatuan kehidupan makrokosmos yang amemangku jagad ing bhumi Jawa. Sesuatu pemahaman yang menggambarkan kebesaran alam raya dan secara spiritual memerlukan keseimbangan lingkungan ekologis dengan keseimbangan kehidupan sosial-budaya. Sehingga diharapankan dapat membawa kesejahteraan masyarakatnya.

Saat ini nama Jagad Jawa akan digunakan sebagai nama kawasan pasar seni yang bersebelahan dengan kompleks Candi Borobudur. Hal ini sangat rancu dengan penggunaan istilah Jagad Jawa yang akan digunakan untuk rancangan gedung pasar seni yang akan disepadankan dengan kebesaran nama Borobudur.

Berbagai pihak menilai penggunaan nama Jagad Jawa akan mengaburkan makna Borobudur, meski rencana pembangunan pasar seni tersebut guna mendukung wisata Borobudur.
Hal itu dianggap mengabaikan upaya badan-badan donor seperti Unesco, JICA, Dinas Museum dan Purbakala yang berupaya melakukan penyelamatan (konservasi) Borobudur.
Upaya penyelamatan dilakukan sebagai bagian pelestarian terhadap benda arkeologi Borobudur sekaligus langkah penghormatan pada karya unggulan dunia hasil seni-budaya leluhur. Maka situs-situs Borobudur selain pantas ditetapkan sebagai cagar budaya, telah lama membawa pengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.

Langkah-langkah pengembangan Borobudur melalui penataan kawasan termasuk pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa dilakukan sebagai upaya meningkatkan perekonomian masyarakat dan kepentingan Pemda Jawa Tengah. Maka dapat dipahami bila rencana ini dinilai memiliki nilai strategis dan ekonomi, sekaligus merupakan skenario pengembangan industri wisata yang tidak terlepas dari pertimbangan investasi dan bisnis.

Komitmen Penyelamatan

Komitmen negara-negara maju yang peduli terhadap warisan budaya merupakan langkah strategis yang sudah dirintis Unesco maupun Bank Dunia dalam upaya menjaga kualitas lingkungan bersejarah sebagai monumen skala dunia dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitarnya. Seperti diketahui Borobudur dan Prambanan sudah termasuk dalam daftar list World Heritage. Belajar dari negara-negara lain dalam penanganan kawasan wisata yang memiliki skala dunia, memerlukan langkah-langkah strategis.

Seperti yang dilakukan Bank Dunia dalam memberikan hibah dan bantuan teknis untuk penyelamatan obyek arkeologis kawasan bersejarah yang dikembangkan untuk wisata adalah lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat. Pelibatan komunitas sendiri diawali sejak gagasan muncul melalui proses penyerapan keinginan ideal masyarakat, baik dalam penyusunan program hingga diwujudkan melalui tindakan realistis.

Nampaknya rencana Pemda Jawa Tengah mewujudkan pembangunan PSJJ yang dipadukan dengan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) mengalami hambatan, karena terjadi penolakan dari masyarakat seni dan budayawan, pelaku wisata serta lembaga masyarakat sekitar Borobudur. Hal ini menunjukkan belum adanya keseimbangan pendekatan pemikiran dalam mewujudkan rencana tersebut.

Berdasar catatan, upaya penyelamatan dan pemugaran Borobudur sudah banyak dilakukan. Hal ini guna mendorong kegiatan wisata yang dapat menghidupkan daerah tujuan wisata Borobudur-Mendut-Pawon, Prambanan, Ratu Boko dan Solo. Namun acapkali dinilai yang memperoleh imbasnya dan lebih diuntungkan masyarakat Yogyakarta.

Perlu disimak pula sebetulnya wisata dunia seperti halnya Borobudur tidak lagi mengenal batas, sehingga perlu dihindari kesan tersebut. Perkembangan terakhir masyarakat sekitar Borobudur telah menunjukkan peningkatan perannya dalam berinteraksi dengan pelaku wisata internasional baik dalam penyediaan jasa layanan wisata, maupun akomodasi penginapan.

Hal ini merupakan bentuk kehidupan nyata masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi bagian dari wisata budaya sebagai wujud keterlibatan-partisipatif untuk ikut membangun pasar dunia wisata. Kehidupan semacam inilah sebetulnya yang diinginkan oleh para wisatawan dunia, bukan sesuatu yang diatur-atur, ditata, dipoles berupa keindahan artificial.

Hal ini dapat diyakini saat ini perkembangan dunia wisata ada kecenderungan akan melihat "jendela dunia lain" khususnya khasanah dunia timur. Yakni menyangkut kehidupan sosial, aktifitas pelaku seni-budaya, adat tradisi, ritual maupun keindahan alam secara natural.

Pendekatan Strategis

Pendekatan sosio-antropologis dalam pengembangan wisata budaya menjadi sesuatu pertimbangan penting. Pemahamannya dapat melalui tindakan penguatan budaya lokal. Hal ini akan lebih menarik ketimbang mewujudkan sebuah arena seni yang ditata steril, bahkan akan berkesan menjauhkan dari kehidupan realitas yang berkembang di masyarakat.
Maka langkah yang bijak dalam konteks penyatuan kawasan bersejarah dengan dunia wisata jangan terjadi upaya-upaya yang menjauhkan komunitas sekitar kawasan bersejarah dari obyek atau benda artefak dan situs yang memberi kesan disakralkan. Meski harus diakui berdasar UU No 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya ada keterbatasan gerak. Seperti yang tertuang pada Bab IV pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1-3 tentang tindakan terhadap perubahan fungsi situs yang dilestarikan dan jika terjadi perusakan yang diakibatkan kegiatan manusia dapat dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 28.

Dalam hal ini memerlukan penyadaran terhadap masyarakat sekitar terhadap pemahaman pelestarian kawasan bersejarah maupun benda arkeologis. Melalui langkah-langkah akomodatif untuk selalu diadakan sosialisasi kesadaran penyelamatan artefak dan lingkungannya terhadap pelaku dan masyarakat di daerah tujuan wisata khususnya di kawasan bersejarah. Seperti halnya masyarakat di sekitar Borobudur menjadi penting untuk dilibatkan dalam menjaga kelestarian, sekaligus upaya merawat dan meningkatkan penyelamatan lingkungan.

Pengembangan wisata Borobudur dapat dilakukan secara alamiah melalui proses penguatan budaya dan kehidupan lokal. Hal ini dapat diterjemahkan melalui keterlibatan komunitas setempat dan lingkungan masyarakat sekitar. Pembangunan daerah tujuan wisata merupakan pengembangan proses pembentukan lingkungan yang tidak terlepas dari kehidupan keseharian yang unik dan spesifik, termasuk upacara tradisi dan kegiatan ritual, kehidupan pengrajin kampung-kampung sekitarnya. Kegiatan penataan kawasan Borobudur baik melalui pemugaran maupun pengembangan daerah tujuan wisata memerlukan kehati-hatian dalam pendekatan pembangunan fisik. Sudah banyak pihak melakukan hal ini, baik bantuan teknis melalui JICA maupun badan dunia internasional. Termasuk pula upaya dan tindakan pengembangan TWCB melalui badan otorita kawasan Borobudur, sudah banyak melibatkan pelaku industri wisata baik dalam penyusunan program kunjungan maupun penyelenggaraan kegiatan festival.

Maka perlu diketahui jika pengembangan kawasan wisata budaya lebih mengutamakan kegiatan pembangunan fisik khususnya dalam wujud gedung bertingkat, memberi kesan tidak menghargai eksistensi komunitas, pelaku wisata dan masyarakat sekitar. Seakan hanya memberi kesan fasilitas tersebut diperuntukan bagi kenyamanan wisatawan semata. Wisatawan selalu dianggap sebagai tamu yang harus dihormati terus menerus. Di satu sisi penataan lingkungan kawasan wisata acapkali memberi kesan penilaian negatif adanya penggusuran, pemindahan kediaman tuan rumah.

Salah satu faktor keberhasilan pengembangan daerah tujuan wisata yang diharapkan tentu adanya keterlibatan langsung pelaku wisata dalam perencanaan dan kemudahan akses memperoleh modal usaha. Juga peningkatan kualitas produk dan peluang membuka jaringan komunikasi global. Suatu langkah yang diperlukan guna mendorong kesadaran adalah pembekalan pengetahuan kelestarian lingkungan obyek arkeologis.

Dalam hal penataan lingkungan kawasan Candi Borobudur perlu memperhatikan penetapan area cagar budaya yang didasarkan pada pembagian zona, khususnya pada area inti sebagai area sanctuary masuk kategori pelestarian memerlukan kehati-hatian. Berikutnya zona taman sebagai daerah penyangga hijau dengan kegiatan wisata terbatas, zona berikut lingkungan permukiman, dan zona yang memerlukan pengawasan terhadap tinggalan arkeologi untuk kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan eksplorasi.

Dengan demikian ketika akan dilakukan pengembangan area untuk PSJJ sudah semestinya memperhatikan penataaan zona inti. Tidak dibenarkan masuk ke dalam lingkungan yang sudah semestinya dicadangkan sebagai zona penyangga atau zona yang diduga masih dalam pengawasan tinggalan arkeologis. Apalagi jika nantinya bentuk arsitektural berupa bangunan bertingkat secara visual akan berpengaruh menghalangi arah pandang dan kesatuan estetika lingkungan. Bahkan diduga akan berpengaruh pada pembebanan struktur tanah lereng perbukitan. Panduan semacam ini sebetulnya sudah disusun dalam Rencana Tata Lingkungan dan Bangunan Kawasan Borobudur.

Kalau pun akan diwujudkan penambahan fasilitas kawasan wisata, secara spasial pengembangan diarahkan pada jalur koridor penghubung antara kawasan Borobudur, Mendut dan Candi Pawon. Jejalur ini diperuntukkan bagi pendukung kegiatan fasilitas pelayanan wisata sekaligus magnit dan pendorong tumbuh dan berkembangnya aktifitas malam hari. Pengembangan pada jejalur ini sebagai penyeimbang untuk menghindari penumpukan aktifitas yang sudah berkembang sebelumnya yang terkonsentrasi di TWCB, sekaligus sebagai pendorong kesatuan daerah wisata sekitarnya.

Pendekatan ekologis, tidak semata suatu tindakan penyelamatan kelestarian alam. Diperlukan pula melalui kesadaran untuk mensejahterakan kehidupan sosial-ekonomi termasuk penguatan nilai-nilai budaya lokal. Sehingga dapat disadari tindakan konservasi untuk penyelamatan peradaban budaya masa lampau yang diberdayakan bagi pengembangan wisata dapat mendorong penguatan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat sekitar untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Tentunya tidak terbatas bagi masyarakat Jawa atau masyarakat dunia, namun tetap menghargai kehadiran masyarakat setempat. Inilah yang lebih diutamakan.(33)

-Ir Pudjo Koeswhoro Juliarso MSA, anggota Dewan Riset Daerah Jateng dan Ketua Semarang Heritage Society


Dikopipaste dari Suara Merdeka Sabtu, 11 Januari 2003

Thursday, February 28, 2008

Menandingi Kongres Bahasa Jawa

Oleh Sucipto Hadi Purnomo

TAK mudah menepis anggapan Kongres Sastra Jawa (KSJ) merupakan tandingan Kongres Bahasa Jawa (KBJ). KSJ II yang akan dihelat di Semarang 30 Juni - 2 Juli 2006 telanjur dikesankan secara oposisional dengan KBJ IV yang akan digelar 5 - 10 Juli 2006.


Benarkah lewat acara tersebut genderang perlawanan telah ditabuh? Tepatkah menempatkan kedua perhelatan kebudayaan itu sebagai dua hal yang berhadap-hadapan secara diametral? Tulisan ini berusaha memahami kedua kongres itu, baik dalam perspektif historisnya beserta dinamika yang melingkupi maupun dalam kacamata sosiologis.

Penyelenggaraan Kongres Bahasa Jawa I, lima belas tahun yang silam di Semarang tak lepas dari situasi yang dirasa makin tidak kondusif bagi kehidupan bahasa Jawa. Berbagai ratap pilu selalu mewarnai forum bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Ratapan itu berkisar pada makin teralienasinya bahasa Jawa dari kehidupan nyata masyarakat pendukung budaya Jawa, terutama yang tinggal di tiga provinsi: Jateng, Jatim, dan Yogyakarta. Generasi muda Jawa pun dianggap makin tidak akrab dengan bahasa daerahnya, sehingga ancaman akan kematian bahasa Jawa kian membayang.

Kemauan Besar

Kemauan besar para pemangku wewenang, terutama di kalangan birokrasi untuk menghidup-hidupi bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Nusantara itulah yang mendorong kelahiran KBJ. Kongres ini diyakini sebagai forum yang memiliki wibawa untuk mengurai segala persoalan tersebut sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Tak tanggung-tanggung, tiga pemerintah provinsi memberikan dukungan nyata. Bahkan Presiden (kala itu) Soeharto yang membuka dan memberikan kata sambutan pada KBJ I Tahun 1991.

Wajar saja jika harapan besar ditumpukan kepadanya. Namun dalam perjalanannya hingga menjelang penyelenggaraan yang keempat ini, KBJ terbukti tak mampu secara optimal, jika tak boleh disebut gagal, mengartikulasikan persoalan aktual, penting, dan mendesak berkaitan dengan kehidupan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Kongres sekadar sebagai ajang untuk menumpuk makalah yang pada umumnya sekadar memenuhi akuntabilitas akademik sehingga gagah pada tingkat wacana namun miskin implementasi.

Karena itu berbagai ungkapan sinis pun bermunculan. Ketika ditanyakan apa yang dihasilkan oleh Kongres Bahasa Jawa yang sudah berlangsung tiga kali itu? Jawabannya kongres tidak menghasilkan apa-apa. Kongres Bahasa Jawa I hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa II. Kongres Bahasa Jawa II hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa III. Demikian pula Kongres Bahasa Jawa III, hanya menghasilkan Kongres Bahasa Jawa IV.

Pernyataan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena itu juga tidak sepenuhnya keliru. Tidak sepenuhnya benar karena sesungguhnya ada sekian banyak rekomendasi yang ditelurkan dari kegiatan tersebut. Butir-butir rekomendasi tersebut tentu saja berkisar pada upaya-upaya nyata untuk mempertahankan bahasa Jawa termasuk dengan pembentukan Dewan Bahasa Jawa.

Untuk melaksanakan rumusan tersebut direkomendasikanlah pembentukan Badan Pekerja Kongres. Namun sejauh yang saya ketahui, tak pernah ada badan tersebut terutama di tengah-tengah persiapan penyelenggaraan KBJ IV ini. Yang ada hanyalah sebuah tim, semacam prapanitia yang kemudian menjadi panitia yang mempersiapkan penyelenggaraan kongress. Mengherankan pula Dewan Bahasa Jawa di provinsi ini justru secara institusional bisa dikatakan tidak ikut cawe-cawe (sengaja tidak dilibatkan?) dalam KBJ.

Jika yang diposisikan sebagai pelaksana dan pengawal putusan kongres saja tidak pernah terbentuk masihkah pantas diharapkan putusan tersebut terwujud secara nyata?
Menyadari akan segala kelemahan tersebut, penyelenggara KBJ IV berusaha mengubah orientasi. Kongres diarahkan tidak hanya berkutat pada tataran ontologi dan epistemogi tetapi lebih dititikberatkan pada tataran aksiologi.

Kekecewaan Sastrawan

Lantas mengapa diselenggarakan pula Kongres Sastra Jawa? Kemunculan KSJ tak bisa dimungkiri berawal dari kekecewaan sejumlah sastrawan Jawa terhadap penyelenggaraan KBJ II Tahun 1996 di Malang dan KBJ III 2001 di Yogyakarta. Mereka yang selama ini jelas-jelas dengan penuh dedikasi menghidup-hidupi bahasa dan sastra Jawa boleh dibilang tak tersapa. Bersamaan dengan itu perbincangan terhadap sastra Jawa (terutama yang modern) di KBJ berkesan sambil lalu.

Lebih dari itu KSJ digagas sebagai sebentuk formula kritik konstruktif dan mekanisme kontrol atas penyelenggaraan KBJ. Karena itu semangat yang diusung adalah kemandirian dan gagasan-gagasan progresif yang dibalut dalam kesahajaan.

Masih mengesan di benak saya bagaimana KSJ I Tahun 2001 digelar di Solo. Bukan di hotel berbintang melainkan di Taman Budaya Surakarta. Di sanalah mereka berkongres dan menginap. Selama tiga hari para peserta dijamu dengan makanan kelas nasi bungkus warung hik dan minuman teh hangat dalam gelas.

Tak ada honorarium untuk semua pembicara semacam Arswendo Atmowiloto dan WS Rendra yang konon sudah menyatakan sanggup berbicara lagi pada KSJ II. Malahan beberapa dari pembicara menyumbangkan uangnya. Karena itu oleh panitia kontribusi peserta yang hanya Rp 20.000 pun dikembalikan lagi kepada para peserta pada akhir acara. Sebuah penyelenggaraan yang jauh dari kesan memproyekkan.

Penyelenggaraan semacam itu tentu saja mampu menerbitkan empati. Namun karena semangat dan dedikasi saja tidak cukup untuk mengaktualisasikan rumusan yang dihasilkan perlu dibangun kemitraan dengan berbagai pihak. Lebih dari sepuluh sanggar/paguyuban pengarang/dewan kesenian yang tersebar di tiga provinsi sebagai penyelenggara kongres tersebut juga tidak cukup memadai untuk mewujudkannya. Karena itu para penggagas merumuskan tema "Membangun Kemitraan untuk Sastra Jawa" untuk KSJ II.

Berbeda dari KSJ I pada KSJ II semangat perlawanan terhadap KBJ sesungguhnya mulai disisihkan. Meski demikian kemandirian dan pikiran yang lebih progresif demi menampakkan sastra dan bahasa Jawa yang lebih segar lebih mengemuka. Maklumlah kongres ini dimotori oleh para pengarang, penulis, dan akademisi muda dengan dukungan sastrawan sepuh.

Karena itu sungguh sangat tidak relevan jika kemudian ada pihak yang mencoba merayu agar tidak usah digunakan kata "kongres" dengan kompensasi sekian puluh juta rupiah bagi penyelenggara KSJ karena khawatir ia menjadi tandingan. Bukankah Ketua Panitia KSJ II Sendang Mulyana juga telah menegaskan sungguh tidak pada tempatnya jika KSJ yang hanya bermodalkan semangat itu ditempatkan sebagai tandingan kongres lain yang dibiayai lima miliar rupiah lebih.

Maka dari itu sesungguhnya yang lebih baik dilakukan adalah dibangun hubungan yang lebih konstruktif dan saling menghormati. Malahan kalau perlu bersinergi. Persis dengan pernyataan Ketua Panitia Pengarah KBJ IV Drs H Sutadi, ''sampun wancinipun para panggilut basa lan sastra Jawi sami saiyeg saeka kapti".

Akhirnya apa pun yang akan tergelar semua pantas bersenang hati bahwa hasrat untuk menghidup-hidupi bahasa dan sastra daerah kian hari tampak meningkat. Apalagi untuk Jawa Tengah boleh dibilang tahun ini merupakan musim kongres. Sebab 4 April 2006 mendatang juga akan digelar Kongres Bahasa Tegal di Kota Tegal. (14)


--Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes

dikopipaste dari: Suara Merdeka, WACANA, Senin, 27 Maret 2006

Sumbangan Sastra Jawa untuk Iptek

Sebuah gang sempit di daerah Ketelan, Kota Solo, Jawa Tengah, Tampak sepi. Di ujung gang yang merupakan gang buntu terdapat rumah lama dengan pintu terbuka. Tidak ada suara keluar dari rumah di Jalan Jageran I No 7 itu. Baru ketika pintu diketuk, ada suara orang yang mempersilakan masuk.

Meski dari luar terlihat sepi, ternyata di dalam rumah ada aktivitas. Lima orang di dalam rumah itu tengah mengerjakan alih aksara naskah-naskah kuno. Satu orang di depan komputer mengetik naskah yang dibacakan dan dilagukan oleh satu orang di sampingnya. Naskah yang dibaca berhuruf Jawa dan bertembang macapat. Sesuatu yang tidak mudah bagi orang Jawa sekalipun!

Kegiatan ini dinamakan alih aksara. Alih aksara ini bukan hanya persoalan mengalihkan begitu saja, tetapi juga harus sesuai dengan aturan-aturan dalam pelaguan naskah-naskah itu. Naskah yang dialihkan tersebut memiliki metrum macapat sehingga jumlah suku kata dan huruf vokal di bagian akhir harus sama sesuai dengan aturan.

Aturan-aturan yang ketat ini mengharuskan orang yang melakukan alih aksara naskah itu memiliki pengetahuan memadai dan memahami lagu-lagu yang digunakan dalam naskah itu, seperti Asmaradhana dan Kinanthi. Masing masing lagu memiliki aturan dalam jumlah baris, jumlah suku kata, dan bunyi vokal suku kata terakhir.

Alih aksara itu berawal dari John Peterson, warga negara Australia yang menekuni dan jatuh cinta berat pada kebudayaan Jawa. Ia yang memiliki koleksi sejumlah naskah mengirim kembali ke Jawa dengan harapan agar naskah itu bisa dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

John dan Supardjo, yang juga dosen Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), kemudian merintis berdirinya Yayasan Sastra yang beralamat di Jalan Jageran I No 7, Solo, itu. Alih aksara dilakukan terkait dengan upaya agar isi naskah kuno itu bisa dimengerti oleh mereka yang tidak paham aksara Jawa.

Di samping mengalihaksarakan sastra kuno itu, Yayasan Sastra juga menyelamatkan naskah-naskah kuno tersebut. Naskah-naskah kuno itu ada yang ditulis di dluwang (berbahan kulit kayu) hingga kertas modern yang diimpor dari Eropa.

Penulisannya ada yang masih menggunakan tinta dan ada pula yang berupa cetakan. Penggunaan tinta itu menginformasikan kepada kita cara pujangga keraton memperbanyak naskah. Pujangga biasanya menembang, kemudian untuk perbanyakan sejumlah orang menyalinnya. Dari cara inilah satu kitab bisa diperbanyak hingga 10 buah atau lebih. Sedangkan untuk cetakan sudah dilakukan dengan mesin yang diimpor dari Eropa sehingga jumlah terbitan bisa sangat banyak.

Naskah-naskah kuno itu umumnya karya pujangga-pujangga dari Pura Mangkunegara dan Kasunanan Surakarta. Supardjo menjelaskan, pasca-Majapahit hingga kemudian Keraton Mataram berada di Surakarta kegiatan kepujanggaan memang tidak banyak meninggalkan jejak. Ia juga mengatakan, masa-masa kering makin jelas ketika keraton berada di Kartasura. Meski demikian, ada kegiatan di luar keraton yang dilakukan oleh penduduk biasa.

Masa keemasan kepujanggaan mulai muncul ketika keraton Surakarta pindah ke Desa Sala yang sekarang menjadi pusat keraton. Mulai era Paku Buwana IV, kepujanggaan memasuki masa keemasan. Pada masa itu banyak karya sastra bermunculan, salah satunya yang terkenal dan mendunia adalah Serat Centhini.

Supardjo menambahkan, meski berpusat di keraton, kegiatan kesusastraan juga berlangsung di masyarakat awam. Keraton juga tidak sedikit menyerap pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Dalam beberapa kitab, karya dari masyarakat kebanyakan juga disisipkan dalam kesusastraan keraton.

Pujangga memang penulis resmi keraton. Namun, fungsinya tidak seperti sekretaris zaman sekarang. Pujangga juga mirip pandita dalam wayang, yang berusaha memberikan nasihat kepada raja. Pujangga juga yang menafsirkan fenomena-fenomena tertentu dan menginformasikannya kepada raja.

Penyelamatan naskah kuno oleh Yayasan Sastra dilakukan dengan penyelamatan fisik meski dengan cara sederhana, seperti pembersihan dan fumigasi serta perawatan beberapa bagian naskah yang rusak. Penyelamatan dilakukan oleh tenaga kerja sebanyak delapan orang.

Mereka yang mendalami berbagai naskah kuno pasti mengetahui naskah seperti itu tidak hanya mengungkap soal kesenian semata, tetapi juga pengetahuan lain yang dalam ilmu pengetahuan modern termasuk di dalamnya adalah arsitektur, kedokteran, biologi, filsafat, astronomi, dan lain-lain.

Dari naskah kuno ini, misalnya, seorang arsitek diharapkan bisa melihat atau menggali informasi arsitektur Jawa. Seorang dokter juga bisa menggali pengetahuan medis lokal. Seorang ahli pertanian bisa menggali budidaya berbagai tanaman dan juga pemanfaatannya.

Pengetahuan mengenai hal itu terdapat dalam berbagai kitab. Setidaknya seperti buku Bauwarna yang terbit tahun 1898 dengan jumlah halaman 1.930. Bauwarna ini mirip dengan ensiklopedia kebudayaan Jawa.

Sebenarnya, Yayasan Sastra berawal dari "iseng-iseng" yang melihat ada manfaat dari alih aksara bagi mereka yang hendak mendalami kebudayaan Jawa. Pada tahun 1996 kegiatan yayasan ini dimulai dengan pengiriman naskah koleksi John dan kemudian mulai dialihaksarakan. Saat ini setidaknya 200 hingga 300 manuskrip sudah dialihaksarakan dari sekitar 2.000 terbitan yang ada di yayasan itu.

Naskah ini merupakan bagian kecil dari naskah Jawa secara keseluruhan yang sejauh ini sudah diketahui berada baik di dalam negeri di Museum Radya Pustaka dan Reksa Pustaka hingga koleksi pribadi maupun naskah ang berada di luar negeri, seperti di Inggris dan Belanda.

Meski berada di berbagai tempat, keberadaan katalog tentang naskah-naskah Jawa telah membantu upaya pelacakan berbagai naskah yang ada. Soal naskah yang ada di luar negeri, Supardjo mengatakan, sebenarnya Pemerintah Belanda pernah mengungkapkan keinginannya menyerahkan naskah itu asal Indonesia mampu menjaganya sesuai dengan standar sehingga tidak rusak.

Di tengah keterbatasan dana akuisisi naskah, selain dari John, Yayasan Sastra juga mencari naskah lama di pasar loak, mendapat dari orang yang meminta bantuan agar diselamatkan dengan status peminjaman, dan ada pula yang menyerahkan naskah ke Yayasan Sastra.

Isi naskah kuno itu mulai dari agama, almanak, babad, bahasa, berita, budaya, gamelan, hukum, keris, primbon, pertanian, dan lain-lain. Untuk pertanian, misalnya, ada naskah tentang menanam kelapa yang berjudul Kawruh Nanem Kalapa Sarta Paidahipun karya Padmasusastra, tahun 1912. Ada juga tentang tata cara menanam padi berikut jenis-jenis padi yang ada.

Mereka yang telah bekerja keras itu tidak mengharapkan imbalan. Bahkan, mereka memberi layanan gratis melalui situs di internet ntuk pihak-pihak yang ingin memanfaatkan alih aksara tersebut.

Para pengelola Yayasan Sastra ini berharap wadah ini setidaknya menjadi lembaga informasi kebudayaan Jawa. Mereka ingin mengungkap hal-hal yang terkait dengan kebudayaan Jawa yang selama ini belum diketahui.

Mereka juga ingin mengenalkan kebudayaan Jawa secara menyeluruh bagi orang-orang yang ingin mendalami kebudayaan Jawa. Saatnya sastra Jawa memberi sumbangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.(ANDREAS MARYOTO/ ARITASIUS SUGIYA, Litbang Kompas)

Dikopipaste dari sini

"Senthir" Menangi Anugerah Rancage

BANDUNG - Kumpulan cerita cekak Senthir karya Suwardi Endraswara memenangi Hadiah Sastra Rancage 2006. Hadiah diserahkan, Sabtu (29/4), di aula Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Senthir berisi 25 cerita pendek. Karya-karya Suwardi, kelahiran Kulonprogo, DIY, itu seputar arti hidup, jati diri manusia, serta hubungan antarmanusia dan Tuhan.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage, Ajip Rosidi, menyatakan Suwardi terampil menggugah rasa penasaran pembaca dengan memilih objek dari kehidupan di sekelilingnya sebagai tema dasar. Untuk membangun imaji, dia memilih unsur yang dekat dengan dunia wayang, aspek budaya sehari-hari. "Memanfaatkan unsur lingkungan untuk tema serta imaji menunjukkan pengarang sensitif terhadap budaya serta hakikat diri manusia," kata Ajip.

Penerima penghargaan lain adalah Suwignyo Adi yang dinilai berjasa mengembangkan sastra Jawa. Suwignyo aktif menulis sejak tahun 1972. Pendiri Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung, itu punya banyak nama samaran, antara lain Tiwiek SA, Gambiranom, Palgunadi, atau Nuruls. Dia paling sering memakai nama Tiwiek sehingga sering tertukar dengan nama asli. (dwi-53)

Suara Merdeka, Senin, 01 Mei 2006

Dari Surabaya Ingin Menduniakan Bahasa Jawa

Suparto Brata, Sastrawan Peraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand
Sastrawan Suparto Brata kembali meraih prestasi membanggakan. Dia mendapatkan SEA (South East Asia) Write Award 2007 yang diserahkan pada 12 Oktober di Bangkok, Thailand.

DINARSA KURNIAWAN

Mungkin bagi orang yang kurang memperhatikan karya sastra, nama Suparto Brata hanyalah angin lalu. Tapi, bagi para pencinta sastra, terutama sastra Jawa, pria kelahiran Surabaya, 23 Februari 1932 itu adalah salah seorang sastrawan yang layak ditempatkan di garda paling depan.


Ya, nama Suparto Brata kembali mengukir prestasi Indonesia di bidang tulis-menulis di dunia internasional. Tak sembarang sastrawan mampu meraih prestasi tersebut. Hanya sastrawan-sastrawan yang punya dedikasi dan integritas tinggi terhadap karya yang layak mendapatkan penghargaan dari SEA Write Organising Committee yang dipimpin Sukhumbhand Paribatra dari Thailand. Tahun lalu penghargaan itu diberikan kepada penyair Indonesia Sitor Situmorang.
Suparto tidak menyangka akan mendapatkan penghargaan tertinggi bagi sastrawan di Asia Tenggara itu. “Beberapa bulan lalu, saya diberi tahu Pak Prih Suharto dari Pusat Bahasa di Jakaera bahwa saya dinominasikan sebagai penerima penghargaan ini,” ujarnya beberapa saat sebelum terbang ke Bangkok Minggu lalu (7/10). “Terus terang saya terkejut. Wong, penghargaan tingkat nasional saja saya belum pernah dapat, ini langsung meraih penghargaan tingkat Asia Tenggara,” tambahnya.
Suparto mengungkapkan, tahun ini awalnya ada tiga nama penulis Indonesia yang masuk unggulan. Namun, setelah diseleksi Pusat Bahasa, Suparto-lah yang terpilih sebagai penerima award dari Indonesia. “Saya tidak hafal peraih award dari negara lain,” ujar penulis novel Kremil itu.
Untuk tahun ini, penghargaan yang dilangsungkan sejak 1979 itu akan diterimakan di Royal Ballroom Oriental Hotel, Bangkok, Jumat (12/10). Suparto sudah berangkat ke Thailand Minggu (7/10) didampingi putranya, Tenno Singgalang Brata. Penghargaan akan diserahkan Sirivannavari Nariratana, putri raja. Biasanya, upacara itu juga dihadiri para kerabat Kerajaan Thailand karena memang penghargaan tersebut digagas Kerajaan Thailand.
Meski usianya sudah 75 tahun, Suparto dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Dia juga sangat peduli dengan pengembangan bahasa Jawa. Jadi, selain dalam bahasa Indonesia, bapak empat anak itu menulis karya sastranya dalam bahasa Jawa. Wajarlah kalau dia cukup dikenal sebagai sastrawan Jawa. Bahkan, berkat ketekunan dan dedikasinya terhadap bahasa Jawa, Suparto pernah mendapat penghargaan Rancage, penghargaan tahunan untuk sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali, yang diberikan lembaga pimpinan sastrawan Ajip Rosyidi.
Salah satu karya monumental Suparto adalah trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, serta Mentari di Ufuk Timur Indonesia. Trilogi tersebut mengisahkan perjalanan hidup tokoh Teti dan Raminem yang mengambil setting pada masa pendudukan tentara Dai Nippon di Nusantara. Beberapa karya lain, Aurora, Dom Sumurup ing Banyu, Saksi Mata, dan Kremil.
Sastrawan yang tergabung dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu juga menulis buku berjudul Suparto Brata’s Omnibus. Buku itu berisi tiga novel berbahasa Jawa, yakni Astirin Mbalela, Clemang-Clemong, dan Bekasi Remeng-Remeng, plus esai tentang ketiga novel itu oleh Darni Ragil Suparlan, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Sastra, Unesa.
Terbitnya buku tersebut sekaligus menjadi alat untuk menduniakan bahasa Jawa seperti yang menjadi obsesinya. “Saya meniru format konsepnya seperti di Amerika dan saya akan menjualnya di luar negeri untuk mempromosikan bahasa Jawa,” tegas sastrawan yang pernah diundang secara khusus oleh Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya, setelah mengusulkan alih bahasa Jawa untuk telenovela-telenovela dari Amerika Latin yang dulu banyak diputar di TV-TV Indonesia itu.
Suparto merasa prihatin dengan perkembangan bahasa Jawa yang semakin ditinggalkan penggunanya. “Wah, pokoke ciloko. Basa Jawa wis ora dianggep maneh karo wong Jawa dewe (Wah, pokoknya celaka. Bahasa Jawa sudah tidak diperhatikan lagi oleh orang Jawa sendiri, Red),” ujar pensiunan pegawai Pemkot Surabaya itu.
Menurut Suparto, sebagian masyarakat sekarang menganggap bahasa Jawa sudah ketinggalan zaman. “Orang menilai bahasa Jawa itu ndeso,” cetus pengarah yang tinggal di daerah Rungkut Asri tersebut.
Padahal, kata dia, banyak orang asing, terutama dari Eropa, yang berkeinginan mempelajari bahasa Jawa. Orang asing itu mempelajari, lantas menuliskannya sebagai ilmu pengetahuan di negaranya. “Orang-orang kita, jangankan menulis, wong membaca saja males,” tuturnya.
Selain menulis buku sastra, Suparto produktif menorehkan ide-idenya dalam cerita untuk anak-anak dan cerita rakyat Jatim. Buku-buku itu terinspirasi dari cerita-cerita kepahlawanan seperti pertempuran 10 November 1945, Monumen Mayangkara, dan cerita-cerita rakyat Jawa Timur. Produktivitasnya tak perlu diragukan. Sepanjang 2007 ini saja, Suparto melahirkan 12 buku cerita anak dan cerita rakyat Jawa Timur.
Jauh sebelum karya-karya itu lahir dari buah pikirannya, Suparto menjalani masa kecilnya dengan tidak mudah. Pada 1950, alumnus SMPN 2 Surabaya tersebut sempat menjadi loper koran Jawa Pos. “Waktu itu saya memang harus bekerja untuk membiayai sekolah. Kalau tidak, saya tidak akan bisa lulus SMP,” kenangnya.
Pada tahun itu pula, dia mulai menulis. Awalnya hanya cerita-cerita pendek, namun kemudian berkembang menjadi novel.
Hubungan penulis buku Donyane Wong Culika itu dengan dunia tulis-menulis semakin intim dari tahun ke tahun. Salah satu di antaranya adalah keputusannya menjadi penulis lepas untuk sejumlah media, seperti Surabaya Post dan Jawa Pos. “Sejujurnya, Jawa Pos selalu mengawal perjalanan hidup saya. Pernah jadi lopernya, menulis di sana juga pernah, sampai sekarang diwawancarai sama Jawa Pos,” selorohnya lalu tertawa.
Karya pertamanya dimuat di majalah Garuda pada 25 Oktober 1953 dengan cerpen Miss Rika di Angkasa. Petualangannya sebagai sastrawan Jawa berawal dari tulisan-tulisannya di majalah Panjebar Semangat. Majalah berbahasa Jawa itu juga memberinya anugerah saat sayembara penulisan cerita bersambung pada 1959. Cerita bersambung karya Suparto dikonversi dalam bentuk novel dengan tajuk Lara Lapane Kaum Republik. Novel tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Suparto menjadi Kaum Republik. Uniknya, sebelum terkenal seperti sekarang, Suparto kerap menggunakan nama samaran, seperti Eling Jatmiko dan Peni.
Meski sangat mencintai dunianya sebagai penulis, sejak dulu Suparto memiliki pekerjaan tetap. Tercatat, dia pernah bekerja di Kantor Dagang Negara Jaya Bhakti. Tapi, kemudian dia mengundurkan diri karena tidak senang dengan “pemaksaan” untuk masuk menjadi anggota Golkar.
“Waktu Orde Baru, semua pegawai di Jaya Bhakti diharuskan mencoblos Golkar. Tapi, karena saya tidak mau mengikuti perintah itu, saya keluar. Saya tidak mau terlibat di politik,” bebernya.
Lalu dia bekerja di Kantor Pos Besar Kebon Rojo dan akhirnya pensiun sebagai PNS di lingkungan Pemkot Surabaya.
Untuk mengisi hari-hari tuanya, dia tidak mau hanya berdiam diri. Sejak pagi buta dia bangun dan melakukan aktivitas rutinnya, yakni membaca buku. Lantas, pukul 07.00, aktivitas membaca diganti dengan kesibukan menulis yang berlangsung hingga menjelang magrib. “Membaca dan menulis sudah menyatu dengan darah saya,” tandas pengarang besar yang ke mana-mana senang naik angkutan untuk mendapatkan ide tulisan itu. (*)
Jawa Pos, Rabu, 10 Okt 2007

TIWIEK SA: 26 TAHUN MENJAGA SASTRA JAWA

Sebagai penulis sastra Jawa, Suwignyo Adi (58) tidak berharap mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya. Karena itu, pengarang asal Tulungagung, Jawa Timur, tersebut tidak punya perasaan apa-apa saat perwakilan Yayasan Rancage meminta biodatanya.

Ia malah berpikir yayasan yang dipimpin sastrawan Ajip Rosidi itu sedang membuat pusat data penggiat sastra berbahasa daerah. “Tidak tahunya, itu untuk melengkapi penganugerahan Rancage 2006 untuk kategori pembina sastra Jawa,” tuturnya.

Saat diberi tahu tujuan pengumpulan data itu, ia kurang yakin dirinya pantas menerima anugerah prestisius di kalangan sastrawan berbahasa daerah itu. Keluarganya dan perwakilan Yayasan Rancage akhirnya bisa meyakinkan bahwa dia berhak menerima penghargaan yang diterimakan pada April 2006 itu. Hal itu didasarkan pada pengabdiannya sebagai pengurus Sanggar Sastra Jawa Triwida sejak 18 Mei 1980.

Sanggar yang digagas sesepuh sastra Jawa Tulungagung, almarhum Tamsir, itu mengasah penulis-penulis sastra Jawa dari Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, antara lain Bonari Nabonenar, Sunarko Budiman, dan ES Listiyani. Sebagian anggota sudah tidak aktif lagi. Namun, Suwignyo tetap setia bergiat di sanggar sambil menulis sastra Jawa.

“Sekarang produktivitas saya sudah berkurang, sudah dekat usia pensiun. Saya berharap banyak anak muda bersedia menulis sastra Jawa,” tutur pengarang kelahiran Tulungagung, 8 Juni 1948, ini.

Honorer

Pergulatan Suwignyo dalam sastra Jawa dimulai dengan keterpaksaan. Saat menjadi guru tidak tetap di salah satu SD di Tulungagung, ia hanya menerima honor Rp 600 per bulan. Untuk menambah penghasilan, sesekali ia menjadi tukang kayu dan menulis cerita pendek sejak tahun 1971.
Menulis dirasakan lebih menyenangkan meski secara materi ia tidak mendapatkan banyak dari hal itu. “Sampai saat ini, honor menulis dalam bahasa Jawa sulit disebut memadai, namun saya telanjur suka,” tutur pengarang yang lebih dikenal dengan nama Tiwik SA ini.

Cerita pendek atau cerita cekak (cerkak) sastra Jawa karya Tiwik yang pertama dimuat di media massa berjudul Milah. Cerkak itu dimuat pada Panjebar Semangat edisi 27 tahun 1972.

Tujuh tahun sejak karyanya rutin dimuat di media massa berbahasa Jawa, ia memublikasikan novelet pertama berjudul Murtini. Novelet itu dimuat secara bersambung di majalah Djaka Lodang dalam 21 edisi selama tahun 1979.

Sampai saat ini Tiwik telah menghasilkan 180 cerkak serta 85 novelet dan cerita bersambung. Ia juga menghasilkan 18 buku cerita rakyat dan dongeng anak-anak. Karya-karyanya menjadi bahan penelitian mahasiswa sastra beberapa perguruan tinggi untuk kepentingan skripsi. “Semua naskah asli dan atau salinan karya-karya itu saya dokumentasikan di rumah,” ungkapnya.

Lewat pendokumentasian itu, Tiwik menjaga harapan, suatu saat ada yang kembali bersedia menerbitkan sastra Jawa seperti tahun 1950-an hingga akhir 1970-an. Saat itu, sastra Jawa bahkan dibaca oleh sebagian besar remaja.

“Saya menyenangi sastra Jawa antara lain karena kebiasaan membaca novel saku berbahasa Jawa. Saya berharap sastra Jawa mempunyai lebih banyak peminat sebelum saya pensiun dari Triwida,” tuturnya.

Ia tahu harapan itu sulit terwujud. Secara bisnis, penerbitan karya sastra Jawa sulit dilakukan. Tidak jarang penerbitan 500 eksemplar membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk laku. “Saya belum bisa menerbitkan karya sendiri. Saat ini, masih banyak tanggungan biaya yang harus saya selesaikan. Sebentar lagi saya pensiun,” ujarnya.

Ia tidak berminat beralih ke sastra Indonesia yang lebih menjanjikan karena telanjur mencintai sastra Jawa sehingga berat meninggalkannya. Apalagi, semakin sedikit orang Jawa yang bersedia bergiat di bidang itu.

Guru

Tiwik merupakan tipikal umum pengarang sastra Jawa. Selain menjadi sastrawan Jawa dan wartawan lepas untuk media berbahasa Jawa, ia adalah seorang guru. Ia lulus Sekolah Pendidikan Guru di Tulungagung tahun 1970.

Sastrawan Jawa senior asal Surabaya Suparto Brata menuturkan, sebagian besar sastrawan Jawa adalah guru yang tinggal jauh dari kota atau pusat keramaian. Sebagian besar karya mereka umumnya bertema kehidupan pedesaan. Sejak lahir hingga sekarang, Suwignyo tinggal di Desa Karangtalun, Kecamatan Kalidawir, sekitar 25 kilometer dari kota Tulungagung.

Namun, sebagian besar karya Tiwik justru dianggap melenceng karena bertema kriminalitas. “Salah seorang sesepuh sastra Jawa pernah mengkritik alur cerita saya yang dianggap keluar pakem,” tutur Suwignyo yang menikahi Ruliyah tahun 1971 dan dikaruniai tiga anak.

“Menulis adalah jalan paling menyenangkan dan memungkinkan saya tidak jauh dari mereka,” tuturnya tentang keberadaan dan peran keluarganya. []
Sumber: Kompas.

Ronggawarsita Dudu Pujangga Panutup Sastra Jawa

Dening : RM Yunani Prawiranegara

Akeh kang alok, R Ng Ronggawarsito (1802-1874) mono minangka “pujangga panutup”. Tegese, sasurute ki pujangga ora ana maneh karya sastra kang urip ing njero basane dhewe (basa Jawa), kang pantes sinebut karya sastra pujangga Jawa. Panemu kaya mangkene iki sawijining panemu kang salah kang nuduhake cubluk lan kolote kang kandha. Panganggep ngene iki bisa wae dianggep nyepeleake karya agunge “pujangga” utawa pengarang sastra Jawa moderen utawa gagrag anyar kayadene Suparto Brata (Surabaya) Poerwadi Atmadiharja (Ngawi), lan Any Asmara (Solo) lan pengarang sastra Jawa liyane.


Kamangka kang kedaden, nalikane pertengahan abad ka-19, nalika para intelektual Jawa wiwit ngadaptasi cara-cara pemikiran Barat, mangka ing bebrayan Jawa muncul novel, novelet, cerkak, lan puisi kanthi konvensi moderen Barat. Malah pamarentah kolonial kang mesthi pro Barat nalika semana, akeh menehi fasilitas lan mupangatake kewasisane sang pujangga kanggo nyinaoni basa lan budaya Jawa, lan nyebarake karya-karya sastrane. Nanging, Ronggawarsita, pujangga kraton Surakarta jebul ora gelem ngowahi konvensi sastra tradisional. Apa krana iku dheweke banjur disebut minangka “pujangga panutup”. Panganggep kaya mangkene iki padha wae karo panemu kang nyanggarunggeake (mencurigai) anane budidaya nguri-nguri basa etnik (Jawa, Bali, Sundha, lsp) lewat kongres, kalebu Kongres Basa Jawa (KBJ) lan Kongres Sastra Jawa (KSJ) suk Agustus ing Semarang.

Para pakar lan penyengkuyung kongres padha melu latah kaweden, aja-aja kongres basa lan sastra Jawa mengko malah dadi sarana kanggo ngagul-agulake etnis Jawa kang ngancam semangat persatuan lan kesatuan, sarta cengkah karo semangat multrikulturisme kang asifat pluralisme kaya kang nedheng-nedheng digemborake saiki. Ora aran aneh lamun para pakar kang asifat skeptis mau banjur ancang-ancang mageri kanthi senjata nanggala Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, lan GBHN. Ya cara pikir kang nempuh dalan buntu tumrap awake dhewe kaya mangkene iki kang ora dikarepake dening para pengamat lan pangguna basa Jawa.

Cara pikir skeptis kang kaya ngene iki ora liya minangka bacut lakune stagnasi penganggep kang ngarani Ronggawarsita minangka “pujangga panutup”. Jalaran manut penganggep mau, sawuse iku basa Jawa kelangan penutur lan panggilut tumrap proses kesinambungan budaya, kamangka kang satemene ora liya kita mung dadi korban politik kabudayan wae. Kabeh mau satemene mung minangka kuman narsius kang mekar kliwat over dosis kang akibate nuwuhake penyakit megalomaniak kang nutup mata marang apa kang bakal teka.

Pancen bener, R Ng Ronggopwarsito duk sugenge kasil nggubah luwih saka 27 karya sastra kayadene Serat Paramayoga, Pustakarajapurwa, Serat Ajipamasa, Jaka Lodhang, Sabdajati lan liya-iyane, nanging dheweke dudu siji-sijine pujangga ing jaman Surakarta (abad 17-19). Isih akeh pujangga liyane kang karya sastrane ora kalah bobote kayadene Sunan Paku Buwono III (Serat Mintaraga), PB IV (Serat Wulangreh), PB V (Serat Centhini) KGPAA Mangkunegara IV (Wedhatama, Salokatama, Tripama, Candarini, Warayagnya), R Ng Yasadipura I (Serat Rama, Dewaruci, Serat Cebolek Babad Giyanti), lan R Ng Yasadipura II (Sasanasunu, Wicarakerasm, Aarjuna Sasra). Lan maneh, kang ngawali pujangga madya mono ora liya Sultan Agung ing Mataram ngiras-ngirus dadi pujangga kraton kanthi karya sastrane wujud Sastra Gendhing.

Yen sing dikarepake ya panjenengane Ronggawarsita kang nindaake pakaryan “pujangga kraton” model feodal kang pungkasan, iki isih bisa ditampa. Nanging yen “pujangga panutup” dimaknani minangka panutup utawa matine rangsangan kreatif ing sastra Jawa, genah iki kang ora bener alias ngayawara. Penganggep kang ngene iki ateges nyepeleake marang kabeh kegiyatan sastra kang tumindak ing sanjabane kalangan kraton ing Jawa Tengah lan Ngayogjakarta kang sarwa rupak iku. Iki uga ateges ngilangake kanyatan manawa Roggawarsita urip lan makarya kanthi sesambungan rapet karo wong-wong kang gegayutan karo perkembangan sastra Jawa lan Barat.

Pancen, sasedane Ki Ronggawarsito, mataun-taun perkembangane sastra Jawa ngalami gothang, utamane ing babagan produksi naskah ing basa Jawa kang bisa dianggep karya sastra Jawa. Wis langka banget. Ya kahanan iki kang maraake sawetara wong gawe dudutan manawa sastra Jawa wis mati, wis cures.

Pujangga Jawa Kuna lan Jawa Madya mono identik karo pujangga kraton. Jaman kebangkitan utawa renaisan Jawa I (abad ka-8-15) kanthi pujangga kayadene Empu Sedah, Empu Darmaja, Empu Tantular, lan Empu Prapanca, wondene jaman renaisan Jawa II yaiku jaman pujangga Jawa Madya (abad ka-16-20) kayadene PB IV, Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam, lan Sastranegara. Kapan muncule jaman renaisans Jawa III yang diramaikan odening para pengarang sastra Jawa moderen, isih mbutuhakwe wektu kang dawa.

Kang sinebut kanthi pengarang sastra Jawa moderen mono yaiku pengarang kang nggunaake wahana ekspresi basa Jawa modern. Dheweke dudu saka lingkungan kraton, lan dudu trah pujangga kraton. Pengarang sastra Jawa moderen asale saka karang padesan Jawa alias pengarang urban.Dheweke wis ora nggunaake basa Sansekerta, Jawa Kuna utawa Jawa Kawi. Medium panulisane nganggo aksara Latin lan dudu aksara Jawa hanacaraka utawa Palawa Basa ekspresine basa Jawa moderen Jawa krama utawa ngoko, lan tinarbuka marang lumebune kosakata basa Indonesia lan asing. Orientasi budayane ora lingkungan kraton tradisional Jawa maneh, ananging marang panguripan kutha kang plural, egaliter lan sekuler. Pengarang sastra jawa moderen wis ora padha seneng nembang, nanging durung sawutuhe keguh nggayuh kawujudane minangka manungsa moderen.

Kanggo nalari bab iki, perlu dijlimeti perkembangan sastra Jawa wiwit jaman kuna, jaman kapujanggan kraton, nganti tekan jaman pujangga rakyat ing abad globalisasi saiki..

Naskah Kuna

Karya sastra Jawa kuno kang kalebu tuwa dhewe mono aran Serat Tjandhakarana kang guinubah duk jamane ratu trah Syailendra kang yasa Candhi Kalasan dhek tahun 700 Saka. Naskah kuna liyane yaiku Serat Ramayana abasa Jawa Kuna gancaran tanpa sekar. Naskah iki kagubah duk nalika jumenenge Dyah Balitung kang ngedhaton ing Mataram (Jawa Tengah) dhek taun 820-832 Saka. Serat Ramayana Jawa Kuna, kagubah saka Serat Ramayana basa Sansekerta karyane Empu Walmiki ing India. Sabanjure isih akeh karya sastra jaman iki antara liya Sang Hyang Kamahayanikam, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Kunjarakarna, lan sapanunggalane.

Nembe ing abad ka-10, muncul karya sastra Jawa Kuna mawa sekar kang sinebut kakawin. Wujude sekar ageng, Sekar ageng ing serat-serat kuna mono isih miturut wewaton cara Hindu. Dununge guru lagu tetap ora kena owah. Kakawin Serat Arjunawiwaha ginubah dening Pujangga Empu Kanwa duk jamane Prabu Erlangga ing Kahuripan (1019-1042 Masehi). Dhek taun 1850, Serat Arjunawiwaha wis kacithak mawa aksara Jawa dening Dr Friederich lan taun1926 kacithak maneh mawa aksara Latin abasa Walanda. Karya sastra Jawa Kuno mawa sekar liyane ing jaman iki antara liya Smaradahana, Bharatayudha, Hariwangsa, Lubdaka lan sapanunggalane.

Wondene serat Jawa Kuna kang kalebu golongan enom antara liya Brahmandapurana,
Negarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma Nitisastra Harisraya lan sapanunggalen. Kabeh mau kagubah dening para pujanggane kanthi babon Serat Jawa Kuna sadurunge. Saka kene banjur tuwuh serat-serat abasa Jawa Tengahan, yaiku basa kang grebahane ing antarane basa Jawa Kuna lan basa Jawa ing jaman samengko. Wondene thukule basa Jawa Tengahan iki dhek jaman kuncarane Majapahit.

Karya sastra ing jaman iki antara liya Tantu Panggelaran kang ngenani babad Pulo Jawa kang digubah dening pendhita dhusun. Sabanjure Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawasrama, lan Serat Pararaton kang nyritaake sejarahe Ken Arok lan keturunane ing Singosari. Munculnya basa Jawa Tengahan ini krana basa Jawa Kuna kaya kang tinemu ing Serat Ramayana lan Arjunawiwaha mau panggunane mung winates ing kalangan kraton, wondene basa Jawa Tengah wis dadi basa pacelathon ing padinan. Mung ing serat kidung para pujangga isih nerusake basa kaya ing serat-serat mau kaya ing Serat Negarakertagama lan Arjunawiwaha. Serat kayadene Sutasoma lan sabarakane, mung mligi dadi wacan para ahli sastra, jalaran wong cilik wis ora ana kang ngerteni.

Thukule kekidungan kanthi basa umum mono bebarengan karo jumedhule sekar macapat. Mungguh kepriye thukule sarta saka endi tekane sekar macapat mau, durung kasumurupan. Nanging mungguh jumedhule macapat bebarengan karo kekidungan basa Jawa Tengahan kuwi kena ditemtoake. Ana maneh kekidungan basa Jawa Tengahan kang nglestareake sekar ageng, sekar kawi, nanging pathokan guru lagu wis ora diugeri maneh. Awit ing jaman iku, netepi lakune guru lagu iku wis angel banget. Kang dijupuk mung cacahe wanda ing njero sapada lingsa. Serat kang kaya mangkene iku mung bisa diprangguli ing Serat Dewa Ruci lan Suluk Sukarsa.

Wondene serat basa Jawa Tengahan kang nganggo sekar macapat kayadene Serat Sudamala, Serat Kidung Subrata, Serat Panji Anggraeni, lan Serat Sritanjung. Ing jaman Islam Demak (abad ka-15) tuwuh serat basa Jawa kang isine bab Islam. Serat kang kaya mangkene iki saiki isih sawetara akeh karine kayadene Het bBok van Bonang, Een Jawaan Geschrift uit de 16e Eeeuw. Suluk Sumirang, Kojajajahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Serat Nitisruti, Serat Sewaka, Serat Menak, Serat Rengganis, Serat Manikmaya, Serat Ambiya, lan Serat Kandha. Wonden ing jaman Sultan Agung (abad ka-16) tuwuh Sastragendhing lan Nitipraja.

Sayektine, kang kudu dianggep ambangun kapustakan Jawa dhek jaman Surakarta awal mono dudu R Ng Ronggawarsita ananging priyagung loro yaiku Kyai Yasadipura I lan II, rama lan putra. Yasadipura II sabanjure sinebut RT Sastranagara.Ya pujangga kalorone iki kang bebarengan njarwaake Serat Arjunawiwaha kang dipurwakani Serat Dhandhanggula. Banjur Serat Bratayudha, Serat Panitisastra, Serat Tajussalatin, Serat Babd Giyanti lan isih akeh maneh. Ing jaman iki sugeng R Ng Ronggawarsita dalah karya-karya sastrane. Wiwit sasedane Ronggawarsita dhek taun 1874, kapustakan Jawa bebasan meh kesilep turu nganti tuwuh sastra gagrag anyar kang kena pengaruhe sastra Barat.

Muncule Genre Anyar

Majuning jaman sarta tambahe wong kang winasis (terpelajar), agawe owah-owahan gedhe ing bebrayan agung. Durung maneh kawuwuhan anane perkembangan jaman kayadene gumregahe nasionalisme, emansipasi, wawasan kebebasan lan hak asasi manungsa, sarta saya ilange sesambungan masyarakat kang feodalistik. Sastra tulis kang sadurunge dimonopoli dening kalangan ndhuwur, saiki wiwit kegayuh dening kabeh golongan ing bebrayan agung. Ora mung para priyayi wae kang mbutuhake karya sastra nanging uga Si Kromo kuli pabrik, Si Agus mahasiswa UI, lan Si Mahmud modin desa.

Sawetara iku, anane pengaruh Barat, genre-genre anyar wiwit padha muncul kanthi wujud lan isi kang banget bedane karo karya-karya sastra Jawa kayadene kekawin, babad, lan sastra suluk. Ing pihak liya, popularitas sastra lisan kang tetep lestari, pranyata darbe daya pengaruh kang kuwat banget. Ya karya sastra iki kang wiwit biyen mula bisa dieloni kanthi merdika dening kalangan para kaum kang kurang winasis. Krana iku, nganti saprene kang diarani sastra tumrap woh akeh, isih winates marang sadhengah karya kang kanggo “dirungoake”, lan dudu kang “winaca” ing aksara.

Bebarengan karo undhake kawruh lan sesurupan, kang diarani “maca” mono prakara kang sepisanan digayutake karo “sinau, mulang-wuruk” utawa budidaya kulak informasi, lan dudu kanggo golek “hiburan”. Kanthi cara pikir kang kaya ngene iki, panulisan prosa ing basa Jawa, banjur malih dadi sawijining pakaryan kang utamane katindaake dening wong-wong kang sesambungan karo urusan pendidikan. Akibate, asil pakaryane mau banjur ora bisa diakoni minangka karya sastra, nanging luwih akeh dianggep minangka bahan wacan kang mung migunani tumrap para kawula mudha.

Manut panemu mau, kang diarani karya sastra mono karya sastra klasik kang adiluhung minangka warisan para leluhur, kayadene Kakawin Mahabharata lan Ramayana. Krana jenis karya sastra iki sawetara gedhe dumadi saka wujud kekawin, kidung, tembang gedhe, lan macapat kang wiwit biyen mula pancen dikarepake kanggo ditembangake lan dirungoake. Sawetara iku, genre Barat awujud prosa utawa karya gancaran, kang nilai sastrane mung kasedhiyaake tumrap kaum elite kang isa maca Latin lan basa Walanda.

Saawuse jaman kamardikan 1945, peran basa Walanda diganti basa Indonesia minangka basa kaloro sawuse basa ibu, yaiku basa Jawa, Batak, Bali, Banjar, lan sapanunggalane. Basa Indonesia manut linguistik lan emosional, dudu barang kang aeng kaya basa Walanda. Mulane ing tahun sawuse 1945, akeh pengarang Jawa kang kepingin nulis prosa literer lan puisi, akeh kang milih medium basa nasional tinimbang basa ibu (waos; Jawa), ing karya sastrane. Panggilut sastra “Indonesia-Jawa” banjur muncul kayadene Pramudya Ananta Toer, Trisno Sumardjo, Muhammad Dimyati, Kirdjomulyo, Toto Sudarto Bachtiar, Riyono Pratiokto, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanta Jatman, Linus Suryadi AG, lan Sindhunata. Ing bukune “Pengakuan Pariyem” umpamane, Linus Suryadi AG kenthel banget nghudhar gagasan lan budaya Jawa kanthi medium basa Indonesia. Semono uga Sindhunata ing karyane “Anak Bajang Menggiring Angin”, lan Darmanto Jatman ing kumpulan puisi-puisine.

Emane, karya sastra anyar wujud prosa iki mung bisa digayuh dening kalangan bebrayan winasis lan moderen kang wis ngrasaake emansipasi. Kalangan terpelajar iki minangka elit cilik kang manggon ana ing kutha-kuta gedhe. Sawetara iku, sawetara gedhe wong Jawa kang mung 80 yuta iku akeh kang mapan ana ing karang padesan lan pesisiran. Para elite cilik iki isih berjuwang kanggo nggayuh emansipasi lan wawasane kerep durung cukup moderen..

Wujud sastra lisan kayadene lakon kang dicritaake sawengi nutug ing desa-desa (kentrung) sarta warna-warna teater (wayang purwa, wayang wong, kethoprak, lan ludruk), sithik banget antuk kawigaten saka kalangan kang nyinaoni sastra moderen. Iki jalaran krana teknik crita kang kang dikandhaake utawa dipitontonake kanthi improvisai wewaton sinopsis kang disimpen ing pangeling-eling. Mulane naskah-naskah tinulis banjur arang diprangguli, kamangka anane naskah tertulis mono minangka syarat mutlak sawijining karya bisa ditampa minangka karya sastra. Mataun-tahun produksi naskah ing basa Jawa kang bisa digolongake minangka sastra, dadi langka banget. Mulane ana kang banjur ngarani R Ng Ronggawarsita minangka “pujangga panutup”.

Thukule Sastra Modern

Sastra Jawa tulis kaya kang ana ing masyrakat saiki iki, bisa kaperang dadi loro. Sastra tradisional lan sastra moderen. Sastra tradisional kaiket dening pathokan-pathokan kang diugeri sarana turun-maturun. Sastra tinulis tradisional sawetara gedhe ginubah kanthi matra macapat. Ing sastra iki asring digunaake tembung-tembung puitis (tembung kawi) lan sawetara jenis arkaisme. Wondene sastra moderen mono minangka asil saka rangsangan kreatif ing sajerone masyarakat moderen.

Genre sastra Barat kayadene novel, cerita cekak, esei, sajak bebas lan sapanunggalane, pancen dikarepake minangka wacan pribadi kanggo kelangenan. Genre iki durung suwe dadi perangane sastra Jawa. Istilah sastra gagrag anyar utawa sastra gaya baru (moderen) kang asring digunaake kanggo nyebut asil-asil sastra moderen iku wae wis nandhesake manawa bab iku mau kalebu barang anyar. Perkembangan sastra moderen ing Tanah Jawa, wiwitane mlaku nggremet. Iki ora aran aneh, jalaran genre-genre anyar kang gegayutan karo tekane saka njaban rangkah, ing sawijining periode duk nalikane masyarakat Jawa durung siap nampa lan uga durung pati mbutuhake.

Ing abad ka-19 iki wiwit diterbitake karangan-karangan ing sanjabane lingkup sastra tradisional kaya kegiyatane Intituut voor de Javaansche Taal ing Surakarta taun 1832-1843, utamane nerbitake naskah-naskah kang diasilake dening CF Winter lan stafe. Ancas tujuwane kanggo nyedhiyaake wacan kang rada gampang dicaake kanggo pengajaran basa Jawa. Wujude karya gancaran (prosa) lan jarwan karya sastra klasik kaya Lampah-lampahanipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (Batavia, 1865) karangan MA Candranegara, Bupati Demak, lan Cariyos Nagari Walandi (Batavia, 1876), karangan Rd Abdullah Ibnu Sabar bin Arkebah. Banjur Randha Guna Wecana karangane Surya Wijaya, secretaries AB Cohern Stuart.

Saka basa puitis, Randha Guna Wecana didandani dening Ki Padmasusastra krana campur tangane DF van der Pant. Ya Ki Padmasusastra iki kagolong tokoh intelek ing babagan penggajaran basa Jawa dhek taun 1900-an. Krana kewasisane, dheweke kasil ngarang buku parama sastra Layang Purana Basa (Surakarta, 1897/1898 579 kaca), Serat Warnabasa (Surakarta, 1900, 326 kaca), Serat Paribasa (Balai Pustaka 1912, 398 kaca), lan isih akeh maneh karyane ing babagan basa Jawa.

Saka puluhan karya basa Jawa ing wektu iku, arang banget kang wujud novel kajaba Serat Rangsang Tuban karya Surya Wijaya (Surakarta, 1912). Novel pancen minangka genre sastra kang ing negara Barat uga liwat periode perkembangan kang dawa banget. Tradisi penulisan novel kang subur mung bisa kelakon lamun ana sekelompok penulis novel berbakat lan kreatif, ana penerbitan lan percetakan kang kuwat keuangane, sarta ana distribusi kang rancak. Kang paling penting saka kabeh mau, kudu ana masyarakat pembaca kang cukup omber lan kober nyisihake dhueite kanggo tuku buku novel mau. Mangka masyarakat Jawa dhek jaman semana isih akeh kang bodho lan mlarat. Kepriye bisane karya sastra novel Jawa bisa berkembang.

Syarat-syarat iki ora kecukupan nalikane novel ditepungake ing Tanah Jawa. Genre sastra saka Barat iki lagi bisa muncul nalika madek bebadan penerbit duweke pamarentah kolonial Walanda aran Balai Pustaka. (Kantoor voor Volslectuur) taun 1911. Liwat Balai Pustaka, pamarentah kolonial aweh rangsangan kanggo penulisan crita kang bisa digunaake minangka bahan wacan kang manfaat tumrap rakyat. Dening Balai Pustaka, buku-buku terbitane mau disebarake marang publik liwat perpustakaan sekolah. Mulane kena diarani, genre sastra Barat lumebu ing jeron sasstra Jawa bebarengan karo lumebune pengajaran Eropa tumrap masyarakat Jawa.

Peranan Balai Pustaka minangka badan penerbit kang nyedhiyake kebutuhan sekolah mau kawiwitan dhek taun 1911. Balai Pustaka wiwitan nerbitake buku wujud Serat Panutan (1913) lan Isin Ngaku Bapa (1918) karyane Prawirasudirja. Banjur kasusul Rara Kadreman (Kuswadiarjo), banjur Pamoring Dhusun (Harjawisatra), Wuryalocita lan Trilaksita (Mangunwijaya), lan Rara Rarasati tuwin Bok Randha Setyadarma (Wiraatmaja lan Suwadi). Buku-buku mau wujude cilik lan halamane tipis mung watara 150 kaca, mulane pas yen sinebut novelet ketimbang novel..

Kanthi diterbitake buku Serat Riyanta (1920, 139 kaca) dening R Sulardi, minangka awal sejarah pembaharuan tumrap novel Jawa kang lumtrahe asifat didaktik, mengku piwulang ngenani ajaran moral, lan isi roman sejarah. Wiwit buku Serat Riyanta, dadi muncul novel-novel Jawa kanthi tema-tema sosial antara liya Mitra Nmusibat (1921, 87 kaca) karyane Jayengutama, Crah Bubrah, Kucing lan Jago, Rasa Sasmita, karyane Kamit Nataasmara (1927, 1929, lan 1932). Pembaruan kang wigati ing katindaake dening Kusumadigda (1928) lan Sukarna (1929) kanthi ngarang buku sastra Jawa awujud novel kanthi basa ngoko lan kanggo para kaum dhewasa. Wiwit iku, Sawuse taun 1930, meh buku-buku novel ditulis kanthi basa ngoko (dudu krama) nganti tekan saprene.

Cetha ing kene, ngrembakane novel sastra Jawa ora bisa dipisahake karo fasilitas penerbitan lan distribusi kang diwenehake dening Balai Pustaka nganti tekan 1941. Penerbitan pemerintah iki banjur dirameake muncule penerbitan lan percetakan swasta kayadene Tan Koen Swie (Kediri), Mardi Mulya (Yogyakarta), Siti Syanmsiyah, Rusche, Sadu Budi, Kalimasada, lan Mars (Surakarta), Van Dorp (Semarang), G Kolff & Co (Surabaya). Taun 1936 muncul jenis cerita cekak iang Majalah Kejawen duweke Balai Pustaka, lan Panjebar Semangat duweke Dr Soetomo. Tahun 1943 terbit majalah Pandji Pustaka duweke Balai Pustaka kang diembani penulis mudha Purwadhie Atmadiharja lan Subagiya Ilham Natadiharjaya. Ya kalorone “pujangga” iki sinebut minangka pelopor generasi penulis crita cekak ing jaman sawuse perang. Wondene puisi moderen basa Jawa kang sinebut guritan lahir dhek taun 1929 ing Kejawen.

Dr Soeripan Sadi Hutomo merang periodesasi sastra Jawa Moderen dadi peride Balai Pustaka (1920-1945) awujud genre novel lan periode perkembangan bebas (1945-1966) awujud genre novel, crita sekak, lan geguritan. Banjur periode sastra majalah (1966-saiki) wujud genre eksploitasi roman panglipur wuyung kang dibarengi peranan majalah basa Jawa minangka saluran publik kang wigati banget. Contone terbit crita sambung Katresnan lan Kuwajiban karyane Saerozi (PS, 1957), Wahyu Saka Kubur dening Senggana (JB, 1957). Banjur muncul cerkak-cerkak karyane Senggana kang terbit ing PS, Waspada lan Crita Cekak. Pengarang Sri Hadijaya kalebu produktif nulis novel, cerkak, lan roman picisan antara liya Napak Tilas (PS, 1960).

Lagi sawuse jaman revolusi, telu gentre utama sastra moderen (novel, crita cekak, lan guritan) antuk kawigaten kang wajar ing kalangan masyarakat. Iki krana kiprahe generasi perintis utawa pelopor kang dipandhegani dening Soebagijo IN kelairan Blitrar 1924. Pemuda kang kiprah ing jagad wartawan lan pengarang iki, dhek taun 1955 nerbitake Crita Cekak kang diembani dhewe. Jabatan Pemimpin Redaksi kang dicekel, sabanjure digenteni Purwadhie Atmadihardja. Purwadhie minangka wong kang sepisanan ngajoake ing babagan mutu, wujud, lan isi karya sastra Jawa. Dhewke dhewe uga produktif nulis cerkak lan guritan, sarta novelet kayadene Dara Kapidara (JB, 1965), Kedhung Putri (PS, 1964), Ngrangsang Gumuk Sandi (Gotong Royong, 1965) lan Benang-Benang (JB, 1965).

Paraga kang paling tuwa ing antarane para pengarang angkatan perintis yaiku Any Asmara kelairan Banyumas 1931. Kanthi otodidak, Any Asmara dadi penulis kang banget kreatif ngarang crita cekak kang diemot ing kabeh majalah basa Jawa. Pengarang kang ditokohake dening para pengarang sastra Jawa iki produktif ngarang novel lan roman picisan. Panulise jeneng Any nganggo aksara “y” lan dudu ‘i” aweh stimulasi marang kang maca mapanake jeneng lan karya-karyane ing jenis romance lan populer. Iki bisa kasemak ing karyane Any Asmara antara liya, Kenya Tirta Gangga kang diemot ing PS minanghka novel terbaik 1958. Banjur Rante Mas (1961), Kumandhange Katresnan (1964), Ida Ayu Maruti (1965) lan crita detektif Grombolan Gagak Seta (1961).

Pengarang gamben sastra Jawa liyane liyane antara liya Widi Widayat (lair ing Imogiori 1928), Satim Kadaryana (Ngawi 1928), Sudharma KD (Ngawen Yogjakarta 1934), St Iesmaniasita (Terusan Mojokerto 1933), Achmad DS (Surakarta 1933), Sumarjana (Yogyakarta 1927), Suparto Brata (Surabaya 1932), Tamsir AS (Tulungagung 1936), Esmit, Harjana HP, Basuki Rachmad, Poer Adhie Prawoto, M Nursyahiod P lan isih akeh maneh.

Tantangan Penerbitan

Karya-karya sastra Jawa mau ora mandheg mung semono, nanging isih mbrudhul tekan saprene. Senadyan wektu iki Balai Pustaka wis ora bisa dijagaake kaya mbiyen aktif nerbitake buku sastra Jawa, senadyan penerbit lan percetakan swasta wis ora akeh kaya mbiyen, nanging karya sastra Jawa Moderen tetep terbit, tetep urip lan semangat. Ronggawarsita dudu pujangga panutup sastra Jawa. Tantantangan tumrap pengarang sastra Jawa Moderen saya luwih dening abot, nanging ora bakal bisa mateni utawa nyures perkembangan sastra Jawa.

Pengarang Esmit Banyuwangi bisa wae kandha, sastra Jawa bakal mati, nanging buktine suk September 2006 iki bakal diadani Kongres Basa Jawa IV lan Kongres Sastra Jawa II ing Semarang, antara liya ngrembuk bab sastra Jawa moderen. Saben taun, isih diwetoake Hadiah Rancage minangka penghargaan marang pengarang sastra Jawa lan Sundha krana karya-karya sastrane. Ning ya iku, kanggo nerbitake karya-karya sastrane, pengarang sastra Jawa kudu bisa “opor-opor bebek, mentas saka awake dhewek”.

Banjur kepriye carane para pengarang sastra Jawa Moderen saiki nerbitake karyane? Opor-opor dhewek. Ya pengarang mau sing kudu ngarang bukune, banjur golek penerbit kanthi dodolan sepeda kanggo mbandhani, sarta mesisan masarake buku sing diterbitake. Kamangka tugase seniman mono mesthine mung makarya karangan. Perkara nerbitake buku, adol lan masarake, mesthine kuwajibane pihak liya. Nanging saiki ora bisa mangkono. Sejarah Sastra Jawa nyathet, pengarang Any Asmara uga darbe penerbitan pribadi kalebnu kanggo nyithak karya-karyane dhewe.

Para pengarang sastra Jawa peraih hadiah sastra Rancage ing Jawa Timur uga kepeksa mangkono. Cucul dhuwit saka sake dhewe, utawa njaluk disponsori bebedan liya. Contone wae Supato Brata, Drs Moechtar, Harmono Kasiyun, Widodo Basuki, Djayus Pete, lan FX Hoery. Kanggo nerbitake Si lan Man (kumpulan crita cekak) lan Donyane Wong Culika (crita sambung), Suparto Brata kudu cucul dhuwit dhewe jalaran ora ana penerbit kang gelem nerbitake karyane. Banjur Drs Moechtar nalika nerbitake karya terjemahane Serat Niti Mani uga dimodali dhewe bebarengan Lembaga Javanologi Jawa Timur.

Semono uga Kreteg Emas Jurang Gupit (kumpulan cerkak) karyane Djajus Pete, penerbitane disponsori Yayasan Pinang Sirih lan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). JFX Hoery kang nerbitake Pagerlaran (kumpulan geguritan) uga diwragati dhewe, semono uga Harmono Kasiyun (PPSJS) lan Widodo Basuki, kanggo nerbitake antologi cerkak lan geguritane kepeksa golek penerbit “fiktif” kang dibandhani dewe. Medhitasi Alang-alang-e Widodo diterbitake dhewe kanthi nganggo jeneng penerbit “Sanggar Zuhra Gupira” Sidoarjo. Para penerbit lokal lan nasional lumuh nerbitake buku basa Jawa jalaran pemasarane mesthi rugine.

Nasib kaya mangkene iki uga dialami pengarang Jawa liyane, kayadene Trinil kang nerbitaake Donga Kembang Waru (kumpulan geguritan) lan Sarunge Jagung (novel), kaloro-lorone abasa Surabayan. Banjur Suryanto Sastroatmodjo, Budi Palopo, Sumono SA, Bonari Nabonenar, Sunarko Sodrun lan isi akeh maneh. Kalebu kang perlu cinathet ing kene, Sastra Campur Sari kumpulan geguritan penggurit wolu (Abdullah Fauzi, Abdul Ghani, Andang CY, Arach Djamali, Budi Palopo, Sunarko Budiman, Trinil, lan Yudhet), uga diterbitake dening DKJT disengkuyung Komunitas Cantrik Surabaya. Suparto Brata, Anggarpati, lan Tamsir AS nate gawe penerbitan “Puspa Pusaka” ing Jawa Timur. Malah penerbit iku wis nate nerbitake novel lima karyane AY Suharyono, Margaret Widi Pratiwi, Suryadi WS, Ardini Pangestuti, lan Harwimuka. Nanging, sepisan bisa nerbitake wusanane ora terbit maneh krana kesandhung “kecelakaan”.

Ya kahanan kaya ngene iki kang perlu diprihatinanake sok sapa wae, kalebu pemerintah, swasta, lan pengarang sastra Jawa dhewe. Jebul, kreativitase para pengarang sastra Jawa kang nedheng mocer iku, ora diimbangi anane penerbit kang gelem nerbitake karyane kaya jaman mbiyen. Kanggo ngawekani iki, para pengarang lan lembaga sastra Jawa kudu bisa ubet lan ngulur budi, aja njagaake penerbit kang murni bisa nerbitake karyane.

Pancen isih ana siji loro lembaga utawa pawongan kang bisa aweh subside utawa bantuan marang pengarang kanggo nerbitake bukune, nanging iku kabeh isih adoh saka kabutuhan. Mulane, kanggo Panitia Kongres Basa Jawa IV lan Kongres Sastra Jawa II ing Semarang, yen ana dhuwit mubru utawa turahan dana kongres, becik disisihake kanggo nerbitaake buku sastra, budaya, lan basa Jawa para pengarang Jawa banjur disebarake ing sekolah-sekolah lan kalangan tertamtu. Dak kira iku asil keputusan kongres kang luwih konkrit lan nyata.

Eloke, kanthi tantangan kang kaya mangkono wae, akeh pengarang sastra Jawa kang kuwagang nerbitake bukune. Conto ing kene, pengarang Surabaya, Supartto Brata. Sawuse akeh nerbitake karyane, dheweke isih produktif nulis lan nulisn terus. Sawuse novel Jawa Trem (2001), banjur muncul Republik Jungkir Balik (2004), Donyane Wong Culika (2005), Cucak Nguntal Elo (2005), Ser! Ser! Plong (2005). Wektu iku dheweke lagi nyiapake novel Jawa Mbok Randha Saka Saka Jogja, kang crita panguripane wanita asal Jogya kang kasmaran pegawai pelayaran ing Surabaya. Hapa hora hebat?

Panutup

Pranyata kanthi andharan kang nglawer iki, kabukten manawa sastra Jawa ora mati, ning malah saya ngrembaka. Ora bener lamun R Ng Ronggawarsita sinebut pujangga penutup. Kajaba iku, pranyata kabudayan Jawa mono keguh nyesep unsur-unsur asing kanthi cara kang banget bebase, tanpa kelangan ciri-ciri asline wong Jawa. Kanthi cara kang mengkono uga, sastra Jawa ing abad 21 iki wis kasil nyesep genre-genre asing kayadene, novel, cerkak guritan, esai, lan lakon panggung moderen, kanthi tetep ngrumat wujud lan tema tradisional kang diwarisi turun-maturun. Malah ciri lisan ing saperangan sastrra Jawa uga ora bisa ilang.

Kanyatan malah mbukteake, karya sastra Jawa tetep urip lan malah kepara mrudul kadya metune lawa saka kandhang guwane, senadyan nemahi pepalang kang ageng, yaiku babagan penerbitan.

Surabaya, 1 Agustus 2006
RM Yunani Prawiranegara

Kapustakan:
1. Linus Suryadi AG - Dari Pujangga ke Penulis Jawa, 1995, Pustaka Pelajar
Yogyakarta
2. Franz Magnis Suseno - Etika Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, Jakarta
3. Poerbatjaraka, Prof Dr - Kapustakan Djawi, 1954, Djambatan, Jakarta
4. Padmasoekotjo S - Memetri Basa Jawa, 1987, PT Citra Jaya Murti, Surabaya
5, Padmasoekotjo S - Ngengrengan Kasusastran Djawa, 1958, Hien Hoo Sing,
Yogyakarta
6. Mardjono M - Piwulang Basa Jawa, 1946, SGN Surakarta
7. JJ Ras - Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, 1985, PT Grafitipers
8. Taman Sari, Kumpulan Cerkak dan Geguritan, 1975, Pusat Kebudayaan Jawa Tengah.
9. A Sudewa - Serat Panitisastra, 1991, Duta Wacana University Press,
Yogyakarta
10. Poer Adhie Prawoto - Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Moderen, 1991, Tri
Tunggal Fajar, Solo
11. Suripan Sadi Hutomo - Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980, 1984, Sinar
Wijaya, Surabaya
Biodata:
Nama : RM Yunani Prawiranegara
Lahir ` : Ngawi , 01 Oktober 1948
Alamat : Jl Putat Jawa C Barat XI/20 Surabaya Telp 70004311
Pekerjaan : 1. Ombudsmen Harian Sore Surabaya Post Surabaya
2. Redaktur Pembantu Majalah Damar Jati Jakarta
3. Penulis di Majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat
(Surabaya) dan Jaka Lodang (Jakarta)
Jabatan lain : 1. Penasihat PPSJS Surabaya
2. Anggota Dewan Kehormatan PWI Jatim
3. Pengurus (Seksi) Javanologi Surabaya

Kebohongan dan Korupsi dalam Berbahasa

Berbuat baik dengan niat baik tak selalu gampang. Begitulah, kru Pojok Kampung (sebuah siaran berita berbahasa Jawa Subdialek Surabaya yang disiarkan JTV) harus memenuhi panggilan Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Timur (Kamis, 27 Januari 2005) –walaupun yang secara resmi diundang hanyalah produser dan penulis naskahnya saja. Ketua KPID Jatim Dra Sirikit Syah MA mengatakan bahwa KPID Jatim menerima banyak keluhan pemirsa berkaitan dengan penggunaan bahasa ’Suroboyoan’, terurtama menyangkut pemilihan kata-kata yang dirasa kasar oleh para pengeluh itu, misalnya: matek (meninggal), mbidheg (pura-pura tidak mendengar/tahu), dan lebih-lebih kosakata ciptaan ’’Pojok Kampung’’ (selanjutnya disingkat PK): pistul gombyok (penis), dan empal brewok (vagina).

Masih menurut Sirikit, setelah mendapatkan sekian banyak keluhan dari masyarakat, KPID Jatim lalu mengundang beberapa orang pakar bahasa –tidak dirinci, siapa saja mereka. Lebih kurang, pakar bahasa itu menilai, ada persoalan kesantunan berbahasa yang ’dilanggar’ para awak PK. Sayangnya, KPID Jatim –pada pertemuan itu, yang sempat saya ikuti bersama dua orang teman dari Balai Bahasa Surabaya— tidak memberikan secara rinci, kosakata mana saja yang dianggap kasar selain yang telah saya sebut pada bagian awal tulisan ini, dan yang tak kalah pentingnya, kosakata mana yang direkomendasikan oleh para pakar bahasa itu untuk menggantikannya.

Penilaian kasar dan halus atas bahasa Jawa Subdialek Surabaya (selanjutnya disingkat BJSS) didasarkan hanya pada pernyataan sekelompok orang yang mengajukan komplain, baik melalui KPID Jatim maupun langsung ke JTV. Padahal, mengingat PK memiliki rating tertinggi di antara program siaran lainnya di JTV, berarti jauh lebih banyak jumlah orang Surabaya yang menyukai dan tidak mempersoalkan kekasaran bahasa PK. Dan lagi, siapakah para pengomplain itu? Benar-benar orang Surabayakah? Sebagai kota metropolis, Surabaya dihuni juga oleh banyak urban dari wilayah ’Mataraman’, dari buruh pabrik hingga pejabat, yang walau berpuluh tahun tinggal di Surabaya tetap saja hidup dengan pola pikir dan pola rasa ’Mataraman’.

Mereka yang telanjur memakai pola rasa ’Jawa Mataraman’ pasti akan menilai kata-kata seperti matek, ngencuk, dan mbidheg, sebagai kata-kata yang kasar. Asal tahu saja, pola rasa Mataraman itu tampaknya bukan hanya dimonopoli mereka yang berasal dari wilayah ’Mataraman’ (misal: Tulungagung, Pacitan, Ponorogo, Madiun, Trenggalek, Blitar). Bukan hal yang mustahil pola rasa ’Mataraman’ itu berkembang pada sebagian orang asli Surabaya, sebab Pelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah (dari SD hingga SMP) di Jawa Timur selama ini adalah seragam, adalah Bahasa Jawa ’Mataraman.’ Coba bayangkan, betapa ’tersiksanya’ anak-anak Pedhalungan (yang tinggal di Jember, Probolinggo, dan sekitarnya, misalnya) ketika harus belajar bahasa Jawa Mataraman, lengkap dengan ragam ngoko dan krama-nya? Itu bukan bahasa ibu mereka. Dan kalau dipaksakan disebut sebagai muatan lokal, lalu lokal yang mana? Adalah kejanggalan, jika kita menganggap yang interlokal sebagai lokal! (PT Telkom pun bisa bangkrut, jika penentu kebijakannya berpola pikir seperti itu!)

Tragisnya lagi, BJSS sejauh ini belum memiliki kamusnya sendiri (seperti saya tulis di koran ini beberapa waktu lalu), belum punya gramatikanya sendiri, dan bahkan belum memiliki tradisi tulis. Oleh karena itu, PK sebetulnya patut mendapatkan penghargaan sebagai semacam laboratorium pelestarian, dan bahkan pengembangan aset budaya yang bernama BJSS itu. Sing kebacut itu kan Pemkot-nya, atau siapa ya? Bahasa Osing (Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi) sudah punya kamus, dan dalam waktu dekat (sekarang dalam proses penyusunan) akan disusul oleh Kamus Bahasa Madura.

Di arena Kongres Bahasa Jawa II (Malang, 1996) seorang penyair Jawa Poer Adhie Prawoto melontarkan guyonan begini: ’’Untuk apa sebenarnya kita meributkan anak-anak kita yang kita anggap tidak lagi kenal unggah-ungguh itu? Kita lupakan dululah soal kasar-halus itu, yang penting kita ajari mereka untuk jujur. Misalnya, jangan persoalkan mereka mengatakan: --Bapak turu atau sare, atau tilem, atau ngliker— (semuanya berarti: tidur) asal pada konteks itu si bapak benar-benar sedang tidur, bukannya mengajari si anak untuk berbohong, dengan mengatakan: --Bapak sare-- padahal kenyataannya kita hanya sedang tidak mau diganggu penelepon.

Dalam bahasa Indonesia, kita juga sering melakukan ’kebohongan’ dengan istilah: ’mengamankan’ untuk maksud ’menahan’ seseorang, ’studi banding’ untuk maksud ’piknik’. Ketidakjujuran kita, pada tahap tertentu, juga tecermin pada penghalusan-penghalusan dengan istilah-istilah seperti: golongan ekonomi lemah (miskin), negara berkembang (tertinggal), penyesuaian (naik) harga, dan naik (penyesuaian) gaji. Jika identitas budaya Surabaya yang egaliter dan suka berterus-terang hendak dipertahankan, tentu masyarakatnya harus pula berani menolak ’kebohongan-kebohongan’ seperti itu.

Yang paling konyol, pernah ada semacam kampanye untuk mengganti istilah wanita tunasusila (WTS) dengan ’wanita harapan’. Seandainya Pemerintah saat itu mau meminta pendapat pakar bahasa, tentulah kekonyolan seperti itu terhindarkan. Bentukan istilah itu (untungnya tidak memasyarakat) jelas-jelas mengacaukan pola Bahasa Indonesia, sebab ada bentukan-bentukan sejenis: tunas harapan (tunas atau generasi muda yang diharapkan), negeri impian (negeri yang diimpikan), dan seterusnya. Dengan merestui dan bahkan menganjurkan pemakaian istilah ’wanita harapan’, bukankah Pemerintah telah berpola pikir-rasa sebagai laki-laki pezina?

Ning Vestin, presenter PK yang ternyata adalah juga seorang dokter itu telah pula memberikan penjelasan sangat bagus, misalnya berkaitan dengan pemakaian kata ngencuk (bersenggama). Itulah kata yang hidup di tengah-tengah masyarakat Surabaya. Lalu, bagaimana orang tua akan menerangkan kepada anaknya yang masih kecil yang menanyakan arti kata ngencuk itu? Nah, apakah pertanyaan yang sama akan menjadi lebih gampang dijawab ketika kata ngencuk itu diganti bercinta, em-el (making love), bersenggama, lambangsari, campursari, saresmi, atau sacumbana?

Menurut salah seorang kreator di balik penciptaan kosakata khas JTV, Abdul Muis, PK telah beberapa kali mengganti istilah ngencuk itu, dengan: laki, kenthu, nggebleh, tetapi tetap saja ada yang mengomplain. Dan tak seorang pun di antara para pengomplain itu menawarkan solusi atau menyodorkan kata yang dianggapnya paling tepat. Mereka hanya menuntut agar berita PK tidak lagi menyebut kata-kata yang dianggapnya kasar itu. Lhadalah! Itu akan jadi korupsi juga, lho!

Kata atau istilah pistul gombyok segera mengingatkan saya kepada masa kecil dulu, di tengah masyarakat Jawa Mataraman, ketika itu saya sudah sangat akrab dengan cangkriman, ’’Miri gandhok mikul towok kuwi apa?’’ (Kemiri kembar memikul tombak, apakah itu?) Jawabannya adalah konthol. Kurang lebih ya pistul gombyok itulah! Penyebutan ’barang’ milik perempuan (dengan status kepemilikan hak guna pakai) yang dititipkan kepada laki-laki itu dengan istilah lain untuk maksud memperhalus sering justru ’mengacaukan’ bahasa. Misalnya diganti ’manuk’, maka suatu saat akan lahir kalimat, ’’Manuke Budi dicokot semut ndhuk pasar manuk. (Burung Budi digigit semut di pasar burung).

Maka, pakailah saja kata ngencuk, diencuk, sebab itu lebih terasa ’Suroboyo’-nya, yang artinya sama dengan laki, nglakeni, dilakeni, (Jawa Mataraman). Mau lebih halus, ya ngencukipun! Nah, justru ndhak karu-karuan! Bagaimana halnya dengan istilah digitik? Pengarang Kremil Suparto Brata pernah mengatakan bahwa laki-laki Surabaya susah dapat jodoh putri Solo. Pasalnya, begitu menghadap bakal calon mertua ia langsung mendapatkan pesan, ’’Iya ta, angger padha senenge. Mung wae, yen ana rembug dirembug, wong wadon kuwi ora kena dikasar, aja nganti digitik.’’ (Baiklah, asal suka sama suka. Hanya saja, jika ada masalah dibicarakan saja, perempuan itu tidak boleh dikasari, jangan dicambuk.’’ Gara-gara terlalu terburu-buru menelan mentah-mentah istilah digitik, laki-laki asal Surabaya itu memutuskan untuk tidak datang apel ke Solo lagi. ’’Lah yok opo? Mosok bojo kok gak entuk digitik!’’ sungutnya. ’’Kalau jadi perempuan tak mau digitik suami sendiri, ya biar digitik ninja, tak iye!’’ timpal kawannya.

Perdebatan soal bahasa kasar dan bahasa halus berkaitan dengan pemakaian kata (dengan pengertian yang sejujur-jujurnya) pada akhirnya terasa tak kurang dan tak lebih sebagai perdebatan soal kilafiah saja. Asal tahu saja, ada persoalan yang lebih ’gawat’ menyangkut pemakaian bahasa, bahkan bahasa Indonesia, yakni yang berkaitan dengan pola kalimat atau struktur, atau tatabahasa. Dari dulu hingga kini, kita selalu saja masih dapat menemukan (terutama sekitar tanggal 17 Agustus) spanduk bertuliskan, misalnya, ’’Dirgahayu Republik Indonesia ke-59’’ padahal para pakar bahasa sudah menyarankan bahwa seyogyanya begini: ’’Dirgahayu Indonesia’’ atau, ’’Dirgahayu Indonesiaku’’, atau, ’’Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-59.’’

Jangan lupa, itu pemakaian bahasa Indonesia yang sudah distandarisasi, yang notabene sudah punya kamus besar dan tatabahasanya sendiri. Tetapi, masih juga ada yang lebih fatal lagi, benar secara struktur, tetapi salah total secara logika. Ingatkah Anda dengan spanduk dengan tulisan begini, ’’Udara bersih berawal dari kendaraan Anda.’’ (?) Bagaimana Anda akan menjelaskannya kepada putra-putri Anda yang masih polos?

Begitulah. Pepatah bilang, ’’Bahasa menunjukkan bangsa. Jadi, kalau bahasanya pun sudah banyak di-korup dan banyak pula bohongnya, maka … selanjutnya terserah Anda! (Bonari Nabonenar)

Absurditas Djajus Pete

Oleh: Sugeng Wiyadi

DJAJUS Pete rupanya sependapat dengan Budi Darma bahwa bukan kehidupan ini yang absurd, melainkan manusianya. Cobalah simak cerpen-cerpen berbahasa Jawa Djajus yang terhimpun dalam kumpulan Kreteg Emas Jurang Gupit (Yayasan Pinang Sirih & Dewan Kesenian Jawa Timur, Surabaya, 2001); absurditas manusia dalam berbagai bentuknya hadir sangat kental.


Buku setebal 92 halaman ini berisi 10 cerpen pilihan dari sekian banyak karya Djajus yang sebelumnya dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa. Sepuluh cerpen itu adalah: Bedhug, Dasamuka, Kadurjanan, Kakus, Kreteg Emas Jurang Gupit, Pasar Rakyat, Petruk, Rajapati, Setan-Setan, dan Tikus dan Kucing Penyair. Cerpen-cerpen itu dapat dijadikan acuan bahwa sastra Jawa modern bukan cuma berisi kisah-kisah panglipur wuyung (pelipur lara), cengeng, dan kampungan. Sebagai orang Purwosari, Bojonegoro, Djajus memang banyak menggunakan latar pedesaan untuk cerpen-cerpennya, tetapi tak serta-merta membuat cerpen-cerpen itu ndesani atau kampungan.

Dengan simbol-simbol, Djajus sangat cerdik mengemas pesan moral dan bahkan kritik sosial secara rapi dan apik. Muryolelono dalam bukunya Taman Sastrawan (Jawa, pen) menilai bahwa kendati Djajus sehari-harinya bekerja sebagai guru, cerpen-cerpennya sangat jauh dari kesan menggurui.

Kreteg Emas Jurang Gupit yang dipakai sebagai judul buku ini diambil dari judul cerpen yang memang pantas dijadikan maskot. Sebuah jembatan emas akan dibangun untuk menghubungkan daerah barat sungai yang subur dengan daerah timur sungai yang tandus. Sesuai dengan namanya, jembatan yang pembangunannya hendak ditangani PT Pribumi itu akan dilapisi emas.

“Kanthi wontenipun kreteg ing sanginggiling lepen menika, sampeyan tamtu mikir…. wah seneng, bisa nyabrang ngulon. Ngaten sedherek? (Dengan adanya jembatan di atas sungai ini, kalian tentu akan berpikir, wah senang, dapat menyeberang ke barat. Begitukah saudara?”)

Itulah pertanyaan yang diajukan Pak Lurah kepada rakyatnya, di sela-sela pidatonya. Si rakyat mengiyakan, ternyata jalan pikiran Pak Lurah justru tidak demikian. Menurut Pak Lurah, daerah itu akan menjadi ramai karena akan banyak orang berbondong-bondong untuk menyaksikan keelokan jembatan berlapis emas itu. Menurut Pak Lurah, itulah yang akan membuat rakyat desa terlepas dari penderitaan, menuju hidup sejahtera turun-temurun.

Bukankah rencana pendirian jembatan emas itu absurd, serupa mimpi? Tambah absurd lagi, karena sebenarnya jembatan itu tak pernah terujud. Pasalnya, bahan-bahan yang sudah didatangkan, termasuk batangan besi berlapis emas itu, habis dicuri orang.

Cerpen Dasamuka berkisah tentang pertunjukan wayang kulit yang tidak sesuai dengan pakem atau pedoman pakeliran. Dasamuka yang menculik Shinta ternyata malah berjaya, berhasil mengalahkan Hanoman dan Prabu Rama. Penonton pun protes. Bahkan hampir saja terjadi keributan. Tetapi dengan apik Djajus –lewat Darma Dipa, tokoh masyarakat desa yang disegani— menyampaikan pesan moral dan sekaligus kritik sosial-nya. Mengapa kita marah menghadapi Dasamuka, tokoh imajiner yang melanggar pakem itu, sementara dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak aturan dilanggar?

Kiranya tak berlebihan, jika edisi pertama Sekarjawi (majalah sastra Jawa yang akan diterbitkan Daniel Tito dan kawan-kawan) memuat tulisan dengan judul seperti ini, “Kreteg Emas Jurang Gupit, Calon Pemenang Rancage 2002.” Dengan KEJG-nya, Djajus Pete yang kelahiran Ngawi 1 Agustus 1948 yang mulai berkarya sejak tahun 1970 itu memang layak mendapatkannya.*

*) Sugeng Wiyadi, Dosen Jurusan Bahasa Jawa Unesa

Pasemon Pengadilan Sastra Jawa

Oleh: Bonari Nabonenar

Salah satu mata acara dalam Pekan Budaya Jawa yang digelar di Surabaya, 29 – 31 Agustus 2002 adalah Pengadilan Sastra Jawa, yang akan segera melayangkan ingatan kita ke tahun 1974 ketika Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan menggelar Pengadilan Puisi di Bandung. Ketika itu Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan, pada akhirnya, lebih-kurang hanya menuai banjir olok-olok, justru dari kalangan Sastra (Indonesia) sendiri. Akankah Pengadilan Sastra Jawa yang akan digelar di Taman Budaya Jawa Timur (Jl Gentengkali 85 Surabaya) nanti hanya menuai hasil serupa, atau bahkan jadi lebih konyol?


Komposisi Penerima hadiah sastra Rancage – yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage (Sunda) yang diketuai Ajip Rosyidi-- bagi pengarang dan penyair sastra Jawa tahun 1994 – 2001 tidak sebanding yaitu 8 : 1. Delapan orang berasal dari wilayah administratif Jawa Timur, dan seorang dari Daerah Istimewa Jogjakarta. Dari wilayah administratif Jawa Tengah malah belum ada yang ‘beruntung’. Itulah yang kemudian menimbulkan berbagai kecurigaan di balik penjurian hadiah tersebut. Secara geografis memang sastra Jawa didukung oleh masyarakat Jawa di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Jawa Timur. Kenyataan itu berbeda dengan Sastra Sunda maupun Bali. Sekat-sekat geografis itu pun boleh-boleh saja dianggap membuka semacam peluang untuk terjadinya KN (kolusi dan nepotisme) dalam penjurian hadiah Rancage untuk sastra Jawa.

Delapan orang sastrawan Jawa yang pernah memperoleh hadiah Rancage untuk kategori karya terbaik (yang diterbitkan dalam bentuk buku) adalah: FC Pamudji/Nganjuk (1994) untuk novelnya Sumpahmu Sumpahku; Satim Kadaryono/Surabaya (1996) untuk novelnya Timbreng; Esmiet/Banyuwangi (1998) untuk novelnya Nalika Langite Obah; Suharmono Kasiyun/Surabaya (1999) untuk novelnya Pupus kang Pepes; Widodo Basuki/Trenggalek (2000) untuk kumpulan guritan-nya Layang saka Paran, dan Djayus Pete/Bojonegoro (2001) untuk kumpulan crita cekak-nya Kreteg Emas Jurang Gupit. Seorang yang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta yaitu Djaimin K (1997), mendapatkan Rancage untuk kumpulan guritan-nya Siter Gadhing.

Kenyataan tersebut menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, terutama pengarang dan penyair yang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta dan Jawa Tengah. Kerja keras almarhum Suripan Sadihutomo dalam memperjuangkan sastra Jawa, ternyata menimbulkan berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu Dr Setya Yuwono Sudikan sebagai anak emas Suripan Sadihutomo, yang kali ini mendapat tugas sebagai Ketua Panitia Penerimaan Hadiah Sastra Rancage 2002, membuka ruang dan waktu untuk buka-bukaan. “Bukankah sekarang adalah era yang serba transparan? Selanjutnya, apakah Dewan Juri sebaiknya lebih dari seorang, agar lebih objektif? Bagaimana tanggapan Bapak Ajip Rosyidi sebagai penyandang dana? Marilah kita mengoreksi diri kita sendiri,” ajak Setya Yuwana.

Seperti yang dipertanyakan Setya Yuwono, yang kemudian juga memancing timbulnya kecurigaan adanya KN di balik penjurian hadiah Rancage untuk sastra Jawa adalah tidak adanya tim juri. Penilaian atas tokoh ataupun karya terbaik yang diterbitkan dalam bentuk buku yang pantas mendapatkan hadiah Rancage hanya dilakukan oleh satu orang. Dua orang yang secara berturut-turut telah menjadi juri tunggal hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa adalah Dr Suripan Sadihutomo (Surabaya) dan kemudian Muryalelana alias Dojo Santosa (Semarang), keduanya kini telah almarhum.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah indikasi-indikasi itu layak dijadikan dasar untuk menyeret para pemenang hadiah Rancage menjadi terdakwa dalam Pengadilan Sastra Jawa ini? Tetapi, itulah yang akan terjadi. Pengadilan Sastra Jawa telah mengundang (baca: memanggil) para sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage sebagai terdakwa. Sebenarnya ini sangat menyedihkan. Sangat menyakitkan.

Apalagi sebagai sesama pengarang sastra Jawa, rasanya tidak tega melihat sahabat, kawan, bahkan guru yang dipaksa duduk di kursi terdakwa itu.

Tidak Bersalah

Hadiah Rancage itu, namanya juga hadiah, tentu boleh diberikan kepada siapa saja, sekehendak si pemberi. Jika dikaitkan dengan prestasi para sastrawan Jawa, memang sebaiknya tidak seperti itu. Tetapi jika sudah sampai di pengadilan seperti ini, mestinya bukan saat yang tepat untuk sekedar bicara mengenai baik atau tidak baik? Dalam pengadilan hanya ada dua kata: benar atau salah.

Menurut hemat saya, mereka yang akan terpaksa duduk sebagai terdakwa itu sebenarnya tidak membawa cukup kriteria untuk didakwa bersalah. Tidak ada dasar hukum yang mengatakan bahwa mereka bersalah karena telah menerima hadiah Rancage. Bahkan, mereka akan merasa dan bisa dianggap bersalah jika menolaknya. Dalam bahasa Jawa ada kata-kata bijak, “Rejeki cedhakana, bilahi dohana,” yang artinya, “ Dekatilah rezeki itu, dan jauhilah malapetaka.” Bukankah hadiah Rancage itu termasuk rezeki? Orang Jawa juga memiliki ajaran karyenak tyasing sasama, mengenakkan hati sesama. Jika mereka menolak pemberian hadiah Rancage itu, bukankah mereka justru akan membuat tak enak hati si pemberi?

Dalam kosakata Jawa juga ada pepatah, sing bener durung mesthi pener, yang artinya, yang benar belum tentu tepat. Nah, pertanyaannya sekarang, apakah sudah tepat bahwa hadiah Rancage itu jatuh ke tangan mereka? Jawaban atas pertanyaan itu, tentu saja tergantung dari sudut dan dari pihak mana memandangnya. Tetapi, yang jelas, persoalan tepat dan tidak tepat itu tidaklah selayaknya jika kemudian ditimpakan kepada para penerima hadiah Rancage. Persoalan ini tentu lebih menyangkut siapa yang memberi dan sistem atau prosedur pemberian itu.

Sponsor

Memang kita patut prihatin terhadap Wong Jawa, yang, menerima pemberian saja kok ya masih gegeran. Yang lebih memprihatinkan lagi, Wong Jawa sendiri seperti tidak peduli terhadap nasip para “pejuang” tradisi, terhadap wakil generasi yang masih sudi melestarikan dan mengembangkan budaya sendiri. Mengapa hingga kini tidak ada Wong Jawa yang tergerak hatinya untuk memberikan dan menyelenggarakan penganugerahan sastra Jawa sendiri? Tidak ada uang dan beranggapan bahwa di zaman serba krisis ini urusan perut lebih mendesak? Ah, tampaknya nonsens. Bahwa urusan perut lebih penting, memang benar. Tetapi bukan itu perkaranya. Sebuah perusahaan dengan entengnya menghamburkan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk mensponsori sebuah pagelaran kesenian. Hanya untuk semalam saja. Dan pada kesempatan ini, berkaitan dengan Pengadilan Sastra Jawa ini, hanya uang lima juta rupiyah saja (10 juta untuk 2 orang), itu pun pemberian ‘tetangga’, wong (masyarakat sastra) Jawa malah bertengkar, bahkan bikin pengadilan segala. Konyol.

Uang yang oleh perusahaan “Anu” (yang beroperasi di Jawa) lalu disalurkan sebagai dana promosi untuk mensponsori pertunjukan band, sandiwara, ataupun pemilihan putri ini itu, bukankah sesungguhnya uang orang Jawa sendiri? Mana ada perusahaan mau rugi? Karena itu dana promosi itu dikerukk dengan menaikkan tarif, harga, yang ujung-ujungnya juga jadi beban konsumen (baca: wong Jawa). Maka, marilah mulai berhitung, berapa banyak pulsa yang dipakai orang Jawa dalam waktu sehari, sepekan, sebulan, setahun? Berapa bungkus mi yang dikonsumsi orang Jawa dalam setahun? Berapa sak semen yang digunakan orang Jawa untuk membangun rumah, jembatan, masjid, greja, gedung sekolah, dan lain-lain? Lalu, berapa batang rokok yang dihisap orang Jawa dalam sehari, sebulan, setahun? Dengan begitu bisa dihitung pula, berapa rupiah keuntungan perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN yang sebagian besar juga dikelola oleh orang Jawa itu dikeruk dari kantong orang Jawa? Apakah tidak bisa disisihkan nol koma nol nol nol sekian prosen dari keuntungan itu untuk sastra Jawa? Maka, wong Jawa yang jadi konsumen maupun memegang bang-bang pangalum-aluming (: kekuasaan) perusahaan yang masih peduli terhadap budaya sendiri mesti berpikir juga bahwa sastra Jawa pada akhirnya berurusan dengan nama baik orang Jawa sendiri.

Akhirnya, kita memang patut bersedih, karena kenyataan ini memang sangat menyakitkan. Dan dengan demikian, sesungguhnya, yang paling patut kita dudukkan sebagai terdakwa dalam sidang Pengadilan Sastra Jawa yang terhormat nanti tidak lain dan tidak bukan adalah Wong Jawa sendiri.

Tetapi, kita bisa menghapus kesedihan ini dengan mengaggap bahwa inilah pasemon, yang dipilih para penggiat sastra Jawa untuk menyindir Wong Jawa yang kebetulan bernasip baik, punya duit melimpah, ataupun perusahaan-perusahaan yang masih memiliki komitmen kepada masyarakatnya. Dan kesedihan ini pun bisa saja segera berbalik menjadi sukacita, jika mereka yang disemoni dengan Pengadilan Sastra Jawa ini kemudian benar-benar merasa tersentuh, terketuk, dan berbuat sesuatu untuk sastra Jawa.[]

PEMERHATI SASTRA JAWA ‘OGAH’ JADI JURI HADIAH SASTRA “RANCAGE”

TAKUT MENYUSUL SURIPAN DAN MURYALELANA

Setya Yuwana Sudikan

Djayus Pete, sebagai penerima hadiah Sastera “Rancage” yang ke-9 untuk pengarang sastra Jawa modern tidak merasa ‘dirinya sebagai seniman besar’ seperti halnya penerima penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur. Bagi Djayus Pete, justru ada beban moral untuk berkarya lebih baik. Penerima hadiah sebelumnya, yaitu: F. C. Pamudji (untuk novelnya Sumpahmu Sumpahku (1994), untuk tahun 1995 kosong karena tidak ada buku sastra Jawa yang terbit, Satim Kadaryono (untuk novelnya Timbreng) (1996), Djaimin K.(untuk kumpulan guritannya Siter Gadhing) (1997), Esmiet (untuk novelnya Nalika Langite Obah) (1998), Suharmono Kasiyun (untuk novelnya Pupus kang Pepes) (1999), Widodo Basuki untuk kumpulan puisinya Layang saka Paran (2000), Suparto Brata (untuk kumpulan cerpennya Trem) (2001), dan Djayus Pete (untuk kumpulan cerpennya Kreteg Emas Jurang Gupit) (2002).


Dilihat dari komposisi penerima hadiah sastra “Rancage” untuk pengarang sastra Jawa modern, delapan dibanding satu. Delapan orang untuk pengarang yang berasal dari Jawa Timur, dan satu orang pengarang berasal dari Daerah istimewa Yogyakarta, sedangkan pengarang dari Provinsi Jawa Tengah belum ada yang beruntung. Ada suara-suara sumbang mengenai penjurian hadiah sastra “Rancage” bagi pengarang sastra Jawa modern. Suara-suara sumbang tersebut berasal dari para pengarang yang berasal dari Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Mengapa pemenangnya selalu pengarang yang berasal dari Jawa Timur?

Pusat sastra Jawa memang ada di Jawa Timur. Buktinya, majalah berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat tetap eksis, sedangkan Mekar Sari telah berubah menjadi halaman khusus di surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Djaka Lodhang ‘hidup segan mati tak mau’. Selain itu, kegiatan sanggar sastra Jawa di Jawa Timur dapat dijadikan barometer pertkembangan sastra Jawa, di antaranya: Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Sanggar Sastra Triwida yang bermarkas di Tulungagung, Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro, dan Sanggar Sastra Parikuning yang bermarkas di Banyuwangi. Para pengarang sastra Jawa yang berasal dari Jawa Timur selalu berusaha meningkatkan kualitas karyanya, yang dibahas dalam diskusi rutin maupun sarasehan-sarasehan yang sifatnya informal. Oleh sebab itu, layaknya apabila penerima hadiah sastra “Rancage” lebih banyak berasal dari Jawa Timur.

Ironi

Pemberian hadiah sastra Rancage dimaksudkan untuk meningkatkan apresiasi sastra masyarakat terhadap sastra dan untuk merangsang pasra sastrawan untuk meningkatkan mutu karya-karyanya. Sebab hanya dengan ramainya kegiatan menerbnitkan buku saja pembinaan apresiasi sastra dapat dilaksanakan. Tanpa buku, bagaimana mungkin kita mengajak anak-anak supaya gemar membaca? Karena itu sebagai langkah awal dalam pembinaan minat baca adalah lebih dulu menyediakan buku-buku yang akan dibaca. Kegiatan penerbitan buku memang tidak mudah karena menyangkut berbagai kegiatan dalam bidang lain, di antaranya: percetakan, toko buku, dan perpustakaan. Tapi kegiatan yang pertama justru dimulai oleh pengarang, karena penerbit baru mungkin melakukan kegiatan penerbitan buku kalu terlebih dulu ada naskah dari pengarang yang akan diterbitkan.

Tahun 2002 Hadiah sastra “Rancage” diberikan yang ke-14 kalinya untuk sastra Sunda, yang ke-9 kalinya untuk sastra Jawa, dan yang ke-5 kalinya untuk sastra Bali. Namun, ironisnya pemberian hadiah sastra “Rancage” yang sudah kesembilan kalinya untuk pengarang sastra Jawa, tidak merangsang pengarang untuk berkarya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, Ayip Rosidi, berlainan dengan sastra Sunda dan sastra Jawa, ternyata Hadiah Sastra “Rancage” untuk sastera daerah Bali telah merangsang para sastrawan Bali untuk lebih aktif berkarya dan berusaha untuk menerbitkan karya-karyanya. Hal itu tampak bahwa pada tahun 2000 buku karya sastra Bali yang terbit berlipat-lipat daripada tahun-tahun sebelumnya.

Kehidupan sastra daerah Bali mempunyai kemungkinan lebih mudah berkembang karena di sana ada lembaga banjar, yang di Jawa dan Sunda tidak ada. Melalui lembaga banjar tersebut anak-anak Bali dapat dibina dan dikembangkan aspesiasinya terhadap sastra bahasa daerahnya. Sedangkan dalam masyarakat Sunda dan Jawa, tidak ada lembaga yang menjadi tempat pemupukan minat terhadap sastera bahasa daerahnya. Pendidikan melalui sekolah merupakan satu-satunya kemungkinan yang tersedia, tetapi di Jawa Timur kita tahu bagaimana keadaan pengajaran apresiasi sastra bahasa daerah di sekolah-sekolah sampai sekarang, kurikulum muatan lokal bahasa Jawa dihilangkan, kekurangan guru yang memiliki kompetensi, kekurangan buku sastra untuk dibaca peserta didik.

Di balik itu, ada fenomena sosial pengarang yang telah mendapatkan hadiah sastra “Rancage” belum tentu karyanya dapat dijadikan barometer. Itulah sebabnya, saya mengamati ada sesuatu yang ‘tidak beres’ dalam kehidupan sastra Jawa modern, khususnya proses penjurian hadiah sastra “Rancage” untuk pengarangh sastra Jawa.

Mimpi

Pengarang sastra Jawa banyak yang suka ‘bermimpi’. Dalam sarasehan sastra Jawa di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya, 28 Juli 2002, dalam rangka ulang tahun PPSJS ke-25 dengan menampilkan pembicara Djayus Pete dan Bonari Nanobenar terungkap bahwa di antara pengarang sastra Jawa, ada yang patut menerima hadiah sastra Nobel.

Dalam kesempatan yang terpisah Djoko Pitono, penulis buku Seabad Pemenang Nobel Sastra, mengatakan bahwa persyaratan untuk menerima hadiah novel sangat mudah yaitu pengarang yang bersangkutan diajukan oleh seorang guru besar sastra yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Oleh sebab itu, Djayus Pete atau Suparto Brata layak untuk diajukan.

Persoalannya tidak semudah itu. Hadiah Nobel Sastra diberikan kepada pengarang yang karyanya memiliki kekhasan dan jangkauan tanpa batas (ras, bangsa, dan bahasa). Selama satu abad penerima Hadiah Nobel Sastra dari Asia, hanyalah Yasunari Kawabata (pengarang dari Jepang) dan Rabindranath Tagore (pengarang dari India). Dan Pramoedya Ananta Toer, yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih 10 bahasa asing karena kedasyatan imajinasinya dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, filosofis, dan historis selalu gagal untuk dipertarungkan.

Di pihak lain, Esmiet pengarang gaek dari Banyuwangi selalu mengumandangkan ketongan kematian sastra Jawa modern, pada awal tahun 2004. Akankah sastra Jawa asing bagi masyarakat pendukungnya?

Pengadilan Penerima Hadiah Rancage

Beberapa pengarang sastra Jawa mengusulkan kepada panitia pelaksana penerimaan hadiah sastra Rancage 2002, yang secara kebetulan gabungan antara warga Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, PPSJS, dan para peneliti dari Balai bahasa Surabaya; agar diselenggarakan pengadilan penerima hadiah sastra Rancage untuk pengarang sastra Jawa.

Benang kusut di balik penjurian hadiah sastra “Rancage” yang ditengarai bernuansa KN (Kolusi dan Nepotisme) patut untuk diurai, sebab ada penerima yang dipandang belum waktunya. Acara pengadilan sastra tersebut, akan diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 2002 bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Getengkali 85 Surabaya. Sebagai terdakwa F. C. Pamudji, Satim Kadaryono, Djaimin K., Esmiet, Suharmono K, Widodo Basuki, Suparto Brata, dan Djayus Pete. Bertindak sebagai hakim ketua, Rama Sudiatmono (Semarang), sedangkan hakim anggota Daniel Tito (Sragen), Sri Widati-Pradopo (Yogyakarta) dan Danu Priyo Prabowo (Yogyakarta). Jaksa penuntut umum, Suwardi Endraswara (Yogyakarta), Bagus Putu Parto (Blitar), Budi Palopo (Surabaya). Sedangkan yang bertindak sebagai pembela Tjahyono Widarmanto (Ngawi), Bonari Nanobenar (Surabaya), dan Tengsoe Tjahyono (Surabaya). Saksi yang meringankan Aming Aminudhien (Mojokerto), Yunani Prawironegoro (Gresik), dan Titah Rahayu (Surabaya). Dan saksi yang memberatkan Sri Wahyuni (Yunani) dari Surabaya, Sugeng Adipityo (Surabaya), Sunarko Sodrun (Tulungagung), dan Ardhini Pangastuti (Semarang). Dimeriahkan monolog Sanggar Ranggowarsito dari Yogyakarta.

Selain itu, panitia juga menyelenggarakan seminar kebudayaan Jawa dengan tajuk “Membangun Kembali Citra Budaya Jawa”, pada tanggal 29 Agustus 2002 bertempat di Graha Pena, Jalan A. Yani No. 88 Surabaya; dengan menampilkan pembicara: Arswendo Atmowiloto (Jakarta), Drs. Darmanto Yatman, SU (Semarang), Dr. Setya Yuwana Sudikan, MA. (Surabaya), Dr. Sindhunata dan Dr. Damarjati Supajar (Yogyakarta). Seminar ini dilandasi oleh pemikiran bahwa tidaklah adil apabila budaya Jawa dijadikan kambing hitam keterpurukan Indonesia pada rezim Suharto, karena dalam sistem pemerintahan Suharto ada penyimpangan-penyimpangan yang patut untuk dibongkar.

Setelah upacara pemberian hadiah sastra “Rancage” di Auditorium Universitas Negeri Surabaya, 31 Agustus 2002, diadakan seminar bertajuk “Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah pada Era Otonomi Daerah” dengan menampilkan pembicara K.H. Farqan Siraj (Bupati Sumenep), Drs. Soetrisno, R., M.Si. (Bupati Nganjuk), Drs. E. Yonohudiyono (Dekan FBS Unesa), Dr. I Made Suastika, M.Hum (staf pengajar Pascasarjana Udayana), Drs. Iskandar Wasid (staf pengajar FBS UPI Bandung), dan Lalu Gde Suparman (budayawan Sasak, Mataram, Nusa Tenggara Barat).

Siapa Menyusul

Para pemerhati sastra Jawa merasa ‘ogah’ untuk menjadi juri hadiah sastra “Rancage” tahun depan, karena takut menyusul Suripan Sadi Hutomo dan Muryolelono (Doyosantosa). Sebagaimana diketahui Suripan Sadi Hutomo telah 8 tahun (8 kali) dipercaya oleh Ayip Rosidi menjadi juri hadiah sastra “Rancage” bagi pengarang sastra Jawa, dan Muryolelono setahun (satu kali) dipercaya oleh Ayip Rosidi.[]